Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

ETIKA DALAM PRAKTIK AKUNTANSI KEUANGAN (Studi kasus PT Tiga Pilar Sejahtera Food TBK)

17 Juli 2022   14:36 Diperbarui: 17 Juli 2022   15:03 4409 1

Pendahuluan

Windows dressing merupakan suatu kejahatan di dalam pasar modal berupa anatomi modus dokumen fiktif, yang tertera di dalam dokumen yang berupa laporan dan pembukuan semuanya tidak ada atau tidak benar karena telah dimodifikasi seolah-olah benar dan ada, sehingga windows dressing dapat dikategorikan sebagai salah satu tindak penipuan akuntansi (fraud accounting). Dikutip dari Investopedia, Rabu (1/12/2021) window dressing adalah strategi mempercantik portofolio investasi yang dilakukan perusahaan maupun manajer investasi. Upaya ini dilakukan sebelum dipresentasikan kepada pemegang saham (investor) atau klien.

Cara kerja window dressing dimulai pada akhir kuartal, dimana manajer investasi memiliki tanggung jawab untuk membuat laporan keuangan dan daftar folio untuk investor dan klien. Dari sini mereka dapat menganalisa profit dari investasi yang diberikan pada perusahaan. Jika ditemukan data laporan keuangan tidak baik atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, maka manajer investasi akan melakukan window dressing, dengan cara menjual saham yang dilaporkan menghasilkan kerugian lebih besar serta menggantikannya dengan saham yang diperkirakan akan menghasilkan lebih besar dalam jangka pendek. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk memperbaiki kinerja keseluruhan.

Mempunyai umur yang panjang bukan jaminan perusahaan akan terus sehat dan tidak akan tutup usia. Banyak faktor yang memengaruhi kinerja perusahaan yang mengancam umur suatu perusahaan, seperti manipulasi laporan keuangan, investasi yang buruk, hutang yang meningkat, dan permasalahan lainnya.

Seperti yang kita ketahui informasi dalam laporan keuangan sangat penting bagi para pengguna, oleh karena itu laporan harus disajikan sesuai kondisi sesungguhnya yang menggambarkan keadaan keuangan dan kinerja perusahaan pada satu periode akuntansi. Dengan informasi yang tepat, maka pengguna informasi akuntansi tidak akan salah dalam proses pengambilan keputusan.

Praktik windows dressing yang dilakukan perusahaan dianggap sudah melanggar kode etik profesi akuntan sebagai penyusun laporan keuangan karena membuat kecurangan atau manipulasi didalamnya. Kode etik akuntan merupakan norma dan perilaku yang mengatur hubungan antara auditor dengan para klien, antara auditor dengan sejawatnya dan antara profesi akuntan dengan masyarakat.

Praktik window dressing yang merugikan investor salah satunya terdapat pada kasus laporan keuangan PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) tahun 2017 silam. PT Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk merupakan perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2003 yang pada awalnya hanya bergerak di bisnis makanan (TPS Food). Seperti diketahui, manajemen lama AISA, yakni Joko Mogoginta, mantan Presiden Direktur PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA), dan Budhi Istanto Suwito, mantan Direktur AISA telah melakukan penggelembungan (overstatement) piutang anak usaha ke AISA dalam laporan keuangan tahun 2017.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis dua mantan direksi PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk, Joko Mogoginta dan Budhi Istanto dengan hukuman penjara masing-masing selama empat tahun dan denda masing-masing Rp 2 miliar subsider tiga bulan penjara. Keduanya dinyatakan bersalah lantaran telah melakukan manipulasi laporan keuangan 2017 dengan tujuan mengerek harga saham perseroan.

“Menyatakan Joko Mogoginta, dan Budhi Istanto secara sah dan meyakinkan memberikan pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan sehingga mempengaruhi harga efek di Bursa efek Indonesia. Sebagaimana dilarang dalam pasal 93 UU 8/1995 tentang Pasar Modal,” ungkap Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Akhmad Sayuti, Kamis (5/8).

Dalam pertimbangannya Majelis hakim menilai Joko dan Budhi yang menandatangani laporan keuangan merupakan pihak yang bertanggung jawab atas tindakan manipulasi yang dilakukan pada laporan keuangan perseroan 2017.

Bagusnya laporan keuangan tersebut membuat investor di pasar modal tertarik untuk membeli saham AISA. Harga saham AISA pun sempat melesat hingga Rp2.360 per lembar pada 2017. Namun, kinerja tersebut hanya di atas kertas. Sebab, fundamental AISA sebenarnya sangat bertolak belakang dengan laporan keuangan.

Kejanggalan mulai terendus ketika AISA mengalami gagal bayar kewajiban bunga Obligasi dan Sukuk. Pada waktu itu, Direktur Utama Tiga Pilar Sejahtera Food Joko Mogoginta dalam keterbukaan informasi ke Bursa Efek Indonesia (BEI) menyampaikan posisi kas dan setara kas perusahaan per tanggal 26 Juni 2018 belum memadai untuk membayar bunga obligasi dan sukuk yang akan jatuh tempo 19 Juli 2018.

Padahal, dalam Laporan Keuangan 2017 tercatat ada dana cash per 31 Desember 2017 sebesar Rp181,6 miliar. Namun, hanya selang beberapa bulan, dalam keterbukaan informasi perusahaan, per 26 Juni 2018, posisi kas perusahaan hanya sebesar Rp48 miliar. Harga saham AISA pun lantas sempat amblas hingga level Rp168. BEI pun menghentikan perdagangan saham AISA. Selain itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menyelidiki kasus tersebut dan hasilnya diketahui bahwa ada pelanggaran dalam laporan keuangan AISA. Ditemukan ada aliran dana kepada perusahaan-perusahaan terafiliasi alias yang dimiliki pribadi oleh direksi AISA pada waktu itu. (Azzahra, 2021)

Pada kasus tersebut Kementerian Keuangan mulai menemukan ada indikasi pelanggaran yang dilakukan akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk (AISA) tahun buku 2017. Seperti diberitakan sebelumnya, ditemukan penggelembungan (over statement) yang menjadi biang. Dalam pendalaman yang dilakukan internal Kementerian Keuangan, ada indikasi pelanggaran dari auditor AISA yang dalam periode tersebut dipegang oleh Didik Wahyudianto, salah satu partner di RSM Indonesia. Adapun laporan Hasil Investigasi Berbasis Fakta PT Ernst & Young Indonesia (EY) kepada manajemen baru AISA tertanggal 12 Maret 2019, dugaan penggelembungan ditengarai terjadi pada akun piutang usaha, persediaan, dan aset tetap Grup AISA. (Asmara, 2019)

Ditemukan fakta bahwa direksi lama melakukan penggelembungan dana senilai Rp. 4 triliun lalu ada juga temuan dugaan penggelembungan pendapatan senilai Rp. 662 miliar dan penggelembungan lain senilai Rp. 329 miliar pada pos EBITDA (laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi) entitas bisnis makanan dari emiten tersebut (Asshidiqie, 2020)

Jika dikaitkan dengan prinsip etika pada akuntansi keuangan ada beberapa prinsip yang sudah dilanggar yaitu :

1.         Integritas - Prinsip integritas ini mewajibkan setiap akuntan (professional) bersikap lugas dan jujur dalam semua hubungan professional dan hubungan bisnisnya. Artinya integritas adalah berterus terang dan selalu mengatakan yang sebenarnya.

Dalam kasus :

Manajemen tidak melaporkan dengan jujur hasil kinerjanya dilaporan keuangan, hal ini terbukti dari Hasil Investigasi Berbasis Fakta PT Ernst & Young Indonesia (EY) kepada manajemen baru AISA tertanggal 12 Maret 2019, dugaan penggelembungan ditengarai terjadi pada akun piutang usaha, persediaan, dan aset tetap Grup AISA.

2.         Objektivitas - Prinsip objektivitas menerapkan pertimbangan professional atau bisnis tanpa dikompromikan oleh : Bias, Benturan kepentingan atau pengaruh atau ketergantungan yang tidak semestinya terhadap individu, organisasi, teknologi, atau faktor lain.

Dalam kasus:

Memanipulasi data pada akun piutang usaha, persediaan dan asset tetap yang dilakukan Grup AISA dapat merugikan pengguna laporan keuangan dalam mengambil keputusan karena informasi yang didapat tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya sesuai data yang ada.

3.         Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional - Prinsip kompetensi dan kehati hatian professional mengharuskan setiap anggotanya Akuntan Profesional untuk mencapai dan mempertahankan pengetahuan dan keahlian professional pada level yang disyaratkan untuk memastikan bahwa klien atau organisasi tempatnya bekerja memperoleh jasa professional yang kompeten, berdasarkan standar professional dan standar teknik terkini serat ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku dan bertindak sungguh – sungguh dan sesuai dengan standar professional dan standar teknis yang berlaku.

Dalam Kasus :

Auditor AISA, yakni Didik Wahyudianto bertindak tidak sesuai dengan standar professional dan standar teknis yang artinya auditor tersebut tidak kompeten.

4.         Kerahasiaan - Menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dari hasil hubungan professional dan bisnis.

Dalam Kasus :

Manajemen lama (Joko Mogoginto) menekan auditor untuk merubah informasi atas laporan keuangan yang disajikan dalam perusahaan untuk kepentingan pribadi. Dugaan aliran dana sebesar Rp. 1,78 triliun mengalir ke grup manajemen lama TPS Food.

Dari kasus terlihat jelas adanya penggunaan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi atau pihak ketiga. Informasi yang diperoleh baik melalui hubungan profesioanl maupun hubungan bisnis.

5.         Perilaku Profesional - Mematuhi peraturan perundang – undangan yang berlaku , berperilaku konsisten dengan tanggung jawab profesi untuk bertindak bagi kepentingan public dalam semua aktivitas professional dan hubungan bisnis, menghindari perilaku apa pun yang diketahui atau seharusnya diketahui akuntan yang dapat mendiskreditkan profesi. (IAI, SEPTEMBER 2021)

Dalam Kasus :

Auditor PT TPS Food tidak berperilaku professional  hal ini ditandai dengan pada pos piutang usaha, persediaan, dan aset tetap terdapat penggelembungan dana.  Selain itu juga ada perbedaan yang mencolok pada pos penjualan, dan laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA).

Berdasarkan kasus di atas dapat disimpulkan bahwa terbukti adanya pelanggaran etika atau prinsip profesi akuntansi yang dilakukan oleh KAP Didik Wahyudianto, salah satu partner di RSM Indonesia berupa prinsip integritas, objektivitas, kompetensi serta kehati-hatian, kerahasiaan, dan professional, maupun pelanggaran yang dilakukan oleh PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk (AISA) praktik windows dressing yang melakukan overstatement pada tahun buku 2017. Pelanggaran tersebut tentu akan membuat hilangnya kepercayaan publik. Karena kasus tersebut dapat merugikan banyak pihak sehingga membuat publik tidak percaya lagi terhadap integritas pelaku jasa keuangan. Mengingat banyak kasus pelanggaran kode etik profesi akuntan yang terjadi di Indonesia maka membuat terjadinya krisis kepercayaan dari publik.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun