Modusnya pun serupa. Seorang simpatisan Prabowo (kadang juga pihak yang betul-betul menyimpan kekhawatiran khusus), menyebarkan postingan berita yang termuat dalam sebuah portal berita. Dari yang saya pernah lihat, misalnya wacana dihilangkannya kolom agama di KTP. Dan yang terbaru, wacana yang dihembuskan seorang anggota pemenangan Jokowi, Musdah Mulia. Wacana itu tentu sama kontroversialnya dengan yang pernah dicetuskan, misalnya usulan pernikahan sejenis. Kali ini, menurut postingan dimaksud, Musdah siap mengusulkan untuk menghapus aturan rumah ibadah. Dalam artikel dengan judul Tim Jokowi: Aturan Rumah Ibadah akan Dihapus, cetusan Musdah yang dikutip adalah peraturan soal pendirian rumah ibadah akan dihapus karena menyulitkan kaum minoritas. Musdah, menurut portal dimaksud, mencetuskannya dalam diskusi Masa Depan Kebebasan Beragama dan Kelompok Minor di Indonesia di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (18/6).
Selain muatan berita dalam postingan itu, buat saya ada yang lebih menarik untuk dicermati. Apalagi kalau bukan komen-komen yang berseliweran di bawahnya. Beberapa komen, bisa ditebak menghujat sang pencetus wacana. Sejumlah komen lainnya—ini yang menarik—menyalahkan para pemilih Jokowi. Bahkan ada yang secara spesifik menulis begini (tidak saya edit ya); Selamat ...untuk memilih jokowi.....mereka ikut sesat....naudzubillah mindzaliq....
Sebagai pemilih pasangan Jokowi-JK, jika menuruti “panas kuping dan hati”, inginnya sih saya protes keras melalui komen di postingan itu. Tapi, ketika dipikir-pikir lagi, sepertinya tak akan ada gunanya. Ini virus yang sama yang sudah menghinggapi dan memecah belah para pemilih Pilpres lalu ke dalam dua kubu dengan “kebencian” mendalam. Mau memakai alasan dan cara penuturan apapun dijamin tak bakal ada titik temu. Maklum, pada pilpres ini, kita sepertinya sudah tak lagi mengenal istilah obyektivitas. Tapi, sebagai orang yang senang menulis, wacana dalam postingan itu bersama komen-komen yang menyertainya terlalu menggelitik buat saya untuk tidak dituliskan dalam catatan ini.
Dalam perkara topik yang dihujat yakni perihal perkawinan sejenis, dihilangkannya kolom agama dalam KTP, atau penghapusan aturan rumah ibadah, itu, menurut saya baru sebatas WACANA yang dicetuskan SEORANG anggota, bukan USULAN RESMI dari TIM JOKOWI. Untuk itu, muatan dalam postingan dimaksud rasanya terlalu prematur jika kita sebut betul-betul bakal terjadi. Jika pun nanti, ting-bating, usulan-usulan kontroversial itu betul diajukan secara resmi, saya kira itu akan menuai badai protes yang bisa berujung pada kejatuhan Jokowi-JK sendiri.
Bagaimana jika kekhawatiran itu betul-betul terjadi? Pantaskah para pemilih Jokowi dicap sesat? Untuk ini, saya ingin balik bertanya: ketika para petinggi Partai Demokrat terjerat kasus korupsi, apakah para pemilih SBY di Pilpres 2009 lalu ikut berdosa? Ketika seorang wakil rakyat dibui gara-gara korupsi, pesta narkoba, atau selingkuh, itu berarti dosanya berada pula pada para konstituennya? Lebih ekstrim lagi, saat seorang perempuan diperkosa karena pakaiannya terlalu seksi, itu berarti dia ikut berdosa atas perkosaan yang dialaminya?
Dalam konteks ilmu agama, seberapa harus mulia seseorang agar ia boleh mencap orang lain sesat? Adakah takaran tertentu bagi keimanan dan ketakwaan seseorang sampai ia boleh mendeklarasikan orang lain (yang seiman) itu laknatullah? Karena jika takarannya kesempurnaan, siapapun yang terpilih, para pemilih dipastikan akan berdosa karena tak ada di antara mereka pemimpin yang sempurna kecuali you know who!
Ketika saya masih tergabung dalam swing voter hingga 5 hari jelang Pilpres, sumpah wacana-wacana ala yang dicetuskan Musdah Mulia itu meneror saya. Belum lagi ditambah Jokowi itu antek asing. Jokowi itu turunan Cina yang kemuslimannya patut dipertanyakan (yang bahkan memasang kain ihrom saja sampai terbalik). Ditambah lagi seruan sejumlah ulama kondang agar umat Islam sebaiknya tidak memilih Jokowi. Atau siapa yang tak tahu bahwa Jokowi itu bonekanya Megawati? Serta kalo jadi presiden ia akan kembali menghidupkan komunisme di Indonesia!
Lantas kenapa saya bersikukuh memilih Jokowi? Selain kinerjanya dalam tugas-tugas kepemerintahan yang selama ini saya yakini benar adanya dan bukan untuk pencitraan, sejumlah tokoh lintas kalangan, termasuk ulama ternama, menjadi pembenaran bagi saya. Ketika dibenturkan pada isu-isu SARA itu, saya “menghibur diri” bahwa mereka—para cendikia dan ulama itu—pasti melihat suatu kebenaran pada sosok Jokowi. Dan kebenaran inilah yang mungkin belum atau masih sulit saya cermati. Jadi ya bismillah aja....
Yang juga unik dari sosok Jokowi adalah gayanya yang buat kubu seberang pasti sangat “nyengiti”. Dituduh turunan Cina Singapura, ia enteng menukas; “Muka ndeso kok dibilang asal Singapura,” katanya sambil terkekeh. Saat berkunjung ke Banten dan dicecar jurnalis perihal kekalahan telaknya, boro-boro tercekat lalu menampilkan muka sedih atau kecut, ia justru bilang bahwa hasil ini patut sekali disyukuri karena dari survei sebelumnya diprediksi hanya sanggup mendulang 20 persen suara di Banten. Contoh betapa Jokowi “nyengiti” juga terlihat saat ia memberlakukan sama terhadap awak media yang jelas-jelas “mengeroyoknya” pada masa pencitraan dan kampanye lalu. Sok aja deh, ada berita Jokowi nolak diwawancara atau marah-marah pada grup media yang beda haluan dengannya?
Nah, dalam menghadapi para pendukung Prabowo yang “numpahin” kesal dengan menyalahkan KPU, heker asing, dan kini pemilih Jokowi ini, ilmu “nyengiti” Jokowi rasanya pantas saya tiru. Jadi, meski dituding sesat, saya menanggapinya cukup dengan cengar-cengir hehehehe.
Salam belajar demokrasi. Selamat Idul Fitri 1435 Hijriah. Mohon maaf lahir & batin buat segenap pemilih.