Baru saja ingin melangkah pergi ke kamar guna mandi dan bersiap-siap suara sang Ibu mengintrupsi.
"Heh kamu anak gak tau di untung, sini kamu!"
Jessy sudah terbiasa dengan panggilan itu, sebenarnya ia tak ingin dipanggil seperti itu.
"Iya Ma, kenapa?" Balas Jessy lembut.
"Udah kamu selesaiin semua pekerjaan rumah?".
"Sudah Ma."
"Kaca jendela sudah kamu bersihkan?"
"Maaf Ma, Jessy lupa. Nanti sepulang sekolah Jessy kerjakan ya Ma?"
"Apa?! Apa kamu bilang? Ulang, Mama gak dengar"
"J-Jessy lupa Ma, n-nanti pulang sekolah Jessy kerjakan boleh ya Ma?"
Plak
Wajah Jessy tertoleh ke kanan.
"Berani sekali kamu melawan sama Mama ya, mau jadi anak yang gak nurut kamu Hah! Mau jadi anak durhaka kamu?! lya?! "
"N-ngga Ma J-Jessy-"
"Ada apa ini Ma?" Sang Ayah datang dengan setelan kantornya.
"Ini loh Pa, anak mu ini di suruh kerja aja gak becus, padahal setiap hari dia lakuin, masih aja lupa."
"Apa yang belum Jessy kerjakan memangnya Nak?" Ucap sang Ayah lembut sambil mengusap pucuk kepala Jessy.
"Bersihkan kaca jendela Pa, Jessy lupa..."
"Ya udah gapapa, sekarang kamu buru siap-siap sana nanti terlambat, biar nanti bik Darsih yang kerjakan."
"I-iya Pa."
Setelah kepergian Jessy ke kamarnya sang Ibu mengeluarkan kata-kata pedasnya.
"Belain aja terus anak gak tau diri itu, biar dia jadi anak pembangkang. Kebiasaan kamu tuh Mas."
"Kamu gak boleh seperti itu sayang, kematian Bunda itu gak sepenuhnya salah Jessy, itu udah takdir sayang."
"Ngga, itu salah dia Mas. Jangan mulai lagi, ini masih pagi, Aku males ribut pagi-pagi. Aku mau liat Dimas dulu udah selesai belum pakai bajunya." Setelahnya ibu Jessy pergi ke kamar Dimas-adik Jessy.
Ayah Jessy hanya bisa menghela nafasnya berat. Ibu Jessy memang tak menginginkan anak perempuan ditambah lagi nenek Jessy direnggut nyawanya saat ingin mengambil bola yang Jessy tak sengaja lempar ke tengah jalan. Itu sebabnya Ibunya selalu menyiksa mental dan fisik Jessy.
"Jes! Jessy!"
"Iya? Kenapa Han?"
Saat Jessy berbalik, Hana-teman sebangkunya itu pun menyerengitkan dahinya.
"Lo kok pucet gitu? Lo sakit ya?"
"Ha? Ngga kok, Gue gapapa." Balas Jessy dengan senyuman.
Jessy tak sepenuhnya berbohong, ia memang tak sakit mungkin karena tak sarapan sebelum berangkat sekolah tadi ia jadi pucat.
"Serius? Gini aja deh, habis ini kan istirahat kedua mana jamkos juga kan sampe pulang. Kita ke kantin yuk, aku traktir." Ujar Hana semangat.
"Ah ngga usah Han, aku ngerepotin kamu terus yang ada." Jessy merasa tak enak.
Bukan Jessy tak memiliki uang jajan hanya saja uang yang sudah dijatah oleh sang ayah untuk Jessy kerap kali dipotong sesuka hati oleh sang Ibu. Membuat Jessy kerap kali memilih untuk tak pergi ke kantin. Mau melapor pada sang Ayah pun Jessy tak punya keberanian sebesar itu. Jessy ikhlas menerima semuanya, anggap saja ini hukuman, karena ia, neneknya pergi dari dunia ini.
" kayak sama siapa aja sih, udah ayok." Hana menarik tangan Jessy segera menuju kantin. Mereka menghabiskan waktu hingga pulang sekolah dikantin.
Langit mulai diselimuti awan kelabu, tanda sebentar lagi akan turun hujan.
"Aku duluan ya Jes, kamu mau sekalian ikut aja gak sama aku? Sebentar lagi hujan bakal turun nanti kamu sakit." Ucap Hana yang sudah hapal jika Jessy pulang dengan berjalan kaki.
"Ngga deh Han, gapapa lagian aku udah terbiasa."
"Bener-"
"Non Hana ayo segera pulang, nanti tuan besar marah sama saya kalau Non sampai di rumah saat hujan turun." Ucap supir Hana yang sudah menunggu.
"Ah iya Pak sebentar, ya udah deh aku balik duluan ya Jes, hati-hati ya kamu dijalan."
"Iya, kamu juga ya Han."
Setelah mobil yang dinaiki Hana menjauh,