Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Tangisan di Ramadan

11 Oktober 2021   20:46 Diperbarui: 11 Oktober 2021   20:55 149 1
"Kau gila, membangunkanku jam segini?" Lionel mendorong tubuh wanita tua itu hingga terjerembab ke lantai.

"Keluar dari kamarku!" hardik Lionel, dia membukakan pintu.

Wanita itu bangun dengan susah payah. "Nak ... ini hari pertama puasa. Kita sa-"

"Keluar sekarang! Apa telingamu sekarang sudah tuli!?" Lagi-lagi pria berambut gondrong itu mendorong Innah, ibunya.

Innah menyeka air mata yang sudah mengalir membasahi pipinya. Lionel sekarang bukanlah yang dulu. Dia seperti orang berbeda dengan wajah sama. Perlahan diayunkan kaki kecilnya menuju meja makan. Lagi-lagi dia hanya sahur sendirian.

"Ya, Allah, kapan anakku kembali seperti dulu?" Innah berucap dalam hati, lalu mulai menyendokkan sedikit nasi ke piring plastik yang telah disiapkan.

Lionel Adaba, anak tunggal Innah, dan Marwan. Dulu dia adalah anak penurut, dan penyayang. Namun, Setelah kepergian sang ayah beberapa bulan lalu membuat mereka kehilangan segalanya. Perusahaan, rumah, dan semua harta mereka. Sejak saat itu pula, sikap dan sifat Lionel berubah drastis. Kini dia bekerja di sebuah kafe demi mencukupi kebutuhan sendiri. Ya, untuk hanya diri sendiri.

"Baju kuning kemarin ke mana!?" Suara Lionel menggema ke setiap sudut rumah berukuran 6 m x 8 m itu.

Innah yang tadi mencuci di kamar mandi tergopoh-gopoh menghampiri. "Ada apa, Nak, teriak-teriak?"

"Bajuku di mana!?" Mata Lionel melotot, dia menggeram seolah akan menerkam ibunya.

"Bentar biar ibu ambilkan," balas Innah, kemudian berbalik menuju kamar. Di sana dia sudah menggantung beberapa baju Lionel yang biasa dikenakan bekerja.

"Ini, Nak." Innah menyodorkan baju yang diminta anaknya.

Dengan kasar lelaki itu menyambar, lalu mengenakannya. Dia melenggang pergi tanpa mengucapkan sepatah kata. Innah menekan dada, sesak sekali melihat perlakuan Lionel yang kian semena-mena padanya.

Hari pertama puasa kadang memang lemas, begitu pun yang dirasakan Innah. Dia merebahkan tubuhnya di tikar yang digelar di ruangan tengah. Niatnya hanya ingin istirahat sejenak, lelah seharian bekerja. Mencuci pakaian di rumah tetangga merupakan caranya mendapatkan uang untuk kehidupan mereka sehari-hari.

Waktu berjalan begitu cepat. Sang jingga mulai menyembunyikan diri. Namun, Innah belum juga bangun. Tidurnya sangat pulas. Tak lama kemudian suara langkah kaki mendekat. Dia berdecak kesal, lalu berjalan ke belakang.

Innah terlonjak kaget saat segayung air disiramkan ke wajahnya. Siapa lagi kalau bukan Lionel pelakunya. Lelaki itu terkekeh melihat wajah, dan baju Innah yang basah kuyup.

"Duh, dasar orang tua nggak berguna! Ngapain coba tidur jam segini?" Lionel melirik arloji hitam yang tersemat di pergelangan tangan kirinya.

"Maafkan ibu, tadi-"

"Sudah-sudah! Aku lapar, makanan nggak ada. Seharian ngapain aja? Oh, iya, pasti tidur. Makanya gak usah sok puasa kalau gak kuat. Udah tua juga." Lionel berlalu meninggalkan Innah yang masih bergeming.

"Menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan merupakan kewajiban bagi umat Islam, Nak," lirih Innah. Cairan bening menetes ke pipinya.

***

Bukan seorang ibu namanya jika berhenti mengajak anaknya menuju kebaikan. Seperti di hari kedua puasa, Innah berusaha mengetuk pintu kamar Lionel. Hingga dua puluh menit berlalu sama sekali tak ada sahutan, Innah akhirnya sahur sendiri lagi.

"Heh, mana baju kemarin?" tanya Lionel saat dia keluar dari kamar mandi.

Innah mengerti baju yang dimaksud anaknya, dia bergegas mengambilkan. Seperti biasa setelah selesai sarapan, Lionel akan pergi bekerja tanpa pamitan. Sudah bukan hal baru.

"Nil!" panggil salah satu teman Lionel yang berambut ikal. Lionel menoleh sekilas, kemudian kembali fokus.memarkirkan motor beat birunya.

"Ada apa, Di?" tanya Lionel menghampiri temannya, Adi.

"Lu puasa nggak?" Adi menaikkan-turunkan alis.

"Ya, nggaklah! Ngapain nyusahin diri sendiri!" ketus Lionel. Dia melewati Adi begitu saja, dan masuk ke kafe.

"Wah, parah! Padahal, ya, ibu lu pintar agama."

Mendengar tentang ibu membuat langkah Lionel terhenti. Dari mana Adi tau tentang ibunya? Dia berbalik, lalu menarik tangan Adi dengan kasar ke belakang. Adi yang tersentak hampir terjengkang jika saja tangan Lionel tak cepat menariknya.

"Tau apa lu tentang ibu gue?" Sorot mata Lionel berubah tajam, tampak jelas ada kilatan di sana.

"Ha? Maksud lo apa, sih? Yang gue tau, ibu lu itu baik banget, pintar agama, dan lembut kayak sutera. Dia rela ngelakuin apa pun demi anaknya. Di usia yang tak lagi muda, dia kerja banting tulang untuk kehidupan sehari-hari kalian. Pernah nggak, sih, lu mikir? Dari mana dia dapat uang kalau nggak kerja, sedangkan lu gak pernah ngasih dia apa-apa. Lu gak atu, kan dia kerja menjadi tukang cuci di rumah gue. Lu harusnya beruntung masih memiliki beliau yang sayang banget sama lu. Beda sama gue." Adi menunjuk diri sendiri. "Gue udah gak punya siapa-siapa."

"Gue ... gue beruntung memang." Lionel melepas cekalan tangannya. Dia berbalik, dan pergi ke kasir. Masih sempat didengar seruan Adi.

"Besok jangan lupa puasa!"

Ucapan Adi terngiang-ngiang di telinganya. Ah! Dia mengusap wajah frustrasi. Dia tak menyangka, Innah bekerja sebagai pencuci pakaian di rumah temannya sendiri, sedangkan dia menghambur-hamburkan uangnya begitu saja.

"Bu ...," panggil Lionel pelan saat Innah menggoreng ikan untuk sahur.

Wanita itu terkejut, setelah sekian lama Lionel kembali memanggilnya ibu. "Nak?"

"Ibu, maafkan aku!" Lionel bersimpuh di kaki Innah, menangis di sana.

"Hei, jangan di situ!" Innah membantu anaknya berdiri, menggeleng tegas.

"Ibu, aku banyak salah sama ibu. Ampuni aku ibu ... ampuni aku ...," ucap Lionel sembari menciumi tangan Innah.

"Gak apa-apa, Nak. Ibu bahagia sekarang. Udah jangan nangis!" Innah mengusap air mata anaknya. "Ayok, kita sahur dulu. Nanti imsak."

Lionel mengangguk. Begitu mulia hati wanita yang melahirkannya itu. Begitu banyak luka yang telah diberikan, tetapi begitu mudah sang ibu memaafkan.

Setelah azan berkumandang, mereka pun melaksanakan salat Subuh berjamaah. Innah tak henti-henti meneteskan air mata. Kini bukan lagi air mata kesedihan, tetapi karena bahagia.

"Ibu!" pekik Lionel saat membalikkan badan ke belakang untuk menyalami tangan Innah. Tubuh Innah terbujur kaku, denyut nadi sudah tak ada lagi. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Wanita berumur enam puluh tahun itu sudah kembali ke rahmatullah untuk selamanya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun