Sesuai bunyi pasal 27 ayat 1, UUD 1945 bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Itu mengartikan bahwa hak hidup setiap warga negara dijaga, dilindungi serta dihormati tak terkecuali bagi kaum perempuan.
Namun seringkali dirasakan sebaliknya, kaum perempuan mendapat perlakuan tidak adil dan kasar seperti kekerasan seksual dari lingkungan yang tentunya telah melanggar hak azasi manusia. Apalagi jika lelaki memiliki posisi dan kewenangan lebih kuat (berkuasa) dari perempuan di ruang-ruang formil seperti di lingkungan perkantoran maupun lingkungan perguruan tinggi.
Pada ruang akademisi, hal demikian juga tidak terhindar sehingga perempuan sering menjadi korban kekerasan seksual sejatinya di ruang pendidikan kental nilai moralitas dalam menjalankan kegiatan akademiknya.
Jika hal seperti ini tidak menjadi perhatian serius dari pemerintah dan stakeholders, dikhawatirkan terus bertambah jumlah korban kekerasan seksual terhadap perempuan. Bisa jadi selama ini sudah banyak korban kekerasan seksual dari lingkungan perguruan tinggi namun korban tidak berani melapor ke penegak hukum atau bertindak tegas pada pelaku.
Untuk itulah sebagai politisi perempuan, turut serta peduli memperjuangkan agar RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) segera disahkan menjadi UU agar perempuan terjamin dan terlindungi dalam beraktivitas di ruang publik sesuai harapan publik. Rencananya DPR akan mensahkan RUU TPKS pada rapat paripurna tanggal 14 April mendatang sehingga tidak perlu menunggu RKUHP yang mengatur masalah pidana perkosaan (Bivitri Susanti, Pakar Hukum).
Dalam hal ini juga mendukung upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbud ristek) Republik Indonesia No. 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.