Di kelas 3 SD ada empat orang bersahabat bernama Rani, Syla, Lily, dan Ayla selalu bersama sejak kelas 1 SD.
 Persahabatan mereka sudah terjalin kuat. Setiap hari saat jam istirahat mereka berkumpul di kantin tempat yang penuh kenangan.
Suatu hari setelah selesai bermain, mereka memutuskan untuk makan di kantin. Mereka terlihat bersenang-senang hari itu.
Namun, di balik keceriaan yang selalu mereka tampilkan ada sesuatu yang mengganjal di hati Ayla.
Sejak beberapa bulan terakhir keluarganya mengalami kesulitan keuangan. Ayla merasa tertekan karena tidak bisa menikmati hidup seperti teman-temannya.
Uang jajannya semakin berkurang dan terkadang ia bahkan tidak punya cukup uang untuk membeli makanan di kantin. Ayla yang biasanya ceria perlahan berubah menjadi lebih pendiam.
Hari itu seperti biasanya mereka berempat duduk di kantin menikmati waktu istirahat. Rani sibuk bercerita tentang rencana liburan keluarganya ke luar kota sementara Syla dan Lily ikut mendengarkan sambil sesekali tertawa.
Ayla duduk diam pikirannya melayang memikirkan bagaimana dia bahkan tidak mampu membeli makanan di kantin hari itu.
Saat Rani mengambil sesuatu dari tasnya tanpa sengaja Ayla melihat dompet Rani yang tergeletak di dekat meja. Sebuah dorongan tak terduga muncul di benaknya.
Ayla tahu itu salah tapi dia merasa terpojok. Dia ingin membeli sesuatu seperti teman-temannya.
Ketika teman-temannya asyik berbicara tanpa berpikir panjang Ayla dengan cepat meraih dompet itu dan memasukkannya ke dalam tasnya.
Tangannya gemetar dan jantungnya berdegup kencang. Namun, tak seorang pun memperhatikan apa yang baru saja dia lakukan. Setelah selesai makan mereka pergi ke kelas.
Sesampainya di kelas Rani tiba-tiba tersadar bahwa dompetnya hilang. Panik dia segera mencari di tasnya di meja dan di lantai namun dompet itu tidak ada di mana-mana.
"Dompetku hilang" ucap Rani dengan suara gemetar.
Wajahnya berubah pucat, memikirkan uang dan kartu penting di dalamnya.
Syla, Lily, dan Ayla langsung membantu mencarinya tapi hasilnya nihil. Setelah beberapa saat mencari tanpa hasil suasana menjadi canggung.
"Tadi kita cuma di sini mungkin jatuh di jalan?" ujar Syla mencoba berpikir positif.
"Aku rasa kita harus cari lagi di kantin" sambung Lily.
Mereka pun kembali ke kantin dengan suasana hati yang berat. Di tengah perjalanan tiba-tiba Ayla tampak canggung dan berusaha menghindari kontak mata dengan yang lain. Perubahan sikap ini tidak luput dari perhatian Rani.
Saat mereka sampai di kantin Syla dan Lily mulai memeriksa area sekitar. Sementara Rani berdiri terpaku mengamati Ayla. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya.
"Ayla kamu kenapa? Sejak tadi kelihatannya kamu aneh" tanya Rani dengan nada penuh curiga.
Ayla terdiam, matanya berkedip gugup. "Aku... aku nggak apa-apa kok" jawabnya tapi suaranya bergetar.
Kecurigaan semakin menguat dalam diri Rani. Ia mendekat ke Ayla dan menatapnya dalam-dalam.
 "Kamu tahu sesuatu soal dompetku, kan?" tanya Rani.
Semua mata kini tertuju pada Ayla. Syla dan Lily menghentikan pencarian mereka dan berdiri diam memperhatikan suasana yang semakin tegang.
Akhirnya Ayla menundukkan kepala, air mata mulai mengalir di pipinya.
"Maaf Rani. Aku yang mengambil dompetmu" ucap Ayla sambil menangis.
Semua terkejut. Rani tidak bisa mempercayai apa yang didengarnya. "Kenapa, Ayla? Kenapa kamu melakukan ini?".
Ayla menangis semakin keras. "Maaf Ran... Aku benar-benar butuh uang. Aku sedang kesulitan aku nggak tahu harus gimana."
Syla dan Lily terdiam, tidak menyangka sahabat mereka akan melakukan hal seperti itu. Rani juga merasa hatinya hancur. Persahabatan yang selama ini begitu erat seketika terasa hancur.
"Kenapa kamu nggak bilang sama kita?" tanya Syla kecewa.
"Aku malu. Aku nggak mau keliatan miskin di depan kalian" jawab Ayla.
Rani yang hatinya dipenuhi kemarahan langsung meninggalkan tempat itu.
"Aku nggak mau lihat kamu lagi Ayla. Aku nggak bisa percaya sama kamu" ucap Rani sebelum berbalik pergi.
Syla dan Lily pun ikut terdiam dan pergi meninggalkan Ayla sendirian di kantin.
Hari-hari berikutnya terasa canggung dan dingin di antara mereka. Persahabatan yang dulu hangat sekarang retak. Mereka tidak lagi berkumpul bersama. Rani dan Syla marah besar pada Ayla. Sedangkan Lily yang selalu menjadi penengah, yang kabingungan harus berbuat apa.
Namun Lily tahu bahwa mereka tidak bisa terus-menerus seperti ini. Persahabatan yang sangat erat bartahun-tahun tidak seharusnya hancur karena satu kesalahan.
Suatu hari Lily memutuskan untuk memperbaiki persahabatan mereka. Dia menghubungi Rani, Syla, dan Ayla. "Guys ayo kita bertemu di taman dekat rumahku" ajak Lily kepada mereka bertiga. Meskipun awalnya Rani dan Syla enggan, mereka akhirnya setuju.
Saat mereka semua sudah berkumpul, Lily mulai berbicara. "Aku tahu kita semua marah dan kecewa. Tapi apa kita mau kehilangan persahabatan yang sudah kita bangun selama ini cuma karena satu kesalahan?".
Rani mendengus. "Lily, dia mencuri. Itu bukan hal kecil."
"Aku tahu. Tapi Ayla sudah minta maaf. Kita semua pernah buat kesalahan kan? Â Kalau kita tidak bisa memaafkan, apa artinya persahabatan kita?" ucap Lily dengan tenang.
Syla mengangguk pelan. "Aku juga kecewa tapi aku juga nggak suka kalau kita terus begini."
Ayla yang sejak tadi diam akhirnya bicara. "Aku benar-benar minta maaf Rani. Â Aku tahu aku sudah menghancurkan kepercayaan kalian, dan aku tidak tahu cara untuk menebusnya. Tapi aku berharap kalian bisa memaafkan aku."
Rani masih merasa terluka dan tidak bisa melupakan kejadian itu.
"Lalu kenapa kamu nggak cerita kalau kamu lagi butuh duit" ucap Rani yang ngegas.
Tanpa menunggu jawaban Ayla, Rani pergi meninggalkan mereka semua di taman. Ayla yang melihat Rani pergi sendirian memutuskan untuk mengejarnya.
Namun, tepat ketika Rani hendak menyusuri jalan menuju rumah. Seorang pria tiba-tiba mendekat dan dengan cepat menarik tas Rani. Rani terkejut dan berteriak "Tas aku! Tolong!"
Tanpa berpikir panjang Ayla langsung mengejar pencopet itu. Namun ketika ia hampir meraih pria itu sesuatu yang tak terduga terjadi.
Sang pencopet tiba-tiba berbalik dan mengeluarkan pisau. Ia mengayunkan senjata itu ke arah Ayla yang mencoba melindungi Rani.
"Ayla, hati-hati!" teriak Rani.
Terlambat. Pisau itu melukai lengan Ayla. Ia jatuh tersungkur darah mengalir dari lukanya.
Pencopet itu segera melarikan diri dengan tas Rani. Yang meninggalkan mereka berdua dalam kepanikan.
Rani berlari mendekati Ayla yang tergeletak di tanah menggigil kesakitan. "Ayla kamu nggak apa-apa?!" Suara Rani bergetar panik.
Lily Syla dan beberapa orang yang berada di sekitar taman segera datang membantu. Tak lama kemudian Ayla dibawa ke rumah sakit dengan ambulans.
Di dalam ambulans Rani terus menggenggam tangan Ayla sambil menangis. Dia merasa sangat bersalah.
Di rumah sakit waktu terasa lambat bagi Rani. Pikiran-pikirannya berputar tentang kejadian yang baru saja terjadi. Ia tidak pernah menyangka persahabatan mereka bisa berada di titik yang begitu mengerikan.
Setelah beberapa saat, seorang dokter keluar dari ruang perawatan. "Ayla akan baik-baik saja. Luka di lengannya tidak terlalu dalam, tapi dia membutuhkan waktu untuk pulih" kata dokter itu.
Rani menghela napas lega, tapi hatinya masih berat. Dia merasa beban besar menekan dadanya.
Syla dan Lily yang berdiri di sampingnya mencoba menenangkan Rani. Tapi Rani tetap diam masih terpaku pada rasa bersalah yang menghantuinya.
Saat akhirnya mereka diizinkan masuk ke kamar Ayla. Rani berdiri di samping tempat tidur sahabatnya.
 Ayla terlihat lemah, tapi tetap tersenyum saat melihat mereka masuk.
"Maaf Ran..." bisik Ayla dengan suara pelan "Aku cuma pengen ngebantu kamu. Aku nggak mau kamu disakiti."
Air mata Rani pun tumpah. "Jangan minta maaf Ayla. Harusnya aku yang minta maaf. Aku terlalu keras sama kamu. Aku salah... Maafin aku" ucap Rani sambil menangis di samping tempat tidur Ayla.
Ayla menggeleng lemah. "Kamu nggak salah. Aku memang harus bertanggung jawab atas apa yang aku lakukan. Tapi, kita bisa baikin semua ini kalau kita mau sama-sama belajar dan berubah."
Mendengar kata-kata Ayla, hati Rani terasa lebih ringan. Dia sadar, sahabat sejati bukanlah tentang siapa yang tidak pernah melakukan kesalahan tapi tentang bagaimana mereka saling memaafkan dan tetap ada untuk satu sama lain di saat-saat sulit.
Syla dan Lily ikut tersenyum merasa lega melihat persahabatan mereka perlahan-lahan kembali utuh. Mereka tahu perjalanan untuk memperbaiki hubungan ini mungkin tidak mudah tapi mereka yakin selama mereka saling mendukung semua bisa kembali seperti semula.
Hari itu di kamar rumah sakit Rani merasakan kelegaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi membiarkan kemarahan dan kebencian menghalangi persahabatan mereka.
"Mulai sekarang, kita akan lebih terbuka dan jujur satu sama lain. Kalau ada masalah kita hadapi bersama" kata Rani tegas.
Mereka bertiga mengangguk setuju. Persahabatan mereka mungkin pernah di ujung tali kini mereka bertekad untuk menjalin kembali tali itu lebih kuat dari sebelumnya.