Sejarah berulang dan di era 45,66 atau 98 menghasilkan berbagai aktivis; baik yang sejati maupun aktivist oportunis.
Tapi ternyata tak hanya aktivist yang sejati dan oportunis, tentara juga demikian.
Contohnya Wiranto. Wiranto yang menjadi orang kepercayaan Soeharto memang tak terbiasa dengan sesuatu yang tak pasti. Kaya, dipercaya dan berkuasa itu menjadi hal yang melekat di dirinya.
Ketika Soeharto mundur, hal berat yang harus dihadapi orang di lingkaran pertamanya adalah kehilangan kekuasaan. Itu merupakan hal yang sangat berat.
Terbiasa ada, terbiasa memerintah dan terbiasa menjadi penguasa melekat di mereka.
Sehingga dengan segala cara, sang Jenderal Wiranto ingin kembali berkuasa. Mulailah ikut konvensi Golkar, menang dan ikut dalam pencapresan bersama Solahuddin Wahid dan gagal.
Kekuasaan memang menggiurkan. Setelah gagal di 2004, Wiranto kembali mencoba keberuntungan di tahun 2009. Kala itu bersama Jusuf Kalla ikut pencapresan dan gagal lagi.
Kini ketika Pemilu 2014 dia dan Hary Tanoe tak sampai ke Pilpres, Wiranto mengaku lelah. Tapi itu tak menyurutkan keinginannya untuk ikut berkuasa.
Sehingga ketika tawaran koalisi bersama PDIP datang, dia tak kuasa menolaknya. Meski berhiaskan slogan koalisi tanpa syarat, poros itu pasti menjanjikan timbal balik yang pasti signifikan. Kekuasaan memang sangat menggoda.
Sama seperti para aktivist di era 45,66 dan 98, ada aktivist sejati namun ada yang oportunis.
Ternyata di tentara ada juga bahkan sampai seorang jenferal; ada prajurit sejati dan ada prajurit oportunis. Prajurit yang tak bisa jauh dari kekuasaan; prajurit oportunis sejati.