"Trend" ini brkembang pesat, seiring perkembangan arus dan media penyampaian data dan informasi yang sayangnya belum mampu sepenuhnya menuntun masyrakat untuk memilah dan memilih data dan informasi yang cocok untuk dikonsumsi. Masyarakat kebanyakan pun sepertinya enggan memperdalam kemahiran meraka dalam literasi digital. Sehingga fakta dan hoax yang saling berjejalan menjadi santapan empuk rohani para netizen. Kepiawaian netizen dalam bermedia juga turut andil dalam memformat bola salju trend destruktif yang berkembang. Ketika pejabat A dan B berseteru, maka pendukungnya juga akan ikut perang tanding di media, bahkan tanpa pemahaman penuh terhadap situasi yang terjadi. Terpenting, hasrat "berantem"nya tersalurkan, konten yang dibuat booming dan menghasilkan cuan plus tenar. Etika dan moral entah dideret pada urutan yang keberapa.
Menjelang Pemilu serentak tahun 2024 yang menurut saya masih jauh (beda dengan hitungan politik yang menganggap sudah mepet) perdebatan ellite politik kian kentara. Perdebatan kelompok antaraktor politik yang berasal dari agen politik yang berbeda kian ramai dipertontonkan. Belum lagi jika kondisi ini "dimasuki"oleh golongan oposisi, maka akan berkembang menjadi big party yang menebar aroma kebencian dan berpotensi mendegradasi kesatuan dan persatuan. Jatah masyarakat awam hanya menonton perdebatan demi perdebatan sehingga wajar jika dari pikir dan mulut mereka terlontar tanya "Jika demikian terus, kapan mereka memikirkan rakyatnya?" Tanya sederhana yang membutuhkan penjelasan kaffah agar tidak terjadi sesat pikir.
Begitu banyaknya pejabat yang terjerat hukum karena berbagai kasus, kalau melihat trend di media sosial, sepertinya kasus korupsi menduduki peringkat pertama dengan kasus terbanyak. Perilaku ini bahkam sudah merajalela hingga dalam lapis terendah sistem pemerintahan. Meski IPK (Indeks Korupsi Indonesia) menguat 1 point pada tahun 2021 menjadi 38 (dari rentang 0-100), tetapi kasus korupsi sepertinya tidak berkurang, bahkan cenderung bertambah seiring banyaknya oknum yang terciduk karena kasus tersebut. Belum lagi mereka yang masih asyik berproses (belum ketahuan), mengingat korupsi merupakan iceberg case. IPK Indonesia menurut Transparency Internasional bahkan pernah mencapai angka 40 pada tahun 2019. Banyak pihak yang pesimis, jika penurunan angka tersebut sejalan dengan penurunan trend korupsi di Indonesia.
Pesimistis itu bukan tanpa dasar, rentetan kasus korupsi yang diungkap APH (Aparat Penegak Hukum) kian menjamur. Dari level menteri hingga kepala dusun, melibatkan oknum dari institusi pemerintah maupun swasta. Tidak tanggung-tanggung, mereka yang baru menduduki jabatan seumur jagung pun sudah tergeret ke ranah rasuah tersebut. Tengoklah kasus yang saat ini sedang dihadapi oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indonesia. Meski Rocky Gerung menyebutnya sebagai "sogokan" pemerintah terhadap aksi mahasiswa, tetap saja rasuah yang dilakukan sudah mencedrai trust masyarakat terhadap pemerintah. Karena imbas langsung dari kelakuan nakal sang oknum adalah masyarakat. Kebijakannya tentang penjualan VCO telah membuat emak-emak Indonesia menjerit karena "kebutuhan pokok" dapurnya menjadi sangat langka dan mahal.
Berita serupa yang saya ikuti di lingkup daerah menempatkan NTB (Nusa Tenggara Barat) dalam urutan sekian di trending topic google. Berdasarkan informasi dari banyak media, oknum wakil kepala daerah Lombok Utara yang terpilih di Pilkada 2020 kemarin, sudah tersandung kasus serupa. Pembangunan RSUD Lombok Utara, memposisikan sang wakil kepala daerah menjadi target yang diburu APH. Beberapa pendukungnya mengatakan bahwa hal ini merupakan desain lawan politik untuk menjatuhkan sang petinggi, tetapi tentu APH tidak gampangan dalam mempercayai hal tersebut dan merupakan urusan personal sang oknum dengan rival politiknya. Kasus akan terus berlanjut, meski dalam kesempatan sebelumnya oknum tidak menghadiri panggilan APH dengan alasan sakit.
Tengok pula kasus serupa yang terjadi pada sekian desa di Indonesia. Ketika membuka aplikasi google di handphone, berita pertama yang muncul dari Antara News adalah korupsi  DD (dana desa) dan ADD (Alokasi Dana Desa) tahun 2019 yang dilakukan oleh oknum mantan Sekdes Peresak Kecamatan Kopang-Lombok Tengah. Aksi nakal sang Sekdes membuat negara mengalami kerugian sebesar Rp.262,4 juta. Untuk lingkup Desa Peresak, akan sangat banyak masyarakat yang dapat terbantu kondisinya dengan jumlah uang tersebut andai tidak disalahgunakan.
Tertangkapnya satu-dua orang dan didudukan sebagai tersangka, terdakwa maupun terpidana dalam kasus rasuah, telah menyelamatkan sekian ummat di Indonesia. Dalam benak saya, tentu masih banyak orang lain di sekelilingnya, karena kecil kemungkinan aksi tersebut dilakukan sendiri. Pada level kementerian misalnya, untuk dapat mengeluarkan kebijakan pasti melalui beberapa proses dan prosedur yang melibatkan pihak lain. Bisa jadi rekan se-tim, bawahan bahkan mungkin atasan dan pihak swasta karena menyangkut perdagangan. Demikian halnya dengan kasus rasuah lainnya. Tetapi, para oknum pelaku sepertinya enggan menyebut orang per orang yang terlibat bersamanya dengan alasan yang hanya dia dan Tuhan yang paham.
Sesungguhnya mereka adalah kelompok manusia yang berada dan sedang adu lomba jalan di persimpangan pematang. Mau berjalan ke arah mana pun tetap akan berpijak pada jalan sempit, licin dan berpeluang tinggi untuk jatuh, hanya menunggu lengahnya saja. Sekali tidak fokus dalam melangkah di pematang, maka sudah pasti akan jatuh di kubangan sawah berlumpur. Mungkin tidak sakit, tetapi lumpur yang membalut tubuh butuh waktu dan proses untuk dibersihkan.
Saat ramadhan karim ini, mari menata pikir dan hati dari hal-hal destruktif yang dapat merusak diri, keluarga, lingkungan, agama dan negara. Tuhan sudah percaya kita sebagai khalifah, usah diabaikan, karena itu akan mengundang murka-Nya. Jangan juga tertarik menjadi penghuni pematang atau kubangan, konsekuensinya tinggi.