Maka, saya hanya dapat membayangkan jalan ini dari berbagai pemberitaan. Kedengarannya, jalan lebih dari seratus kilometer ini relatif lempang. Tentu, ada belok-belokannya juga, tetapi rasanya kurvanya cukup besar sehingga tidak terdapat sudut jalan. Sarana seperti tempat istirahat ada delapan buah, masing-masing empat di setiap sisi jalan. Jadi, baru setelah berkendara tiga puluhan kilometer orang akan bertemu dengan tempat istirahat. Selayaknya jalan bebas hambatan, tidak banyak kawasan di luar jalan yang direspon: tidak ada zebracross untuk menyeberang orang, tidak ada juga pasar tumpah. Yang penting adalah jalan lancar agar orang cepat mencapai tujuan.
Jemu?
Kedengarannya masih banyak masalah pada ruas tol baru ini. Pada masa awal peresmian dahulu diberitakan bahwa rambu-rambu dan lampu yang terpasang kurang memadai jumlahnya serta rest area belum seluruhnya siap. Kemudian dikabarkan juga terdapat beberapa kecelakaan maut terjadi. Pada saat arus mudik lebaran terjadi, fasilitas sudah terlihat memadai, namun terjadi antrean panjang di pintu tol, ketika para pengguna akan membayar ongkos. Kemacetan dikabarkan mencapai 36 kilometer.
Dari sekian permasalahan, salah satunya adalah bahwa konon jalan panjang ini menjemukan. Saya mengamininya seraya menganalogikannya dengan perjalanan saya dari rumah ke kantor pergi-pulang. Terdapat setidaknya dua alternatif jalan yang dapat dilalui untuk rutinitas saya itu. Yang pertama adalah jalan raya antarprovinsi yang relatif lurus, lebar, dan rata. Pilihan kedua adalah jalan antarkecamatan yang sempit, berkelok-kelok, dan rusak di beberapa tempat. Dengan jarak yang kebetulan sama, saya memilih jalan kedua. Pasar tumpah, perempatan ramai, penyeberangan anak sekolah, membuat perjalanan penuh dengan variasi dan kadang ada kejutan: rombongan itik menyeberang.
Melewati jalan berliku di tengah pedesaan itu saya dapat merasakan kenyamanan orientasi: sehabis ini akan ketemu ini. Atau, saya kira-kira sedang berada di penggal tertentu dan masih perlu melewati penggal-penggal lain. Rumah sudah dekat atau kantor sebentar lagi tercapai.
Penanda lokasi
Berangkat dari pengalaman berkendara tiga puluh kilometer dalam satu kali perjalanan itu--kira-kira hanya jarak dari satu rest area ke rest area lain di Tol Cipali--membuat saya membayangkan perlunya ada penanda lokasi yang membuat orang mudah berorientasi.
Tentu, di sepanjang jalan tol tersebut sudah terdapat angka-angka kilometer yang membuat kita dapat membuat kalkulasi matematis posisi absolut kita. Juga, di pada dashboard di dalam mobil terdapat speedometer dengan pengukuran jarak yang telah ditempuh selain kecematan. Bahkan, penentu lokasi berbasis satelit, global positioning system (GPS), mungkin terpasang di kendaraan atau pada smartphone yang dibawa. Namun, penanda yang memberikan pengalaman visual akan lebih mengena terutama jika perjalanan dilakukan secara berulang.
Penanda-penanda visual di jalan tol dapat berupa fenomena permanen seperti bangunan, monumen, fitur alam seperti bukit, pohon, dan sebagainya. Saya tidak tahu apakah papan iklan diperkenankan di jalan tol. Jika boleh, maka perlu dirancang agar papan tersebut cukup khas untuk dilihat namun tidak sampai mengganggu konsentrasi pengemudi.
Analogi dengan perjalanan sehari-hari saya, bagi pengemudi yang telah beberapa kali melintas akan tahu bahwa setelah ada fenomena seperti bangunan atau pohon besar di kiri jalan, akan ketemu dengan rest-area, misalnya. Atau jika sudah menjumpai sebuah batu besar di kanan jalan, maka pintu keluar tol akan segera dicapai.
Penanda ini mestinya tidak hanya diterima oleh pengguna jalan secara visual, tetapi dapat juga berbentuk fisik, suara, maupun bau. Tanda fisik misalnya pengejut, belokan, sementara dalam hal suara mungkin dengan menempatkan bangunan tertentu, seperti pagar tembok yang tinggi di tempat-tempat, dapat memantulkan suara yang akan membuat pengemudi tetap terjaga. Tentang bau, saya selalu tahu sudah berada di Ungaran jika mencium bau biskuit matang, dari salah satu pabrik.
Mengurangi kecelakaan
Penanda itu juga merupakan selingan visual yang dapat menjadi selingan di antara monotonnya jalan yang dapat mengundang kejemuan bagi para pengguna, terutama pengemudi. Jalan lurus, lebar, dan rata akan cenderung membuat pekerjaan tunggal bagi pengemudi: injak pedal gas, stir lurus, selama tidak terdapat pengguna jalan lain yang perlu direspon.
Tidak sekedar menjadi selingan yang menghibur, yang lebih penting lagi adalah keselamatan para pengguna jalan. Kebosanan yang berkurang diharapkan dapat mengurangi angka kecelakaan lalu lintas yang menjadi sorotan media massa pada hari-hari awal pengoperasian jalan bebas hambatan ini.
Pertimbangan ahlinya
Begitu bayangan saya tentang Cipali. Tentu, perlu pertimbangan para ahli yang kompeten tentang hal ini. Jangan-jangan menurut teori "tologi" alias ilmu jalan tol, adanya penanda lahan malah merusak konsentrasi pengemudi.
Perjalanan lancar dan para pengguna, kendaraan, serta barang angkutan selamat sampai ke tujuan. Semoga.