Kurus tubuhmu tinggal tulang.
Menyeret karung goni yang nampaknya terisi seperdelapannya (belum penuh).
Wajahmu acuh tak acuh.
Dua tangan mungilmu cekatan mengambil satu demi satu gelas-gelas air mineral yang berserakan.
Memungutinya dengan kecepatan luar biasa yang membuat mulutku menganga.
Memasukkannya ke dalam karung.
Berjongkok di antara kursi-kursi perhelatan outdoor di kampungku.
Berdiri lagi, beranjak, berjongkok lagi di sela-sela kursi lipat besi berwarna merah.
Sibuk beberapa saat mengeluarkan isi air mineral
(dia hanya butuh kemasan plastiknya saja).
Kupandangi wajahnya.
Membaca benaknya.
"Aku dikejar waktu"
Begitu seolah kubaca di jidatnya.
Tertulis dengan huruf Arial 12 bold.
"Dan aku baru saja beranjak dari usia 5 tahun"
Lanjut tulisan itu. Kulitnya, tubuhnya, kusam.
Kakinya tanpa sendal.
Di tengah keramaian tetamu, dia jadi semacam seorang figuran tak penting yang menyelinap dengan keberanian luar biasa: sebuah kelusuhan di tengah kerapihan sederhana (tetap saja lusuh, bukan?)
Di kepalanya hanya ada sebuah gambar besar: gelas plastik air mineral.
Tak peduli apapun mereknya. Bahkan mungkin ia tak punya kemampuan membaca.
Pemulung Cilik Berkaus Kuning
Di panggung, seorang pengunjung menyumbangkan lagu berjudul, "Layu Sebelum Berkembang"
Telingamu tak pedulikan nyanyian itu, kutahu.
Di meja prasmanan dan pondokan sederhana terhidang Soto Bandung, es krim coklat, dan bakso kuah. Bahkan aromanya kau usir dari khayal kanak-kanak laparmu.
Di tanganku, satu demi satu potongan semangka kukunyah perlahan.
Saat menelannya, entah kenapa dibarengi sebuah rasa aneh yang menyesakkan dada.
Mei 26, 2013
@Perhelatan Pernikahan di Kampung