Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Situn: Perempuan dan Sepotong Impian [Ramen]

11 Januari 2012   12:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:01 322 2

‘Tolong bawakan terongnya Tun’ pinta Wiji sambil lalu gesit melucuti gembok dan grendel itu.

Pintu terbuka. Lekas keduanya menyelinap ke dalam ruang. Gelap  dan pengap. Tangan Wiji lincah merayap saklar. Sedetik kemudian lampu menyala. Cahaya menyebar ke segala sudut ruang. Meski pendar.

Tiga buah pigura menghias dinding sempit dalam ruangan. Dua di antaranya, terpajang sejajar. Persis di atas kotak pakaian. Di sebelah kiri dari pintu kecil biru muram itu.

Seorang belia dalam gambar. Perempuan. Mengenakan setelan pakaian mini dengan warna kontras. Kaos ketat berwarna biru cobalt dan sepotong rok setinggi paha warna perak. Di atas sebauh panggung. Di bawahnya kerumunan pemuda asyik bergoyang. Mabuk.

Tepat di samping kirinyanya, sejajar, seorang  belia dalam gambar, perempuan, menebar pantat ke arah kamera. Wajahnya ter-tarik, menoleh kebelakang. Mengarah pada beberapa pemuda. Menggoda. Di atas sebuah panggung. Dengan kerumunan pemuda asyik bergoyang.  Mabuk.

Penasaran. Situn mendekat dan melihat kedua gambar itu. ‘Ji, perempuan dalam gambar itu apa benar kamu?’ Tanya Situn ingin tau.

Tidak ada jawaban. ‘Ji…. Ini gambar siapa?’ Situn mengulang.

Wiji yang berada di sebelah ruang hanya terdiam. Mesem. Bangga karena ada yang penasaran terhadap foto remajanya. Di otaknya, sempat ada pikiran nakal mengerjai Situn. Namun itu sirna.

‘Ya fotoku lah’ jawab Wiji percaya diri. Namun terdengar angkuh.

‘Wah, hebat sekali kamu’  puji Situn tanpa dosa. ‘Ini kapan? di mana? Dalam acara apa? Kamu nyanyi apa?’ cecar Situn kegirangan.

Tak ada jawaban. Sesaat setelah itu Wiji muncul dari samping ruangan. Membawa cobek dan ulek. Menaruhnya di atas lantai lalu kemudian bersimpuh di sampingya.

Tanpa jeda, Situn memburu dan dengan padangan sayu mengarah ke wajah Wiji. Seolah penuh harap ‘jawablah pertanyaanku.

Sesaat Wiji rehat sejenak. Meletakan beberapa batang cabai yang sudah ia genggam. Membalas pandangan Situn, kemudian merekahkan senyum pada kedua lembar bibirnya.

‘Ooo, foto itu’ bisik Wiji. ‘itu foto waktu aku nyinden dangdut. Beberapa tahun lalu, saat aku masih SMU’ Wiji menambahkan, ‘itu foto di desaku. Di tempat pak Lurah Pranoto. Saat anak bungsunya di khitan’ ujarnya.

‘Aku dulu penyanyi kampung Tun’ kenang Wiji. Semua pemuda desa gila sama goyanganku’ tambahnya, sebelum kemudian terdiam.

‘Lalu kenapa sekarang kamu gak nyanyi saja?’ Tanya Situn penuh curiga.

Wiji tersenyum. Dia seolah bahagia kala ada seorang yang tertarik dengan kisahnya.

‘Orangtuaku Tun’ tutur Wiji, lalu melanjutkan ‘Mereka melarangku jadi seorang biduan. Alasanya penyanyi itu pekerjaan kotor, menyesatkan dan hanya jadi penyakit masyarakat’ Wiji menjelaskan.

‘Ahhh, siapa yang bilang? Kenapa mereka berfikir seperti itu?’ Tanya Situn penuh curiga.

‘Ya orangtuaku lah, kan tadi sudah kubilang’ tegas Wiji. ‘Bapak-Ibuku itu seorang pegawai negri, dan juga guru ngaji di langgar sebelah rumah. Mereka malu kalau anaknya jadi penghibur. Apalagi setiap aku manggung, para pemuda selalu mabuk-mabukan dan tawuran’ tutur Wiji sembari menutup kalimatnya.

Situn membisu. Suasana tanpa suara. Senyap.

‘Sebenarnya sejak kecil aku bercita-cita jadi penyanyi Ji’ ungkap Situn lemah ‘Aku suka bernyanyi, tapi tidak suka puisi’ Situn melengkapi.

‘Ha..ha..ha..ha’ Wiji terpingkal mendengar pengakuan Situn.

Situn tetap membatu. Raut mukanya berubah. Rona merah perlahan menyebar pada kedua pipinya yang padat. Situn tersipu. Malu.

‘Ha..ha..ha..ha’ perut Wiji masih gatal. ‘Sadar Tun… sadar’ Wiji menimpal sesaat kemudian. ‘Sudahlah, berhentilah melawak. Lebih baik kita selesaikan nyambalnya! Aku sudah lapar nih’ sambar Wiji bijak.

Pandangan Situn masih menyusuri kotak-kotak lantai itu. Sembari tanganya mengupas beberapa siung bawang.

‘Eh.. tolong putar radio gih. Jam segini biasanya lagunya bagus-bagus’ perintah Wiji sesaat kemudian.

Tanpa suara, Situn bereaksi. Bangkit dan menuju radio di pojok ruang. Di dekat setumpuk kain dan sebatang setrika.

Diputarnya radio itu. Saluran demi saluran dia telusuri. Tak satupun suara lagu yang keluar. Hanya desisan ‘sssstt… sssttt….sssstt.

‘Pada kemana penyiar radio pagi ini’ Situn mulai mengomel. Dan dia masih tetap menemukan suara yang sama ‘sssstt…..sssstt…sssstt.’

Hingga sesaat kemudian; ‘..Maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok…’Suara keras sebuah sajak yang dibacakan keluar mendadak dari sebuah saluran radio. Yang tak diharapkan.

Bruak…’ suara tombol power yang ditekan keras oleh Situn. Dan sesaat kemudian sajak dalam radio itu menghilang.

‘Asem, bajingan, sialan, lonte, kurangajar’ umpat Situn. ‘Aku benci puisi’ teriaknya kesal.

‘Pecahkan saja radionya biar ramai Tun’ Wiji menimpali  dari lantai sambil ngulek sambal.

Sesaat kemudian, keduanya saling bertemu pandang.

‘Ha..ha..ha..ha..ha..’ tawa meledak di antara keduanya.

Kemudian Situn kembali ke tempat Wiji berada. Ngulek sambel. Di lantai.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun