Selain mencatat tiga Mahamentri Katrini dan para pemuka agama, piagam Kudadu bertarikh 1294M mencatat tiga menteri Pasangguhan, yaitu Rakryan Menteri Pranaraja, Rakryan Menteri Arya Adikara, dan Rakryan Menteri Arya Wiraraja.
Pranaraja, Arya Adikara, dan Arya Wiraraja merupakan tiga tokoh beda.
Dalam piagam Penangungan bertarikh 1296M, mencatat nama para menteri keraton dan daerah diantaranya Rakryan Patih Mpu Tambi, Rakryan Patih Daha Mpu Sora, Rakryan Demung Mpu Renteng, Rakryan Demung Daha Mpu Rakat, rakryan Kanuruhan Mpu Elam, Rakryan Rangga Mpu Sasi, Rakryan Rangga Daha Mpu Dipa, Rakryan Tumenggung Mpu Wahana, Rakryan Tumenggung Daha Mpu Pamor. Kemudian tiga menteri Pasangguhan, Sang Nayapati Mpu Lunggah, Sang Pranaraja Mpu Sina, dan Sang Satyaguna Mpu Bango.
Pada prasasti Penanggungan, nama Arya Adikara dan Arya Wiraraja hilang. Pranaraja masih muncul lengkap dengan nama aslinya, Mpu Sina. Kedudukan Arya Adikara dan Arya Wiraraja sebagai menteri Pasangguhan digantikan oleh Sang Nayapati Mpu Lunggah dan Sang Satyaguna Mpu Bango.
Pertanyaan pertama, mengapa pada piagam Kudadu tidak tercatat nama Ranggalawe?
Pertanyaan kedua, benarkah Ranggalawe putra Arya Wiraraja?
Pertanyaan ketiga, ke mana Arya Adikara dan Arya Wiraraja pada tahun 1296M?
Akan kita selusuri.
Dalam buku Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya, Slamet Muljana juga antara lain bertanya heran, mengapa Ranggalawe tidak termuat dalam prasasti Kudadu, sementara Arya Wiraraja termuat. Mengingat kedudukannya yang sangat tinggi akibat jasa-jasanya, Ranggalawe pasti mendapat anugerah pangkat tinggi dalam pemerintahan Majapait. Demikian keyakinan Slamet Muljana. Menurut Kidung Panji Wijaya Parakrama, nama Ranggalawe adalah hadiah Nararya Sanggramawijaya kepada putra Arya Wiraraja, ketika diutus ayahnya membantu Raden Wijaya membuka alas Tarik. Jadi nama Ranggalawe bukanlah nama sebenarnya. Menurut Pararaton dan Kidung Ranggalawe, Arya Wiraraja juga bernama Arya Adikara, ketika ia mengabdi sebagai demung di Singasari. Berdasarkan atas pemberitaan tersebut, Slamet Muljana meyakini bahwa Rakryan Menteri Arya Adikara, yang tercatat pada piagam Kudadu adalah sama dengan Ranggalawe, yang dikisahkan dalam Pararaton dan Kidung Ranggalawe. Jadi nama resmi Ranggalawe adalah Arya Adikara, nunggak semi dengan ayahnya.
Sebenarnya Slamet Muljana hampir benar. Benarnya bahwa ayah Ranggalawe memang bernama Arya Adikara. Tetapi beliau keliru karena mengganggap Arya Adikara yang termuat dalam prasasti Kudadu sebagai Ranggalawe. Alasan bahwa Ranggalawe nunggak semi atau memiliki nama kembar dengan ayahnya, tidak dapat dipertahankan lagi. Ranggalawe yang dimaksud Slamet Muljana jelas tidak tercantum dalam piagam Kudadu.
Logika untuk menyanggah analisa Slamet Muljana sesungguhnya sangat sederhana. Jika Ranggalawe tercantum dalam prasasti Kudadu, sewajibnya Nambi dan terutama Sora juga lebih dicantumkan. Sora adalah paman Ranggalawe. Jasanya juga boleh dibilang setara, bahkan lebih bagusan Sora. Nambi juga lebih tua ketimbang Ranggalawe. Jasanya juga boleh dianggap setara. Selain Arya Adikara dan Arya Wiraraja, Ranggalawe, Nambi, dan Sora, memang tiga tokoh paling mengemuka pada awal perjuangan Raden Wijaya merebut kekuasaan dari Jayakatwang. Jika Ranggalawe menjadi menteri, Nambi dan Sora juga harus lebih jadi menteri, harus dicantumkan dalam prasasti bareng Ranggalawe. Kenyataannya tidak. Nama Nambi alias Tambi dan Sora belum tercantum dalam prasasti Kudadu.
Sekali lagi, Arya Adikara yang tercantum dalam prasasti Kudadu bukan Ranggalawe, melainkan ayah Ranggalawe.
Ranggalawe, Nambi, dan Sora belum tercantum dalam prasasti Kudadu, karena Raden Wijaya memang belum membentuk Dewan Menteri Pakirakiran. Negara masih sangat darurat. Sementara memilih seorang mahapatih, bukan perkara sepele, tidak asal tunjuk, harus berdasarkan pertimbangan matang bijaksana. Sang Raja masih sulit menentukan siapa yang bakal menduduki kursi mahapatih. Apakah Sora, apakah Nambi, apakah Ranggalawe. Jadi sementara waktu Raden Wijaya hanya mengangkat tiga menteri Pasangguhan, tiga tokoh sepuh yang sangat berpengaruh, dan segera dicantumkan dalam prasasti pertamanya.
Tiga menteri Pasangguhan yang tercatat dalam Piagam Kudadu adalah tokoh-tokoh unggulan, tokoh sepuh yang sangat dihormati kedudukannya di mata Raden Wijaya. Sementara Ranggalawe masih muda, belum layak dimajukan sebagai menteri Pasangguhan. Paling banter sebagai menteri ring Pakirakiran bersama Nambi dan Sora.
Pertanyaan kedua, benarkah Ranggalawe putra Arya Wiraraja?
Jawabannya bukan. Keduanya tidak ada hubungan keluarga. Ranggalawe dan Arya Wiraraja sesungguhnya saingan berat! Ranggalawe adalah keponakan Mpu Sora. Sementara Arya Wiraraja adalah ayah Mpu Tambi alias Nambi. Sora dan Tambu dua bakal calon mahapatih Majapait.
”Samangka Raden Wijaya tinuduh amaguta sanjata kang saka loring tumapel ingiring denira Arya Dikara, sira Banak Kapuk, sira Ranggalawe, sira Pedang, sira Sora, sira Dangdi, sira Ki Ageng Gajah Pagon, anakira Wiraraja aran sira Nambi, sira Peteng, sira Wirot.”
Berita Pararaton ini menunjukkan bahwa Arya Wiraraja adalah ayah Nambi, Wirot, dan Peteng. Ranggalawe bukan putra Arya Wiraraja, melainkan putra Arya Adikara.
Raden Wijaya bingung, mau memilih mahapatih dari keluarga Adikara atau Wiraraja. Jika dari keluarga Adikara, ada dua calon, yaitu Sora dan Ranggalawe, tetapi Ranggalawe sendiri malah segan dan memajukan Sora. Sementara jika mengangkat keluarga Wiraraja, maka Raden Wijaya memiliki calon yaitu Nambi. Dan memang Nambi yang kemudian diangkat sebagai mahapatih. Pengangkatan Nambi terjadi pada tahun 1295M. Inilah yang menyebabkan kemelut di keraton. Kemelut ini menyebabkan Ranggalawe gugur.
Setelah peristiwa Ranggalawe, 1295M, Arya Adikara ditempatkan di Tuban sebagai adipati amancanagara, mengganti kedudukan putranya. Kelak Arya Adikara menyerahkan jabatan adipati kepada cucunya, putra Ranggalawe yaitu Arya Teja. Ketika Ranggalawe gugur, Arya Teja masih bocah.
Sementara Arya Wiraraja memutuskan meninggalkan keraton, menagih janji kepada Raden Wijaya yang akan membagi kerajaan menjadi dua. Janji itu ditepati, Arya Wiraraja mendapatkan daerah Lumajang beserta tiga daerah juru.
Slamet Muljana menafsirkan kepergian Arya Wiraraja ke Lumajang lantaran kecewa berat dengan gugurnya Ranggalawe, putranya. Padahal kepergian Wiraraja, tidak ada kaitannya dengan gugurnya Ranggalawe. Arya Wiraraja pergi ke Lumajang justru dengan kegembiraan dobel. Pertama, gembira karena putranya, Nambi, diangkat sebagai Mahapatih Majapait. Kedua, mendapatkan apa yang pernah dijanjikan Raden Wijaya.
Inilah Arya Wiraraja. Ia bukan asli Madura, melainkan dari Desa Nangka. Di mana letak Desa Nangka? Di utara Kadiri. Ia adalah ayah Mpu Nambi. Pernah menjadi demung pada masa Kertanagara, kemudian dipindah ke Sumenep, lalu setelah Raden Wijaya naik tahta, diangkat sebagai menteri Pasangguhan, dan pada tahun 1295, menjadi raja di daerah Lamajang.
Pantas saja, Arya Adikara dan Arya Wiraraja tidak muncul dalam prasasti Penanggungan 1296M.
* * *
SIWI SANG