Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerbung

Jurnal Hantu, Bab 36 - Bocah Malaikat atau Iblis

28 September 2024   07:47 Diperbarui: 28 September 2024   07:59 77 2
Oh My God, tak mungkin aku satu keluarga dengan bocah iblis. Belum lagi roh nenek moyangku ialah harimau jadi-jadian yang gepeng. Sebenarnya, siapa aku ini? Aku tak akan terkejut jika suatu saat ada kunti yang menyatakan diri sebagai nenek buyutku!


Tama menatap wajahku yang pucat pasi dengan prihatin. "Ray, jangan kau pedulikan perkataannya! Kalian itu berbeda. Kau manusia dan ia iblis. Mana mungkin cahaya dan bayangan hidup bersama?"


Mendengar perkataan Tama yang terkesan meremehkan, si bocah iblis menggeram marah. Dengan sekali kibasan tangannya, vas keramik pun pecah berderai. Pecahan-pecahan keramik terbang mengelilingi Tama penuh ancaman. Aku langsung memeluk Tama. Walaupun Tama itu hantu kucing, siapa yang bisa menjamin Tama tidak lenyap menjadi abu seperti Tuyul Hitam ketika melawan bocah iblis.


"Ah, kau sangat menyayangi hantu kucing ini, ya?" Tanya bocah iblis sembari merenung. "Persis seperti Andri yang selalu cinta binatang."


"Aku tak mengerti mengapa kau membunuh warga desa dan menyantap jantung mereka? Mengapa kau memilih menjadi iblis?"


Bocah iblis tertawa terbahak-bahak. "Ray, kau senaif saudara kembarku. Aku ingin bersama Andri walaupun aku harus menjadi iblis. Aku sangat mencintainya."


Aku tertegun. Tidak menyangka kekejaman iblis ini karena cinta. Motifnya begitu sederhana.


"Mengapa kau bergeming? Kau tak mengira iblis juga bisa mencintai?"


"Tapi cintamu sangat egois. Kau mengorbankan nyawa orang lain."


"Nak, saat mati kita jadi menyadari banyak hal. Apa pun di dunia tak seindah yang kita bayangkan. Aku menjadi iblis sealami kau menarik napas," seru bocah iblis. Ia menghilang dari cermin.


Aku kembali menonton adegan di cermin. Kali ini warga desa datang berbondong-bondong ke pemakaman. Sang ibu dan Fero yang tewas dalam tragedy tampak dibalut kain kafan. Mereka sedang dishalatkan oleh warga desa. Ada wajah-wajah yang tampak familiar bagiku. Mungkin itu keluarga besar si bocah kembar. Bayangan mereka semua memudar dan cermin menampilkan adegan lain.


       Seorang pria berumur 40 tahun menangis tersedu di depan pusara. Pria itu wajahnya sangat mirip dengan ibunya si kembar. Ia berbisik pada dirinya sendiri, "Aku akan menuntut balas untuk kematian Elin dan Fero. Aku tak percaya warga desa tega menyebarkan rumor bocah iblis hingga saudara kembarku menjadi gila." Kedua tangannya mengepal tanah makam. "AKU BERSUMPAH AKAN MEMBUAT NERAKA BAGI KALIAN!"


     Cermin pun menjadi gelap. Si bocah iblis tersenyum misterius. "Ray Sayang, bisakah kau menebak apa yang terjadi?"


    Aku termangu. "Tak mungkin pamanmu melakukan hal terlarang itu."


    Bocah iblis mendongakkan kepalanya ke belakang dan tertawa terbahak-bahak. Dengan suara lembut, ia bertanya, "Kau harus mengetahui sejarah kelam keluarga kita. Paman Derry sanggup melakukan apa pun."


     Darahku berdesir melihat cermin yang menampilkan ritual terlarang di makam Fero. Ah, Paman Derry ini lebih memilih mengorbankan jiwa keponakannya ke iblis dibandingkan saudara kembarnya. Aku membelalakkan mata ketika Paman Derry mengambil jantung Fero dan meletakkannya dalam bentangan kain merah sebagai persembahan. Api obor yang bergerak-gerak mengikuti irama angin, membuat suasana tambah mengerikan. Api tersebut menerangi patung iblis kecil dari batu giok hijau. Mata delima pada patung iblis itu berkilat penuh ancaman. Tiba-tiba keluar asap hitam dari rongga mulut si patung iblis. Asap tersebut menjelma menjadi bayangan hitam yang tinggi menjulang hingga 2,5 meter. Penampakan iblis tersebut mengejutkan Paman Derry hingga ia jatuh terjerembab.


    "AKU AKAN MENGABULKAN PERMOHONANMU UNTUK MENGHIDUPKAN KEPONAKANMU. IA AKAN MEMBALASKAN DENDAMMU PADA WARGA DESA. TAPI, KAU HARUS MENGORBANKAN MILIKMU TERLEBIH DAHULU. APA KAU SETUJU?" Tanya Iblis dengan suara menggelegar.


    "Aku sa...sanggup. Apa yang harus kukorbankan?" Tanya Paman Derry dengan suara gemetar.


     "HAHAHA. KAU AKAN MENGETAHUINYA SENDIRI."


  Secepat datangnya, secepat itu pula sang iblis menghilang. Paman Derry terpana melihat kelopak mata Fero mulai bergerak-gerak. Jemarinya mulai bergetar. Pipinya yang pucat merona stroberi. Bagaikan Frankenstein, Fero hidup kembali tanpa jantung.


     Paman Derry memeluk Fero erat-erat. Ia terkesiap ketika Fero terisak. Wajah malaikat Fero yang murung sungguh menyentuh hati.


       "Paman, aku lapar sekali. Aku sangat lapar."


      "Kau ingin makan apa? Pasti akan Paman sediakan segala hidangan yang kau suka."


     Fero menyusut linangan air matanya. Ia tersenyum begitu manis hingga hati Paman Derry terasa hangat. Ia berpikir tak salah ia bersusah payah untuk menghidupkan kembali sang keponakan.


     Pemandangan selanjutnya membuatku terperangah. Sungguh adegan horor pada cermin. Fero merogoh dada Paman Derry yang hanya bisa terpana tak percaya. Ia melahap jantung Paman Derry tanpa berkedip. Bahkan, ia tersenyum.


  Aku memejamkan mata. Tak tahan melihat kebiadaban sang bocah iblis. Tama pun duduk tak bergerak di pangkuanku. Bulunya berdiri semua hingga terasa menusuk kulitku.


    Melihat tingkah kami, si bocah iblis tertawa berderai. "Ray, aku sangat menyukaimu. Bagaimana jika kita hidup bersama? Kau boleh membawa hantu kucingmu."


  "Jangan bermimpi! Kau hanya ingin menyantap jantungku," seruku sembari berdesah.


  "Tsssk...Kau begitu paranoid. Pikirkan saja dulu penawaranku! Tapi, kau harus mengingat bahwa aku benci penolakan," ujar bocah iblis. Kemudian, ia menghilang dari cermin.


     Aku dan Tama saling berpandangan. Apa yang akan terjadi dengan nasib kami jika menolak permintaan bocah iblis?


***

    "HUHUHU!"


   "Adik kecil, kau baik-baik saja?" Tanya Ranko dengan nada lembut. Ia membantu bocah cilik tersebut berdiri dan membersihkan lututnya yang terluka dengan saputangan. Untuk sejenak, Ranko terpukau dengan senyum malaikat si bocah. Linangan air matanya seperti butiran kristal yang berguguran. "Jangan menangis, Adik Sayang! Kakak belikan es krim, ya? Kau mau?"


   Si bocah cilik mengangguk dengan antusias. Ia langsung menggenggam erat tangan kanan Ranko. Hati Ranko tersentuh. Ranko memang lemah dengan anak kecil yang manis karena ia anak tunggal.


    Aku sangat terkejut ketika Ranko menggendong seorang bocah cilik ke dalam kamar tidurku. Mulutku ternganga bagaikan kuda nil. Tama pun mendesis marah dengan bulu mengembang seperti landak.


      "Ran...Ranko...Tak salah kau bawa bocah ini ke sini? Mengapa kalian bersama?" Bisikku yang sedang rebahan di tempat tidur. Aku melirik bocah iblis yang duduk manis di atas sofaku. Sedangkan Ranko membungkuk di hadapannya untuk mengoleskan Betadine Luka di lutut kanannya.


   "Aku menemukan anak ini menangis di depan rumahmu. Ia terjatuh dan terluka. Jadi, kubawa ia ke sini," ujar Ranko dengan nada santai. "Mengapa sikap kau dan Tama sekaku kawat? Kalian tak iba pada bocah semanis malaikat ini?"


      Aku menepuk jidat. Duh, Ranko. Jika saja kau tahu, bocah cilik apa yang kau hantarkan ke hadapanku dan Tama. Bocah malaikat apa? Aku menatap nanar mata Ranko yang tak memedulikan isyarat alarm bahaya di mataku. Rupanya Ranko lupa kami akan melawan bocah iblis. Ranko ini indigo. Tapi dengan mudahnya ia tertipu penampilan malaikat sang bocah iblis.


     Ranko mencium kening si bocah iblis dengan penuh kasih sayang hingga Tama menggeleng-gelengkan kepala. Sementara itu, bocah iblis tersenyum puas. Sudut bibirnya agak naik seolah mengejekku yang tak bisa berkutik.


     Apa yang akan terjadi selanjutnya?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun