Hari itu, hujan mengguyur deras sejak pagi, seperti biasa. Arya duduk di depan jendela kecil di kamarnya, memandang ke luar. Ada sesuatu tentang hujan yang membuatnya merasa tenang sekaligus hampa, seperti ada ruang kosong di dalam dirinya yang tidak pernah terisi.
Suara derit pintu tua terdengar. Nenek Arya masuk membawa secangkir cokelat hangat. “Apa yang kamu pikirkan, Arya?” tanyanya lembut.
Arya mengangkat bahu. “Apa hujan pernah berhenti, Nek?”
Nenek tertawa kecil sambil duduk di kursi dekat tempat tidur. “Tentu saja berhenti. Tapi hujan tidak pernah benar-benar menghilang. Ia akan kembali, membawa cerita baru.”
Arya memandang neneknya. “Cerita apa?”
“Seperti cerita tentang burung kecil yang pernah tinggal di pohon mangga kita dulu,” jawab nenek sambil tersenyum. “Setiap kali hujan datang, ia bernyanyi keras-keras. Orang-orang bilang ia bernyanyi karena bahagia, tapi sebenarnya ia bernyanyi untuk memanggil temannya yang hilang.”
Arya menatap neneknya dengan mata lebar. “Lalu, apa temannya kembali?”
Nenek mengangguk pelan. “Kembali, tapi dalam bentuk yang berbeda. Mungkin bukan burung, tapi angin yang meniup dedaunan, atau sinar matahari yang muncul di sela awan. Temannya selalu ada, hanya saja harus dilihat dengan cara yang berbeda.”
Malam itu, Arya memikirkan cerita neneknya. Hujan masih turun, tapi kini terdengar lebih ramah. Ia mulai membayangkan bahwa setiap tetes hujan membawa pesan dari seseorang yang jauh, seseorang yang mungkin sedang memikirkannya.