Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Anak Modern Menghirup Suram

16 Agustus 2010   10:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:59 82 0
Ini yang saya lihat dari Indonesia sekarang. Setelah 65 tahun dalam cap "Merdeka". Saya, <penulis, bukan sista sherry> Selain sebagai mahasiswi, saya adalah seorang pengajar di salah satu madrasah kecil. Sangaaat kecil. Bukan madrasah seperti pada umunya. Yang mengajar di sini tidak dibayar seperempat perak pun. Anak-anak hanya diwajibkan membayar SPP Rp 2000 perbulan untuk keperluan mengajar, seperti perbaikan madrasah, kapur dan penghapus. Bahkan kadang ada yang tidak membayar. Madrasah itu berukuran kecil. Terpampang tulisan "MADRASAH AL-HIDAYAH" di dinding yang menempel ke mesjid. Ya, madrasah itu dibangun di teras mesjid, mesjid yang kecil juga. Cat kuning dan hijau menjadi warna madrasah dan mesjid itu. Ukuran madrasah itu 3 langkah kali tujuh setengah langkah kaki orang dewasa yang normal. Sementara di dalamya dibagi 3 kelas setiap gelombangnya. Dengan bangunan triplek seadanya, ventilasi memakai kawat seadanya, lantai semen, 3 papan tulis kecil dari tiplek yang dicat hitam, bangku yang sepertinya dibuat begitu saja. Mirisnya, tempat itu kecil, yang kami bereskan sebisa mungkin, tapi orang-oang seenaknya lewat, menginjak-injak madrasah kami. Padahal saya yakin, yang lewat itu adalah manusia yang dianugrahi akal pikiran. Bukan hewan yang hanya mempunyai otak untuk mengontrol gerak tubuh dan hanya nafsu disana. Banyak cara yang dilakukan untuk menjaga madrasah kami. Mulai dari tulisan dipintu "Harap alas kaki dibuka!" sampai mengunci pintu jalan ke madrasah. Tapi dasar manusia, kunci itu dirusak sehingga tak dapat digunakan lagi. Haloo???? Yang belajar di situ anak kalian! Adik kalian! Saudara kalian! Yang mengeluarkan keringat menjaga madrasah itu! Mereka yang kalian sayangi! Apa tidak ada sedikitpun penghargaan untuk tangan-tangan mungil yang memegang sapu dan lap pel?! Untuk usaha mereka?! Saya rasa pantas saja orang-orang seenaknya keluar masuk, toh tempat itu terlihat tidak berharga bagi mata telanjang. Bukankah mayoritas manusia dan orang Indonesia yang saya tahu, lebih menghargai sesuatu yang terlihat megah, terlihat mahal, terlihat ber-merk?! Melihat dari covernya, dari baju yang dikenakan, dari tampangnya, dari apa yang menempel pada fisiknya. Padahal belum tentu yang ada di dalam sama sepeti bungkusnya. Seperti madrasah kecil kami ini. Terlihat tak berharga, tetapi disitu ada kegiatan agar kelak anak, adik, saudara mereka menjadi manusia yang tetap berahlak. Menciptakan peradaban yang beadab mulia. Saya mengajar anak-anak esde, tunas bangsa, cerminan Indonesia di masa depan. Mereka yang mudah diberi pemahaman. Melihat mereka, saya seakan-akan masuk lorong waktu. Tapi, bayangan itu suram. Sunguh saya tidak menyukainya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun