"Mana boleh kawin, Mak. Nikah aja belum," balas Butet. Dia kembali fokus menyusun piring ke rak kaca.
Sang emak berdecak kesal,"Iya, nikah maksud emak. Kau kalo dibilangin banyak kali alasan."
Butet mengulum bibir agar tak meledakkan tawa. Dia punya alasan, kenapa belum menikah seperti keinginan emak. Butet juga belum siap jika nanti meninggalkan emak sendiri. Dia anak semata wayang, sedangkan bapak sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.
"Siapa itu di depan?" tanya emak saat mendengar suara ketukan pintu.
Butet menggeleng. "Gak tau, Mak."
Emak meletakkan sendok goreng yang digunakan menggoreng ikan, dia melangkah ke depan. Butet mengendikkan bahu, kemudian mengambil alih sendok goreng. Melanjutkan pekerjaan emak.
Sepuluh menit berlalu, ikan pun matang. Namun, emak belum kunjung kembali. Butet akhirnya pergi ke depan, mencari emak.
"Pekerjaanmu apa?"
Sebuah pertanyaan berhasil menghentikan langkah Butet. Di teras ada seorang pria yang dikenal duduk berhadapan dengan emak. Dia adalah Joni, teman kuliah Butet dulu. Penasaran, tapi takut mengganggu, Butet memilih bersembunyi di balik pintu.
"Sekarang gini, kalo kau betul serius mau lamar Butet, kau harus punya kerja dulu. Masa nanti anakku kau kasih makan batu? Gak mungkin, kan?" Emak berucap dengan sinis.
"I-iya, Mak." Pria itu menunduk.
"Pergi sana! Jangan sampe Butet ngeliat kau!" Emak menoleh ke kiri-kanan untuk memastikan keadaan aman.
Pria itu beranjak, berjalan pelan menuju motor beat hitam yang diparkir di halaman. Dia berbalik, menatap pintu. Butet bisa melihat aura kekecewaan di wajah itu.
Sepeninggal Joni, Butet pun keluar dari persembunyian. "Mak," panggilnya pelan.
Emak tersentak, buru-buru berdiri. "Tet, sejak kapan kau di situ?"
"Baru aja, Mak." Butet duduk di kursi yang tadi diduduki Joni. Dia menatap emak dengan penuh selidik. "Siapa yang datang, Mak?"
Emak mendeham. "Tukang PLN." Dia masuk ke rumah.
Butet tersenyum kecut, kenapa emak harus berbohong? Apa karena pekerjaan?
***