Meski sudah lama tak bersua karena kesibukan almarhum sebagai kepala seksi di sebuah kantor dinas lingkup Propinsi Kalimantan Timur, saya mengingatnya sebagai sosok yang ramah dan suka bercanda.
Saya pernah bekerja sebagai tenaga honorer di kantor dinas awal tahun 2000an. Kemudian tahun 2002 menerima tawaran kerja di tempat lain. Bertahun-tahun kemudian aktivitas saya kembali ke kantor tersebut untuk mengajar mengaji para ibu, dua kali dalam sepekan.
Pagi ini, seperti jadwal biasa, saya memulai mengajar. Kami membaca Surah Al-Fatihah dan mendoakan almarhum. Sembari ibu-ibu lain menunggu giliran mengaji, mereka menceritakan kenangan selama almarhum masih hidup.
Rupanya usai bercengkrama dan jalan-jalan sejenak ke mall bersama Istri, setiba di rumah beliau mandi membersihkan diri, tiba-tiba beliau tak sadarkan diri. Sempat dilarikan dan dirawat di rumah sakit, namun nyawa beliau tak tertolong lagi. Demikian sekelumit cerita yang disampaikan ibu-ibu di mushola.
Kenangannya sama. Beliau ramah, hampir tidak pernah marah. Kalaupun ada hal yang kurang berkenan tentang urusan kantor kepada bawahan atau rekan sejawat, beliau selalu santai dan tertawa saja ketika menegur. "Ya, begitulah cara dia menyampaikan ke kita, ga pake marah atau ngomel. Menegurnya sambil ketawa aja, jadi kita sebagai bawahan ga beban, tapi tetep hormat. Baik banget lah pokoknya," ungkap kakak saya yang pernah bekerja sama dalam satu tim proyek di kantor.
***
"Begitulah, Sis. Orang baik banyak yang berpulang." Sahabat saya berkomentar dengan berita meninggalnya beliau. "Semoga Allah meridhoi segala amal baik kita, dan berpulang kepada-Nya dalam keadaan husnul khatimah, aamiin."
Kalau orang baik banyak yang berpulang, apakah kemudian orang buruk belum banyak berpulang?
Apakah itu tanda Allah masih memberi kesempatan kepada kita untuk bertobat? Memberi waktu agar mempersiapkan sebaik-baiknya diri kala ajal menjemput?
Lalu bagaimana memaknai waktu agar kita bisa mengisinya dengan sebaik-baik manfaat?
Rasanya baru saja saya ditinggal Bu Isti dan mengenang beliau, teringat kepulangan keharibaan-Nya. Juga saat supir bos saya sewaktu kerja di PMA Batubara meninggal beberapa pekan setelah Bu Isti. Kini ditambah rekan kerja kakak saya yang dikenang sangat baik perangainya oleh rekan sejawat, pun telah tiada.
Padahal beberapa hari lalu pula saya selesai meresensi Kado Ingat Mati yang ditulis oleh Ustadz Yusuf Mansur. Oi, siapkah kita dijemput ajal? Dalam keadaan bagaimana kelak kita dijemput? Bisa kita memilih dalam keadaan bagaimana ketika kematian datang?
Ya, jangan sampai kesadaran kita menjadi sia-sia
dalam mengingat mati. Kesadaran yang sia-sia itu adalah adalah:
1. Ketika kematian sudah bicara
Jika kita sadar, ketika kita sudah meninggalkan dunia ini, alias ketika kita sudah tidak bisa lagi berkata-kata, tidak bisa lagi menoleh kanan-kiri, tak lagi menggerakkan kaki dan tangan, kesadaran ini menjadi sia-sia. (Hal.22)
2. Pergi yang tak bisa kembali
Kematian akan menyadarkan yang mati bahwa ia sudah terlambat untuk kembali. (Hal.29)
Agar tak menjadi kesadaran yang sia-sia, selagi masih hidup, kita terus memperbaiki diri dan mempersiapkan sebaik-baik amal baik sebagai bekal.
3. Dua penyesalan, ketika kematian datang dan ketika sudah berada di neraka.
Ya, Allah memberitakan bahwa mereka yang hidupnya sedikit amal, akan merengek minta dikembalikan ke dunia. Namun terlambat, kesadaran ini menjadi sia-sia (hal.33). Dan sebagaimana penyesalan pertama, dimana jika ajal sudah sampai dan tidak bisa diundur lagi, penyesalan kedua juga sama. Seseorang yang dibenamkan ke neraka, sangat sulit untuk bisa keluar dari neraka. Kecuali, memang Allah menghendakinya (hal.35)
Sebuah nasehat dari UYM di buku tersebut, kematian akan menyadarkan yang mati bahwa ia sudah terlambat untuk kembali. Kematian juga (seharusnya) menyadarkan kita yang masih hidup, bahwa belum terlambat untuk segera kembali.Tidak ada perbaikan hidup yang bisa dilakukan oleh yang sudah mati (hal.29).
Saya menarik nafas panjang, kematian memang misteri, namun niscaya terjadi. Saat ini orang berbicara kebaikan tentang rekan kerja kakak saya tersebut. Lalu, bagaimana dengan diri ini kelak dibicarakan orang ketika telah kembali?
Hanya Allah saja lah yang menutup aib kita. Semoga muhasabah diri ini menjadi pengingat bahwa kehidupan ini harus diisi dengan sebaik-baik manfaat untuk kehidupan kekal di akhirat.
Aamiin.