Mataku membiru. Langit kelabu menebarkan detak jantungku yang mengikuti alunan awan hitam yang berusaha memendung air matanya. Semuanya menatapku payau. Aku tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya. Aku tidak tahu apakah dia masih menyukaiku atau tidak, tetapi inilah yang terjadi. Aku memutar hidupku dengan segelas air perasan dari kunyit dan gula merah. Bertaburan dengan buah markisa tua yang bisa memabukkanku. Aku tidak percaya, kalau ternyata nenek moyangku lebih nakal dibandingkan pemuda-pemudi berpakaian terbuka di lantai dansa malam ini. Nenekku pernah bilang kepadaku, kalau aku sebenarnya tidak takut akan perubahan ini. Hanya saja aku menyadari, kalau dunia ini tidak akan kembali noromal, bila aku tidak ingin melakukan perubahan. Tidak selamanya tinggal di dalam kurungan budaya yang statis. Budaya yang kau kira sudah sempurna, tetapi malah selalu dilestarikan sebagai bukti kedengkian terhadap budaya lain. Ke mana seharusnya aku berlabuh setelah dunia tidak lagi mengenal budaya sebagai suatu ajaran melainkan suatu yang nista dan seharusnya dihapuskan di muka bumi karena ada yang berusaha mendominasi peradaban? Apakah kamu mengerti apa yang kumaksud? Apakah ini sulit? Tentu, kalau aku jadi kau, pasti ini sangat sulit. Namun, bagaimana bila ini adalah Time Travel yang sulit kamu artikan tetapi memang benar-benar ada? Bisakah kamu tetap percaya denganku walaupun banyak orang ketakutan dan menganggapku gila?
KEMBALI KE ARTIKEL