A. Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta, dan kata sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Selain itu, teori lain mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata Arab falsafah yang berasal dari bahasa Yunani, philosophia; philos berate cinta, suka dan Sophia berarti pengetahuan, hikmah. Jadi, philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Orang yang cinta kepada pengetahuan atau kebenaran itu lazimnya disebut philosopher yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.
Dengan demikian, filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai sasaran utamanya. Pendapat yang lebih jelas lagi tentang filsafat antara lain dikemukakan oleh Sidi Gazalba. Menurutnya, filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti atau arti hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.
Pendapat Sidi Gazalba ini memperlihatkan adanya tiga cirri pokok dalam filsafat, sebagai berikut:
1. Adanya unsur berpikir yang dalam hal ini menggunakan akal.
2. Adanya unsur tujuan yang ingin dicapai melalui berpikir tersebut, yaitu mencari hakikat atau inti mengenai segala sesuatu.
Ahmad D. Marimba, misalnya mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Ahmad D. Marimba menyebutkan ada lima unsur utama dalam pendidikan, yaitu:
1) Usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan, pimpinan, atau pertolongan yang dilakukan secara sadar,
2) Ada pendidik, pembimbing atau penolong,
3) Ada yang dididik, atau si terdidik,
4) Adanya dasar dan tujuan dalam bimbingan tersebut,
5) Dalam usaha itu tentu ada alat-alat yang dipergunakan.
Muzayyin Arifin, mengatakan bahwa filsafat pendidikan islam pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumberkan atau berlandas ajaran-ajaran agama islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran islam.
Filsafat pendidikan islam itu merupakan suatu kajian filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadis sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof muslim, sebagai sumber skunder. Dengan demikian, filsafat islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran islam. Jadi filsafat ini bukan yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.
B. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
Dalam hubungan dengan ruang lingkup filsafat pendidikan ini, Muzayyin Arifin lebih lanjut mengatakan bahwa ruang lingkup pemikiran bukanlah mengenai hal-hal yang bersifat teknis operasional pendidikan, melainkan menyangkut segala hal yang mendasari serta yang mewarnai corak system pemikiran yang disebut filsafat itu. Dengan demikian, secara umum ruang lingkup pembahasan filsafat pendidikan islam ini adalah pemikiran yang serba mendalam, mendasar, sistematis, terpadu, logis, menyeluruh, dan universal mengenai konsep-konsep yang berkaitan dengan pendidikan atas dasar ajaran islam. Konsep-konsep tersebut mulai dari perumusan tujuan pendidikan, kurikulum, guru, metode, lingkungan dan seterusnya.
C. Kegunaan Filsafat Pendidikan Islam
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany misalnya mengemukakan tiga manfaat dari mempelajari filsafat pendidikan islam tersebut sebagai berikut:
1. Filsafat pendidikan itu dapat menolong para perancang pendidikan dan orang-orang yang melaksanakannya dalam suatu Negara untuk membentuk pemikiran sehat terhadap proses pendidikan.
2. Filsafah pendidikan dapat menjadi asas yang terbaik untuk penilaian pendidikan dalam arti yang menyeluruh.
3. Filsafat pendidikan islam akan menolong dalam memberikan pendalaman pikiran bagi factor-faktor spiritual, kebudayaan, social, ekonomi dan politik di Negara kita.
Muzayyin Arifin menyatakan bahwa filsafat pendidikan islam itu seharusnya bertugas dalam 3 dimensi, yakni:
1. Memberikan landasan dan sekaligus mengarahkan kepada proses pelaksanaan pendidikan yang berdasarkan ajaran islam.
2. Melakukan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan tersebut.
3. Melakukan evaluasi terhadap metode dari proses pendidikan tersebut.
Dengan memperhatikan uraian tersebut dapat diketahui ternayata filsafat pendidikan islam berfungsi mengarahkan dan memberikan landasan pemikiran yang sistematik, mendalam, logis, universal, dan radikal terhadap berbagai masalah yang beroperasi dalam bidang pendidikan dengan menempatkan Al-Quran sebagai dasar acuannya.
D. Metode Pengembangan Filsafat Pendidikan Islam
Tentang metode pengembangan filsafat pendidikan islam ini, sebagai suatu metode pengembangan suatu ilmu biasanya memerlukan empat hal sebagai berikut:
1. Bahan-bahan yang akan digunakan untuk pengembangan filsafat pendidikan. Dalam hal ini dapat berupa bahan tertulis, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.
2. Metode pencarian bahan. Dengan menggunakan studi kepustakaan dan studi lapangan yang masing-masing prosedurnya telah diatur sedemikian rupa untuk mencari bahan-bahan yang bersifat tertulis.
3. Metode pembahasan. Misalnya, metode analitis-sintetis yaitu suatu metode yang berdasarkan pendekatan rasional dan logis terhadap sasaran pemikiran secara induktif, deduktif dan analisa ilmiah.
4. Pendekatan. Pendekatan merupakan paradigma (cara pandang) yang akan digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena.
Masalah filsafat pendidikan islam, maka pendekatan yang harus digunakan adalah perpaduan dari ketiga disiplin ilmu, yaitu filsafat, ilmu pendidikan, dan ilmu tentang keislaman.
II. KEDUDUKAN MANUSIA DALAM ALAM SEMESTA
A. Potensi yang Dimiliki Manusia
Hakikat manusia hanya dapat dilihat dalam perjalanan sejarahnya, sejarah bangsa manusia. Pengalaman manusia adalah suatu rangkaian anthropological constans yaitu dorongan-dorongan dan orientasi yang tetap dimiliki manusia. Ada sekurang-kurangnya enam anthropological constans yang dapat ditarik dari pengalaman sejarah umat manusia, yaitu:
a) Relasi manusia dengan kejasmanian, alam dan lingkungan ekologis
b) Keterlibatan dengan sesama
c) Keterikatan dengan struktur social dan institusional
d) Ketergantungan masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat
e) Hubungan timbal balik antara teori dan praktis
f) Kesadaran religius dan para religius.
Untuk itu Al-Qur’an memberikan dua kata kunci untuk memahami manusia secara komprehensif. Kedua kata kunci tersebut adalah kata al-insan dan al-basyar. Kata insan yang bentuk jamaknya al-nas dari segi semantic atau ilmu tentang akar kata, dapat dilihat dari asal kata anasa yang mempunyai arti melihat, mengetahui, dan minta izin. Dengan informasi ini dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang dapat diberi pelajaran atau pendidikan.
Selanjutnya kata insan jika dilihat dari asalnya nasiya yang artinya lupa, menunjukkan adanya kaitan yang erat antara manusia dengan kesadaran dirinya. Oleh karena itu, dalam kehidupan agama, jika seseorang lupa kepada suatu kewajiban yang seharusnya dilakukannya, maka ia tidak berdosa. Ini disebabkan karena ia kehilangan kesadaran terhadap kewajibannya itu.
Kata basyar adalah jamak dari kata basyarah yang artinya permukaan kulit kepala, wajah, dan tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Dengan demikian, kata basyar selalu mengacu kepada manusia dari aspek lahiriyahnya, mempunyai bentuk tubuh yang sama, makan dan minum dari bahan yang sama yang ada di ala mini, dan oleh pertambahan usianya, kondisi tubuhnya akan menurun, menjadi tua dan akhirnya ajal pun menjemputnya.
Kata al-insan yang berasal dari kata anasa dan nasiya. Kata anasa dalam arti melihat, misalnya terlihat pada ayat:
“Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya; “Tinggallah kamu di sini, sesungguhnya aku melihat api….” (QS. Thaha, 20:10)
Selanjutnya Al-Qur’an menghubungkan insan dengan kata annas. Kata ini digunakan Al-Qur’an untuk menyatakan adanya kelompok orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan untuk mengembangkan kehidupannya. Selain itu terdapat pula kata insan dalam hubungannya dengan kata al-ins. Di dalam Al-Qur’an kata al-ins yang serumpun dengan kata insan ini dihubungkan dengan kemampuan manusia untuk menembus ruang angkasa. Firman Allah Surat Ar-Rahman ayat 33:
“Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman : 33)
Berdasarkan informasi tersebut di atas dapat diketahui dengan jelas bahwa kata insan dengan berbagai kata yang serumpun dengannya digunakan oleh al-Qur’an untuk menunjuk manusia sebagai makhluk yang dapat berpikir dan berbudaya. Selanjutnya jika diamati secara seksama, nampak bahwa semua kegiatan itu terwujud melalui proses belajar, dan dengan proses belajar itu manusia dapat memahami sesuatu, baik secara potensial maupun aktualnya, sehingga ia dapat merancang pekerjaan untuk mengolah sesuatu itu agar memberikan manfaat bagi kepentingan hidupnya. Manusia insan menurut informasi al-Qur’an adalah manusia yang dapat menerima pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya.
Dengan demikian penggunaan kata insan dan basyar dalam al-Qur’an jelas menunjukkan konteks dan makna yang berbeda, meskipun sama-sama menunjuk pada pengertian manusia. Manusia dalam konteks islam adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai subjek kebudayaan dalam pengertian ideal, sedangkan kata basyar menunjuk pada manusia yang berbuat sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian material seperti yang terlihat pada aktivitas fisiknya.
Akhirnya, manusia adalah makhluk yang memiliki kelengkapan jasmani dan rohani. Dengan kelengkapan jasmaninya, ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang memerlukan dukungan fisik. Dan dengan kelengkapan rohaninya ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang memerlukan dukungan mental. Selanjutnya agar kedua unsure tersebut dapat berfungsi dengan baik dan produktif, maka perlu dibina dan diberikan bimbingan. Dalam hubungan ini pendidikan amat memegang peranan yang amat penting.
B. Kedudukan Manusia dalam Alam Semesta
Dalam berbagai literature yang membahas mengenai kedudukan manusia dalam alam semesta ini selalu dihubungkan dengan konsep kekhalifahan manusia di muka bumi dan konsep ibadah. Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an, misalnya telah membahas masalah kekhalifahan ini. Keseluruhan kata khalifah menurutnya berakar pada kata ‘khulafa’ yang pada mulanya berarti “di belakang”. Dari sini, kata khalifah menurutnya seringkali diartikan sebagai “pengganti” (karena yang menggantikan selalu berada atau datang di belakang, sesudah yang digantikannya).
Selanjutnya bila diamati dengan seksama, nampak bahwa istilah khalifah dalam bentuk mufrad (tunggal) yang berarti penguasa pilitik hanya digunakan untuk nabi-nabi, yang dalam hal ini nabi Adam as. Dan tidak digunakan untuk manusia pada umumnya. Sedangkan untuk manusia biasa digunakan istilah khala’if yang didalamnya mempunyai arti yang lebih luas, yaitu bukan sebagai penguasa politik tapi juga penguasa dalam berbagai bidang kehidupan.
Untuk lebih menegaskan fungsi kekhalifahan manusia di alam ini, dapat dilihat misalnya ayat-ayat di bawah ini.
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat… (QS. Al-An’am, 6:165)
Ayat di atas menjelaskan kedudukan manusia di alam raya ini sebagai khalifah dalam arti yang luas juga memberi isyarat tentang perlunya sikap moral atau etik yang harus ditegakkan dalam melaksanakan fungsi kekhalifahannya itu. Oleh karena itu, kepemimpinan dan kekuasaan manusia harus tetap diletakkan dalam kerangka eksistensi manusia yang bersifat sementara, sehingga dapat dihindari kecenderungan pemutlakkan kepemimpinan atau kekuasaan, yang akibatnya dapat merusak tatanan dan harmoni kehidupan.
Hasan Langgulung mengatakan bahwa, manusia yang dianggap sebagai khalifah Allah tidak dapat memegang tanggung jawab sebagai khalifah kecuali kalau ia diperlengkapi dengan potensi-potensi yang membolehkannya berbuat demikian. Al-Qur’an menyatakan adanya beberapa ciri yang dimiliki manusia untuk mampu melaksanakan fungsi kekhalifahannya itu. Ciri-ciri tersebut antara lain dari segi fitrahnya yang baik dari sejak awal. Ciri lainnya adalah yang bersifat fisik. Al-Qur’an mengakui kebutuhan-kebutuhan biological yang menuntut pemuasan. Hal ini pada tahap selanjutnya memerlukan penjelasan tentang syarat-syarat yang menyebabkan kebutuhan biological ini mungkin dapat berdampingan dengan fitrah yang baik itu. Kedua hal inilah yang mendukung tugas kekhalifahan manusia di muka bumi.
Dengan demikian, kedudukan manusia di alam raya ini disamping sebagai khalifah yang memiliki kekuasaan untuk mengolah alam dengan menggunakan segenap daya dan potensi yang dimilikinya, juga sekaligus dalam rangka ibadah kepada Allah. Dengan pandangan yang terpadu in, maka sebagai seorang khalifah tidak akan berbuat sesuatu yang mencerminkan kemunkaran atau bertentangan dengan kehendak Tuhan. Untuk dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan dan ibadah dengan baik ini manusia perlu diberikan pendidikan, pengajaran, pengalaman, keterampilan, teknologi, dan sarana pendukung lainnya. Ini menunjukkan bahwa konsep kekhalifahan dan ibadah dalam Al-Qur’an erat kaitannya dengan pendidikan. Manusia yang dapat melaksanakan fungsi-fungsi yang demikian itulah yang diharapkan muncul dari kegiatan usaha pendidikan.