Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Situn: Potret Perempuan Terpinggirkan (2)

6 Januari 2012   16:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:14 497 1

Seorang wanita, dengan sebatang terong ditangan kiri, dan sebelah kananya penuh rempah dan bumbu dapur. Juga dua buntal tempe. Wiji. Telah mematung. Melintang tepat ditengah gawang pintu.

Dia sedikit merunduk. Kedua matanya tajam menusuk pandangan Situn. Salah satu alisnya diangkat. Mengerenyit. Dan sedikit menelan kedua lembar bibirnya. Kedalam. Tatapan itu, seolah sebuah kode rahasia yang maknanya ‘sudah kau makankah si ikan segar?’

Seakan memahami bahasa misterius itu, Situn, mesem. Tanpa sepatahpun ada kata.

‘Ha..ha..ha..ha’ suara tawa meledak dari keduanya.

‘Ji, masuk dulu gih’ situn menarik lengan Wiji kedalam kamarnya. ‘Sebentar aku tak pakai cawet sama kotang’ tambah Situn sambil menuju ke pojok ranjang di mana potongan kain itu terserak.

Sementara Situn menuju ranjang, Wiji berjalan belawanan menuju sudut lain kamar itu. Di atas meja rias, di depan cermin buram yang retak, dan tertutup deretan lipen serta tumpukan bedak. Sepotong potret. Wanita, setengah umur dengan kebaya, dan dibingkai dengan perca kulit pinus itu, menyita perhatian Wiji.

Cukup beberapa langkah menggapainya. Kemudian, lekas Wiji menyerobot dan memelototi.

‘Ini foto siapa Tun?’ Tanya Wiji.

‘Emak’ Balas Situn ringkas tanpa menoleh. Karena memang hanya ada satu foto di ruang 3x3 itu.

‘Di mana dia sekarang?’ cecar Wiji.

‘Mati’ jawab Situn datar.

‘Ma’af  ya Tun’ lontar Wiji penuh sesal, lalu meletakan potret itu kembali pada tempatnya.

Situn tidak menjawab. Sedetik kemudian dia sudah berada di sisi Wiji dengan cawat dan kotang di tangan. Sementara tangan kananya dengan cepat menyambar gambar emaknya. Dan kemudian duduk di kursi setengah patah itu. Bersandar ketombok. Pendanganya lepas menerawang langit-langit yang sudah penuh dengan serawang.

‘Emaku telah mati’ bisik Situn parau.

‘Setahun, setelah dia gila karena sepotong mayat itu’ Situn terus bergumam ‘Dia dipasung. Ya, dia dipasung disebelah kandang kambing belakang rumah.’ Situn berhenti sejenak. Menelan ludah dan mengambil nafas panjang.

‘Emak mati ketika perutya mulai membuncit. Mengandung. Akibat ulah suaminya bulik.’ Seolah nafas Situn tersumbat. Hening.

‘Emak mati dipotas’ desis Situn garau sesaat kemudian.

Sementara pandangan Wiji tertekuk menatap lantai. Menyesal. Bingung. Hanya menyessal dan bingung yang tersisa. Berdiri. Kaku, seolah semua badanya membeku. Mulutnya terkunci.

Lebih dari lima menit lamanya, ruangan itu tanpa suara. Senyap. Sebelum akhirnya;

‘Ha..ha..ha..ha’ suara tawa meledak, meleburkan ketegangan.

Wiji tersontak, kaget.

‘Ha..ha..ha..ha’ tawa Situn semakin menjadi. Dia sudah terguling dan bersimpuh di lantai, sambil memegangi perutnya.

‘Kamu tertipu…ha..ha…ha’ teriak Situn sambil terus tetawa ngakak. Beberapa bulir peluh mengalir dari kedua sudut matanya. Dan Situn terus tertawa.

‘Edan kamu ini Tun’ bantah Wiji kesal ‘Temen sendiri kamu kerjai’ omel Wiji ketus. ‘Sudahlah… pakai cawet dan kotangmu, cepat! dan ketempatku. Nyambel’ Perintah Wiji ‘Ini gak lucu tau’ teriak Wiji kesal.

Sambil tertawa, Situn bangkit. Melepas dasternya. Telanjang. Memasang cawet dan kotang pada tempatnya. Rapat.

Tak lama berselang, perlahan mereka meninggalkan kamar itu. Menuju kerumah Wiji. Nyambel. (6/1/12)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun