Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Asap High Heels

1 Oktober 2012   01:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:26 191 0
Jakarta masih pagi, kami berdiri sambil sesekali menyeka keringat yang turun ke dahi. Ibu ku menutup mukanya sebatas hidung, dan aku mengipas-ngipas kaosku berharap ada angin mampir. Penuh sesak, malah terkadang masih juga tersentak karena dorongan si pengasong. Ibuku bercerita tentang berita yang beliau simak di tv. Bahwa Cina sudah mendahului Jepang untuk memiliki kereta berkecepatan 300km/ jam. Aku membayangkan ular besar yang lapar, sedang memburu seekor macan, mungkin secepat itu kereta yang dimiliki Cina.

Tapi apa yang terjadi dengan keretaku, kereta rakyat ini tiba-tiba berhenti, dan orang di sudut lain bersorak, "pasrah dah..". Ada yang lain juga berkomentar, "turun aja yang kebayoran, dikit lagi ini". Agaknya kereta mogok. Boro-boro 300km/jam, batin ku. Ramai pedagang kereta kota ini mulai beradu. Dari yang jualan topi, mainan anak, tahu, segala rupa buah, sampai gunting kuku juga ada yang jual. Ah, tidak ketinggalan "mijon ada mijon.. pokari, asli lhoo", yup ! minuman dingin. Si abang pintar aja memainkan intonasi berjualannya. Dan membuat anak kecil yang di dekatnya tiba-tiba merengek minta minum. Ibu ternyata juga tertarik dengan keranjang berisikan mangga. Aku tersenyum, karena keretanya mulai berjalan lagi.

Mungkin suasana mau susah bersama, seperti di dalam kereta ini hanya akan aku temui di Indonesia. Aku menikmati ketidaksempurnaan negeri ini, sampai asap bakaran tembakau menyembul dari belakangku. "Sempet-sempetnya ngerokok, nih orang", seru ibuku sambil masih menutupkan mukanya sebatas hidung. Aku kesal juga dengan bapak tua yang duduk di peti buah agak jauh di belakangku. Tapi sudahlah, aku mencoba diam saja.

Sudah lebih dari tiga kali asap tembakau si bapak itu memaksa aku berbatuk, dan tidak sadar juga kalau asapnya mengganggu yang lain. Lama-lama aku geram. Aku bergeser dua langkah untuk sampai tepat membelakangi bapak perokok itu. Kakinya yang beralaskan sandal jepit terlihat kering sekali, aku jadi tak tega. Aku mengurungkan lagi niatku. Tapi sekali lagi asapnya mengepul, malah lebih banyak lagi dari sebelumnya dan dekat sekali dengan aku. Akhirnya kaki bapak itu terinjak dengan sepatuku, dan dia berdiri menghadapku sambil memaki, "kalau berdiri liat-liat, sakit tau keinjek sepatu !". Aku tersenyum dan menatap bapak itu, "Pak, dari tadi asap rokok bapak hampir membunuh saya, tapi saya diam saja, sekarang baru keinjek dikit makian bapak sudah setinggi langit. Siapa seharusnya yang marah pak?". Bapak tua itu diam dan terduduk kembali, sisa puntung rokoknya ia letakkan ke bawah lalu dia injak sendiri puntung itu.

Kereta berhenti, stasiun tujuan ku telah tiba, aku dan ibu turun meninggalkan bapak tua si perorok itu dalam diam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun