Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Pergi Haji: Kerinduan yang Menyakitkan

1 November 2011   11:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:12 278 1

Perhelatan terakbar berkumpulnya umat muslim dari berbagai penjuru dunia selalu menjadi satu fenomena menarik. Ibadah haji. Ritual tahunan yang jatuh pada Bulan Dzulhijah ini menjadi satu momen paling istimewa dari sekian banyak perayaan yang tertera dalam kalender Hijriyah. Tidak hanya pelaksanaannya yang memang khusus, ibadah haji juga menebar euforia di semua lapisan umat muslim. Baik sebagai individu, maupun dalam konteks kenegaraan.

Bagi seorang muslim secara individu, ibadah haji adalah penyempurna. Haji menggenapi rukun Islam yang menjadi pedoman dasar ibadah umat muslim. Maka menunaikan ibadah haji adalah kewajiban mutakhir yang sangat diimpikan siapa saja.

Ibadah haji juga menjadi agenda tahunan negara, di mana memberangkatkan jamaah haji ke Tanah Suci laksana mengirimkan delegasi dalam satu ajang pertemuan terbesar. Identitas para jamaah pun dikenali dari negara mana mereka berasal. Tak pelak lagi, negara menjadi satu penanggung jawab yang paling berkompeten dalam urusan keberangkatan haji ini.

Bila acara mudik lebaran saja begitu ramai dan hiruk-pikuk, maka ibadah haji adalah acara mudiknya umat muslim seluruh dunia, dengan satu tujuan yang sama : Tanah Haram, Mekkah. Di Indonesia, ritual mudik telah menjadi tradisi. Demikian pula acara mudik masal ke Tanah Suci. Kurang lebih seperempat juta muslim Indonesia berangkat haji musim ini. Bukan lagi sekadar ramai, tetapi berjubel dengan antrian yang sangat panjang dan melibatkan repot banyak pihak.

Tak hanya jaraknya yang jauh, tapi jalan untuk memperoleh tiket ibadah haji ke Tanah Suci ternyata juga sangat berliku. Yang pasti, kita harus sangat bersabar menunggu giliran. Pasalnya, kuota calhaj yang diberikan pemerintah Arab Saudi yaitu 1 per 1000 penduduk, seakan tak pernah cukup menampung animo masyarakat muslim Indonesia untuk berhaji. Ratusan ribu bahkan jutaan jamaah calon haji masih terdaftar di’waiting list’  Kementrian Agama.

Sekadar informasi, pendaftaran haji reguler melalui Depag Sleman, DIY, pada 2010, diperkirakan mendapatkan porsi keberangkatan pada 2020. Hampir sepuluh tahun jeda waktu menunggu. Ada lebih dari 50 orang setiap harinya mengajukan pendaftaran pergi haji. Secara kasar, sebanyak 1000 lebih jamaah per bulan mengantri. Itupun di tingkat kabupaten. Bila dikalkulasi jumlah antrian haji seluruh Indonesia, jumlahnya pasti sangat mencengangkan.

Mengapa ibadah haji menjadi demikian ‘tak gampang’ diwujudkan? Ia menjadi ibadah eksklusif yang begitu istimewa, dan hanya bisa ditunaikan oleh mereka yang mampu secara iman, fisik, dan materi? Tentu saja. Butuh keinginan yang kuat untuk dapat memulai mengusahakan ibadah haji. Niat ini membutuhkan dasar iman yang kuat. Bayangkan saja, siapa yang rela menunggu hampir sepuluh tahun bila ia tak mempunyai iman yang cukup tangguh?

Belum lagi masalah fisik. Mendaftar sekarang untuk haji reguler, kita harus mempersiapkan fisik, paling tidak untuk tujuh sampai sepuluh tahun ke depan. Ritual haji bukanlah sesuatu yang mudah. Perjalanan melalui udara selama 9-11 jam memerlukan stamina yang benar-benar prima. Belum lagi jamaah harus bisa beradaptasi dengan cuaca ekstrem Tanah Suci. Dan  juga kewajiban menunaikan seluruh rukun haji yang sangat menguras tenaga : thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, mabit di Mudzalifah, melempar jumroh, dan lain sebagainya.

Secara materi, biaya ibadah haji masih tergolong tinggi untuk masyarakat umum di Indonesia. Untuk dapat memperoleh satu nomer SPPH, calon jamaah haji harus membayar BPIH sebesar 25 juta rupiah ke Kemenag. Tidak sedikit, mengingat rata-rata biaya haji ini diperoleh dari tabungan yang sedikit demi sedikit dikumpulkan selama bertahun-tahun. Untuk saat ini, ONH plus masih tergolong mahal dengan biaya di atas 65 juta rupiah. Maka haji reguler tetap menjadi pilihan utama calon jamaah haji. Apalagi dengan menjamurnya program dana talangan haji dari bank. Proses pendaftaran SPPH menjadi lebih cepat, meskipun imbasnya, daftar antrian membludak.

Mengantri tiket menonton sepakbola di Senayan, pun itu adalah pertandingan Tim Garuda, masih belum apa-apa dibanding mengantri tiket pergi haji. Bukan pada berjubelnya. Karena membeli tiket pergi haji justru dilakukan di ruangan ber-AC. Sejuk dan nyaman. Hanya kita harus berhadapan dengan tantangan masuk ke dalam daftar antrian sepanjang minimal 7 tahun sebelum tiba hari-H. Sensasional. Apalagi bila kita benar-benar menginginkan mendapatkan tiket secepatnya. Apalagi kita tak punya jaminan bahwa umur kita masih sanggup menunggu saatnya tiba.

Menjadi tamu Allah SWT, Penguasa Semesta, Pemilik Jiwa yang Maha Besar, adalah suatu kehormatan tiada tara. Siapapun menginginkan untuk diperkenankan berkunjung ke rumahNya. Berdekat-dekatan, bermanja-manja, bahkan bersandar dengan segala keluh kesah dan pengharapan. Jiwa kita, hati kita, bahkan sel-sel terkecil dari tubuh kita, semua bertasbih, bertahmid, memuja kebesaran Allah dengan thawafnya yang tak pernah berhenti. Perputarannya yang searah dengan putaran thawaf, diikuti oleh seluruh benda langit, tanpa kecuali. Bumi, matahari, bulan, bintang, galaksi, dan seluruh semesta. Maka kerinduan yang kita rasakan, adalah panggilan yang sama, dengan semua ciptaanNya.

Lalu, apakah kita rela menunda?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun