BULAN PALGUNA bulan ketika sri nata maharaja Majapahit bercahaya gemilang dipuja para kawulahamba. Beberapa pembesar luar Jawa seperti Palembang, Bali, Gurun, Dompo, Makasar, Luwu, Ternate, Wandan, Seram, pula datang mengantar sembah bulu bekti tanda takluk. Beberapa utusan negara luar ikut mewarnai kirab kemaharajaan Majapahit.
Sejak tanggal satu Paropeteng, orang orang menjubeli pasar Gede. Para copet tukang kutil pating srintil. Para pencari sedekah mambrah mambrah. Para pedagang bergoyang pinggang. Pedagang kurangajar melontar aji mumpung, patok harga lebih tinggi dari hari lumrah. Di musim pesta bulan Palguna kebanyakan pengunjung tidak begitu peduli harga barang yang diingini. Rata rata menggembol sangu duit melimpah, terutama mereka yang ingin berburu di kotaraja, di pasar tiban alun alun lor.
Alun alun lor salin rupa jadi pasar tiban. Para pedagang dalam dan luar kota duyun duyun usung aneka dagangan, menggelarnya di tempat yang dipatok pihak Jawatan Pekan. Para pedagang negeri luar seperti Sunda, Malaka, Arab, Yamana, Siam, Campa, Tiongkok, Hindi, baik yang mukim di kotaraja maupun pesisir lor, gigih keduk rejeki di pekan bulan Palguna. Terkait pemungutan pajak perdagangan atau titiban, semua diperlakukan sama, sesuai besar kecil dan jenis usahanya.
Alun alun lor tumplek pernik kerlip gemeratak gairah. Apalagi kala malam memangsa sendekala, saat obor obor membakar udara, alun alun di kulon sitinggil ini bergeber aneka suara bergesekan berpukulan dengan ragam pagelaran kesenian, permainan, ketangkasan. Para tukang sulap memamerkan yang gaib gaib. Para tukang ramal tidak mau ketinggalan meraup rejeki kibuli orang orang lugu. Di beberapa titik, orang orang luar negeri bertarung karya dengan orang orang dalam negeri.
Kebanyakan orang orang asing yang kais nasib di kotaraja Trawulan mampu omong omong Jawa, meski acap telinga orang Majapahit asli terkilikitik mendengarnya. Apalagi dengar omong omong orang orang Tiongkok yang dari sananya ditakdirkan cedal cedal. Tumapel dipanggil tumapan, bhatara prabhu diomong patana panabu, brhe prabhu dikatai bulapabu, pedang dibilang gedang, dan masih banyak lagi. Tapi tidak jadi soal. Yang jadi soal bagaimana kegiatan adol tinuku berlangsung beres, berakhir kesepakatan dua pihak, jauh dari kedumel mangkel.
Gelaran para pedagang Tiongkok paling dijubeli orang orang. Bagus bagus barang barangnya, terutama aneka pernik perak unik, manik manik, keramik cantik elok putih biru, kaca pengilon, pedang, dan kain sutra asal negeri yang memiliki gedung kedutaan di kotaraja Majapahit ini. Sementara orang orang Tiongkok justru banyak melongok pameran aneka kerajinan daerah.
Bagi tukang adu ayam sukanya nongkrongi orang orang Siam. Jago jago tarung Siam keren keren. Ganas kabrukannya, gagah piadegnya. Di medan tempur kerap mengeok jago jago Majapahit. Banyak pejabat keraton kepincut, menebus ayam jago Siam dengan duit yang jumlahnya bikin geleng geleng kepala orang orang kere.
Tumpahnya pasar tiban di alun alun lor tidak boleh melintasi batas yang ditetapkan pihak Jawatan Pekan, berjarak sejangkauan anak panah dari dinding benteng keraton. Bagi yang menerjang aturan, harus berurusan dengan Pasukan Tata Tentremyang di hari hari menjelang kirab keraton bulan Palguna, mata telinga mereka bertambah runcing. Asal semua taat aturan, segalanya mengalir beres. Tiada kedaulatan bagi yang demen bikin onar! Para prajurit Telik Sandi Majapahit serupa kabut menyaput pagi, halus mulus kuasa menembus lubang tikus.
Kotaraja kian menyedot jiwa ketika tanggal delapan paropeteng, gamelan keraton dikeluarkan dari gedung penyimpanan balai karawitan, diusung digemakan di seputaran keraton. Mulai tanggal ini pula para pemuka agama Siwa dan Boddha berupacara pengorbanan serta pelantunan mantra puja puja demi keselamatan dan kesejahteraan negara serta sri nata Majapahit. Pelaksanaan upacara adat ibadat agama tidak disatukan, tetapi giliran, karena antara Siwa dan Boddha bertata aturan beda, keduanya bercara sendiri sendiri, meski bertujuan sama.
Majapahit berhaluan Siwaboddha. Berbagai upacara keagamaan dan kenegaraan, baik isi dan bentuknya, berdasar tata aturan dua agama besar itu. Di kurun kurun dulu, setidaknya sejak masa pemerintahan Kertarajasa, Jayanagara, Tribhuwana, sampai Rajasanagara, Majapahit cenderung berhaluan Siwa. Agama Siwa memiliki banyak hakim sampai lima. Agama Boddha paling banyak dua hakim bahkan pernah tidak memilikinya. Sangat pantas jika dulu dulu Majapahit kesohor sebagai kemaharajaan Siwa, beda dengan kini, Majapahit yang berhaluan Siwaboddha atau Boddhasiwa.
Ketika pemerintahan Kertarajasa, agama Siwa dan Boddha memang memiliki pemimpin, tapi hanya Siwa sajalah yang memiliki upapati atau hakim agama. Ketika itu agama Siwa dipimpin Dharmadhyaksa ring Kasaiwan Dang Acarya Agraja dibantu Pamegat Tirwan Mapanji Paragata, Pamegat Pamwatan Dang Acarya Hanggareksa, dan Pamegat Jambi Dang Acarya Rudra. Agama Boddha hanya dipemukai Darmadhyaksa Kasogatan Dang Acarya Ginantaka. Ketika Jayanagara mendaki tahta, agama Boddha belum berupapati, masih dipemukai Dharmadhyaksa Kasogatan dan pada masa itu yang menjabat adalah Dang Acarya Kanakamuni, pengganti Ginantaka. Ketika Maharani Tribhuwana mendaki tahta, barulah agama Boddha berupapati dengan diangkatnya Samantabadra, putra Kanakamuni sebagai Pamegat Kandangan Rarai.
Setelah Rajasanagara mendaki tahta, agama Boddha memiliki dua upapati dengan diangkatnya Mapanji Kartaraja sebagai Pamegat Kandangan Atuha, menjadi karib kerja senasib Pamegat Kandangan Rarai Samantabadra, membantu Dharmadhyaksa Kasogatan Kanakamuni. Tetapi agama Boddha kembali satu upapati setelah Kartaraja mangkat, bertepatan ketika Prapanca mengiringi perjalanan Rajasanagara ke Lumajang. Ketika itu rombongan tiba di Keta. Setelah peristiwa itu, Rajasa tidak mengangkat pengganti Kartaraja. Agama Boddha kembali satu upapati dan satu Dharmadhyaksa, hanya Samantabadra dan Kanakamuni. Sementara agama Siwa panggah lima upapati dan satu Dharmadhyaksa. Hingga lantaran terjadi pergolakan hebat antara pemuka Siwa dengan Boddha di istana, Samantabhadra harus tersingkir ke desa Kamalasana, bertapa, menyamar sebagai Prapanca, menggubah kakawin Decawarnanna.
“Hari ini tanggal empat belas Kresnapaksa. Hari dimana Maharaja Rajasawardhana siap kirab keliling kota. Jalur yang ditetapkan bermula dari sitinggil bergerak ke utara mengikuti jalan utama sampai pertelon di selatan pablantikan, dari sana belok timur, sampai utara kepatihan belok tenggara, terus ke selatan, di dekat lingkungan candi belok barat menjelujuri jalan lebar di utara perumahan para prajurit, sampai prapatan di selatan pasar belok selatan, kembali ke depan sitinggil.”
“Lihat! Sang prabhu bersama permaisuri sudah menaiki tahta mutu manikam pada joli penuh hiasan megah, digotong dua belas prajurit berbadan kokoh keren. Keduanya sama sama berbalut busana serba kencana dan tentunya menggetarkan mata mata.
Lihat! Joli bergerak lembut tersaput puja puji tiada henti. Gelombang kemegahannya menciptakan kegumunan, menghanyut mayutkan perjalanan, menyedapkan pemandangan.
Keren!”
“Sang prabhu merupakan putra sulung mendiang Maharaja Wijaya Parakrama Wardhana dari permaisuri Ratu Daha Jayawardhani Jayeswari. Ayahandanya mangkat dua tahun silam didarmakan di Kertawijayapura. Ibundanya kini berusia lima puluh delapan tahun, tetap bersemayam di keraton Daha sebagai sesepuh keraton, sosok yang paling dipundi dalam keluarga Girindra.
Hari ini ibusuri hadir dalam kirab, berada di rombongan paling depan diiringi sang patih Mpu Pambubuh beserta para mentri dan abdi keraton Daha.
Sang prabhu memiliki dua adik kandung yaitu Baginda Wengker Girisawardhana dan Banginda Tumapel Suraprabhawa. Keduanya hadir pula hari ini, berurutan di belakang rombongan Daha.”
“Aku ngerti, Paman. Sebelum mendaki tahta, sang prabhu pertama kali jadi raja di Pamotan, kemudian pindah ke Keling, lalu ke Kahuripan, dan dua tahun silam dinobatkan sebagai maharaja Majapahit menggantikan ayahandanya”
“Benar. Dari permaisuri Ratu Tanjungpura yang hari ini tampak bercahaya di sampingnya itu, sang prabhu menurunkan empat putra, kesemuanya lelaki. Yang tertua, Baginda Samarawijaya, menjadi putra mahkota, bersemayam di Kahuripan. Putra kedua, Baginda Wijayakarana, bersemayam di Mataram. Putra ketiga, Baginda Wijayakusuma, bersemayam di Pamotan, dan sang pamungsu, Baginda Ranawijaya, bersemayam di keraton Kertabhumi, keraton yang baru dibangun dua tahun silam.”
Kerumunan semakin pikuk.
Tiga mahamentri Katrini, Dyah Sudewa, Dyah Sudarkara, Dyah Jubung, bersama lima Mentri Pakirakiran, Rakryan Mapatih Majapahit Gajah Geger, Rakryan Rangga Capana, Rakryan Kanuruhan Samparka, Rakryan Demung Limpad, Rakryan Tumenggung Mpu Gading, membentuk satu kelompok bergerak di belakang joli sri nata.
Di belakang rombongan para mentri negara, berbaris para pembesar agama Siwa Boddha. Dharmadhyaksa ring Kasaiwan Dang Acarya Iswara bersama sang Pamegat Manghuri Dang Acarya Taranata dan Sang pamegat Pamwatan Dang Acarya Arkanata. Di belakangnya Dharmadhyaksa ring Kasogatan Dang Acarya Sastraraja bersama Sang Pamegat Kandangan Atuha Dang Acarya Naradara dan Sang Pamegat Kandangan Rare Dang Acarya Jinendra.
Di belakangnya rombongan para pujangga, Arya, kesatria, abdi berbagai jawatan, beranut runtut berpakaian seragam sesuai golongan dan kesatuan masing-masing. Bendera bergaris abang putih dan panji panji bergambar matahari, berkibaran menggagahkan rombongan sri baginda nata.
Terselip di antara barisan pujangga dan kesatria, terlihat enam sosok aneh berpakaian ala orang jelata, seorang diantaranya perempuan. Orang orang luar kotaraja tentu tidak banyak ngerti jika enam sosok merdeka itu sekelompok pendekar yang mendapat tempat khusus di keraton. Empat diantaranya pendekar Saramba, empat lelaki bersaudara dari gunung Merawu atau Merbabu. Sementara lelaki satunya, setengah tua, bernama Mahaguru Dewalata. Tokoh sakti dari pantai Popoh itu bersama murid kesayangannya, perempuan, sohor sebagai Mata Bulan Sabit.
Gong salung bergaung meraung raung ditingkahi lengking selompret pating croet sahut sahutan tingkah tingkahan joged jogedan. Barisan pujangga mengiringi dengan segala puja seloka memuja kebesaran dan kemegahan sri baginda nata yang sempurna dalam segala apa.
Diurut dari barisan terdepan, rombongan ibu suri Paduka Bhattara Daha Jayawardhani Dyah Jayeswari, berjalan paling muka diiringi Patih Mpu Pambubuh, para mentri Daha, serta barisan pasukan memanjang di belakangnya, terdapat pasukan khusus membawa bendera dan tunggul kebesaran keraton Daha bergambar dahanakusuma mengilat emas menyala berkibar menghantam udara.
Ratu Jagaraga Wijaya Indudewi Dyah Wijaya Duhita beserta para mentri dan pasukan pengiring di belakang, berpakaian tidak kalah megah dengan rombongan keraton Daha berpanji panji gambar kembang terate putih.
Ratu Kembangjenar Rajanandeswari Dyah Sudarmini, cucu mendiang Raden Sotor, diiringi sang patih sekaligus paman sri ratu yaitu Mpu Sodong serta para pengiring dan barisan pasukan. Di antara deretan itu terdapat pasukan perempuan gagah jelita jelita, mengibarkan bendera kebesaran bergambar bunga kemuning.
Di belakang rombongan bunga kemuning, barisan Raja Wengker Girisawardhana Dyah Suryawikrama, adinda sri baginda nata, diiringi sang Patih Mpu Arahiwang lengkap dengan para mentri dan pasukan berpanji panji gambar banteng putih mencorong.
Kemudian rombongan Raja Tumapel Singawikramawardhana Dyah Suraprabhawa dengan permaisurinya, Ratu Singhapura Rajasawardhanadewi Dyah Sripura. Patih Mpu Anila dan Senapati Arya Surung, dua mentri utama Tumapel,berbaur dengan rombongan para mentri Singhapura yang dipandegani Patih Pangastuti. Panji panji Mong Seta atau macan putih lambang keraton Singhapura, berpadu pula dengan bendera bergambar Cakra emas lambang kebesaran Tumapel. Dua kerajaan dari barat dan timur gunung Brahma ini menjadi rombongan megah gagah meriah setara rombongan sri baginda nata.
Ratu Singhapura Rajasawardhanadewi Dyah Sripura berada di belakang rombongan sang suami, diiringi Patih Pangastuti lengkap dengan para pengiring. Disambung serombongan berbaju kedodoran, bertudung, berpakaian paduan kuning, merah, dan putih, bertubuh besar tinggi, rombongan Tiongkok pimpinan Mahaduta Ma Jong Fu.
Rombongan sri nata menjadi ekor naga raksasa kirab bulan Palguna.
Para penonton berdesuk desuk ribut rebut tempat. Tiap rumah mengibarkan bendera dan umbul umbul, mendirikan panggung membujur indah berhias wajah wajah penuh kegumunan seakan akan baru kali ini menonton kirab.
Bergerak melawan kerumunan, lima sosok berikat kepala kuning sama mengincar joli indah gemerlap berpagar enam belas perwira Bhayangkari pimpinan Senapati Rego Lalang.
“AH!”
“Maap Kisanak.”
“?!”
Tak boleh ada keributan jika tidak ingin menyedot perhatian. Melototpun tidak.
Sosok berikat kepala kuning yang hidungnya baru tersodok sikut penonton itu cuma mendengus lalu lanjutkan laju menjangkau joli. Melambaikan tangan mengeluarkan gerakan tertentu. Tanda itu disambut anggukan kepala di timur jalan.
Tangan tangan meraba balik baju mengeluarkan sesuatu. Mata mata tombak berkait berpindah tempat. Kecil saja ukurannya. Dalam genggaman tidak menyolok pandangan mata.
Berbarengan lengking panjang selompret serak, sepasang mata tombak berkait terbang melesat mengincar joli. Satu bayangan bergerak cepat menapak kepala kepala penonton di seputaran joli.
“Panca Pandita Anahut Surya!”
Senopati Rego Lalang yang berada di luar barisan, bagai dientup kalajengking paling ganas. Kalimat lambang itu mengandung makna penting. Kalimat lambang yang menggetarkan tubuh. Seluruh pancaindra bekerja sangat cepat menelisik setiap suara asing yang menggesek gemremeng kirab. Setiap gerik denting senjata, gerak seluruh telapak, kesiur angin dan desir kelebat dari empat penjuru kiblat, terangkum dalam jangkauan kesadarannya.
“Panca pandita anahut surya artinya lima pandita menelan matahari, lima kekuatan pendeta menelan maharaja Wilwatikta. Apakah Rakryan Mapatih Gajah Geger, gusti Capana, Samparka, juga Pangulun serta para mentri lain mampu membaca kalimat lambang tadi? Bagi yang mengerti tentu bakal melakukan gerakan penyelamatan cepat tanpa memikir riwayat nasib hidup sendiri. Saat tepat bagi prajurit sejati menunjukkan darmabekti. Tak ada sambutan berarti dari sana. Tak ada pergerakan ke arah joli. Para Bhayangkari di kanan kiri joli tetap rapi. AH!”
Pikiran itu bergerak sangat cepat melebihi kecepatan mata mata tombak yang kini hampir menyentuh sasaran. Tubuh kurus lampai itu melambung. Kedua telapak tangannya melontar pukulan jarak jauh ke bawah joli.
“Papat kiblat lima pancer!”
Seluruh prajurit Bhayangkari hapal kalimat sandi yang dikumandangkan senapati kelahiran Anjukladang tadi. Tanpa pikir panjang, dua belas prajurit Bhayangkara bersenjata pedang segera mengurung joli yang ditempati sri nata. Seruan Senopati Rego Lalang tanda sedang terjadi bahaya yang mengancam sri nata. Papat kiblat lima pancer, penjagaan rapat di keempat kiblat, menjaga keamanan sosok yang menjadi pancer. Semua pasang mata para Bhayangkari bekerja cepat telengas, berupaya mencari sosok atau gerakan mencurigakan yang mengarah ke dalam joli.
Tetapi pisau pisau melayang lebih cepat dari yang dibayangkan Senopati Rego Lalang. Joli sudah gonjang akibat dua prajurit pemandu di belakang joli termakan lemparan pisau yang meluncur deras dari arah kerumunan, satu dari kanan, satu dari kiri jalan.
Ketika ada sepasang pisau lain mengarah leher kanan dan kiri sang prabhu, melayang dari kerumunan, sesosok berambut panjang melesat beradu kebat dengan sepasang senjata maut itu, merampas tubuh sang prabhu!
Buntalan kumal meluncur jatuh. Sebuah buku mencolot dari dalam buntalan. Tangkas tangan senapati Rego Lalang menangkapnya.
“AH!”
“Siwi Sang!”
“HA?!”
“Dia sengaja menjatuhkan buku terbitan Pena Ananda Indie Publishing Tulungagung ini. Lihat kafernya. Kafer depan gambar gerbang Jatipasar. Kafer belakang relief goa Pasir. Keren bukan? Konon, isinya juga mantap. Mencengangkan. Out of the box! Banyak analisa baru terkait sejarah pararaja Tumapel dan Majapahit.”
“Diskusinya nanti saja, Kakang. Siapapun dia, yang jelas kini sudah melarikan Sang Prabhu.”
“Tunggu apalagi?”
Tap tap tap! Cepat sekali Senopati Rego Lalang menyusul sosok berambut panjang yang diduga sebagai Siwi Sang, penulis buku GIRINDRA : Pararaja Tumapel-Majapahit.
***