Plus dari sistem pembuktian terbalik ini terdakwa yang membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Minus pembalikan beban pembuktian, relatif akan sulit untuk membuktikan secara negatif ketidakbersalahan melakukan tindak pidana korupsi dikarenakan adanya kelemahan dalam mengumpulkan alat bukti karena aspek administrasi yang kurang tertat...a rapi. Di samping itu juga, korelasi dengan aspek korupsi yang tidak bersifat sendirian, tetapi dilakukan beberapa orang, relatif tidak mungkin untuk mendapatkan bukti-bukti guna dapat mendukung ketidak bersalahan seorang pelaku melakukan tindak pidana korupsi. Dimensi substansial demikian kiranya yang menjadikan kendala mengapa hak untuk melakukan pembalikan beban pembuktian di Indonesia pada praktik kasus korupsi tidak pernah dilakukan. Dan sistem pembalikan beban pembuktian hanya bersifat terbatas atau khusus:
1)Bahwa sistem pembuktian beban pembuktian hanya terbatas dilakukan terhadap delik gratification (pemberian) yang berkaitan dengan bribery (suap), dan bukan terhadap delik-delik lainnya dalam tindak pidana korupsi. Delik delik lainnya dalam UU. No. 31 Tahun 1999 yang tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 beban pembuktiannya tetap berada pad Jaksa Penuntut Umum.
2)Bahwa Sistem Beban Pembuktian hanya terbatas dilakukan terhadap “perampasan” dari delik-delik yang didakwakan terhadap siapapun.
3)Penerapan asas Lex Temporis-nya, artinya sistem ini tidak dapat diberlakukan secara Retro-aktif (berlaku surut) karena terjadinya pelanggaran HAM (Hak sasi Manusia), pelanggaran terhadap asas Legalitas, dan menimbulkan apa yang dinamakan asas Lex Talionis (balasan dendam)
Praktik perkara tindak pidana korupsi di beberapa Negara Hong Kong dan India, pembalikan beban pembuktian diterapkan dengan “balance probabilities”, baik jaksa Penuntut Umum maupun Terdakwa bersama-sama membuktikan. Eksplisit Jaksa Penuntut Umum membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana korupsi sedangkan Terdakwa membuktikan asal-usul kepemilikan harta bendanya. Pada Negara Hong Kong sebagaimana merupakan kajian subtansial dimensi di atas. Pada putusan Pengadilan Tinggi Hong Kong Nomor 52 Tahun 1995 tanggal 3 April 1995 antara Attorney General Of Hong Kong v Hui Kin Hong, pembuktian bersifat balance probabilities tersebut diimplementasikan dengan bentuk jaksa Penuntut Umum diberikan beban pembuktian terlaik terlebih dahulu untuk membuktikan status terdakwa Hui Kin Hong (Senior Estate Surveyor of the Bulildings and Lands Departemen of the Hong Kong Government) adalah sebagai pembantu kerajaan dan membuktikan total biaya hidup yang dilakukan olehnya selama masa dakwaan, kemudian Penuntut Umum harus membuktiakan keseluruhan jumlah kekayaan yang dinikmati selama ini di luar kewajaran dari kekayaan resminya
Bahwa pembuktian terbalik itu tidak selalu dapat di gunakan untuk semua setiap tindak pidana karena sesungguhnya pembuktian terbalik itu di adakan untuk mempermudah mengungkapkan suatu tindak pidana sehingga karenanya apabila dalam suatu tindak pidana tertentu tidak bisa dibuktikan melalui beban pembuktian terbalik (terdakwa yang membuktikan maka harus dikembalikan pada pembuktian biasa sebagaimana di atur dalam KUHAP.
Jaksa Penunut Umum bertindak sebagai aparat yang harus membuktikan kesalahan terdakwa dan tidak semua tindak pidana dapat di buktikan melaui beban pembuktian terbalik karena membuktikan sesuatu yang negasi pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak mungkin .
Jika terjadi suatu tindak pidana yang akibatnya itu adalah sesuatu yang Nampak dan dapat dilihat oleh manusia misalnya kejahatan terhadap harta benda seperti, pencurian, perampokan, korupsi, dan penggelapan maka bisa digunakan dengan pembalikan beban pembuktianLihat Selengkapnya