Namun, seiring berjalannya waktu bukan hanya hal-hal yang sedangbooming di televisi saja yang mereka bicarakan. Melainkan juga menyangkut kehidupan orang-orang di sekita mereka.
Nah, dari sinilah budaya "rumpi" mulai muncul. Ketika mereka mendapati anak gadis tetangga mereka pulang ke rumah hingga larut malam, maka dengan segera hal tersebat akan menjadi bahan pembicaraan yang hangat. Mereka tidak perduli apakah gadis tersebut pulang larut malam karena bekerja atau kuliah. Bagi mereka dengan gadis tersebut pulang larut malam, berarti gadis tersebut telah membuat aib bagi keluarganya.
Dari budaya rumpi tersebut, tidak jarang di antaranya menimbulkan hasutan bagi orang lain. Hasutan ini seakan menjadi profokator atas pembicaraan yang sedang hangat tersebut. Jadilah image sesorang buruk akibat budaya rumpi tersebut.
Hal inilah, yang akhirnya mengganggu privasi kita. Para tetangga "tukang rumpi" tersebut menilai kita berdasarkan sudut pandang mereka sendiri. Lambat laun, kita pun menjadi enggan beraktivitas karena takut apa yang kita lakukan akan menjadi bahan rumpi para tetangga.
Para tetangga "tukang rumpi" ini kebanyakan adalah kaum ibu. Mereka yang sebenarnya tidak mempunyai pekerjaan lalu menganggur lantas berkumpul dengan orang-orang yang bernasib sama. Dari perkumpulan itulah mereka akhirnya mulai melakukan aktivitas "rumpi" tersebut, di mulai dari topik mengenai hal-hal yang sedangbooming di televisi.
Hal tersebut sebenarnya dapat diantisipasi dengan tidak berkumpulnya para tetangga yang menganggur. Karena bagaimana pun "rumpi" tersebut muncul ketika beberapa orang yang menganggur mulai membicarakan hal-hal yang tidak penting.