Dia, sahabatku sejak 2001. Dia ke ruanganku kemarin siang. Sehari sebelum libur pesta demokrasi, hari ini, Rabu Pahing, 17 April 2019. Lagi pingin dan mau minum kopi, katanya. Lalu kami pesan Kopi Kenangan. Dia pesan matcha, saya pesan Milo. Karena sudah dekat waktu makan siang, sekalian kami order go food lagi. Dia pesan ayam bakar, saya pesan ikan bakar. Kami menikmati hidangan di ruangan. Kami suka yang praktis-praktis. Apalagi pada kondisi kaki kiri saya yang dibebat di pergelangan kaki akibat terkilir di sekitaran bagian atas mata kaki. Oleh-oleh dari rafting di Cicatih Sabtu lalu.
Oh ya. Dia cenderung tomboi dan jalannya gagah sedangkan saya agak lebih feminin. Dia menyukai kegiatan outdoor, paralayang, atau naik gunung, sedangkan saya lebih suka melukis dan menyukai fashion.
Saya pernah menangis di bahunya. Dan dia pernah menangis di bahu saya. Â Hmm.. sebenernya ini lebay sih. Nggak gitu-gitu amat. Hidup kami tidak se-drama-itu. Ini bukan sinetron dengan adegan orang menangis terguguk-guguk di bahu.Â
Kami sama-sama orang eksakta dan "anak Fakultas Teknik" yang sama-sama gak suka nonton sinetron. Intinya, kami tidak se-lebay itu. Tepatnya dia pernah melihat saya dalam ekspresi paling menyedihkan yang pernah terjadi dalam kehidupan saya. Begitupun saya, melihatnya.
Jangan salah, kami pernah juga saling berantem dan beda pendapat, sampai males ketemu. Sengaja tidak saling membuka komunikasi supaya kemarahan dan luapan emosi nggak berlanjut. Kami juga sering bercanda dan tertawa ngakak. Mentertawakan diri sendiri, maupun saling bully.Â