Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerbung

Jurnal Hantu, Bab 32 - Dandelion

26 September 2024   18:04 Diperbarui: 26 September 2024   18:07 56 0
"Ranko, apa yang kau lakukan? Mana mungkin Jurnal Hantu ada di dalam tanah," ujarku dengan nada malas. Aku lelah lahir dan batin mencari Jurnal Hantu yang sudah menghilang seperti hantu. Aku belum berani untuk memberitahu Kakek Fandi mengenai hilangnya Jurnal Hantu yang merupakan warisan berharga. Aku yakin Kakek Fandi pasti marah besar dan memotong honorku. Padahal aku sedang mengumpulkan uang untuk membeli laptop baru.


      Ranko tampak sedang mengais-ais rumput. Dengan seruan kemenangan, ia menunjukkan hasil temuannya. "Akhirnya, aku menemukan 2 tangkai bunga dandelion. Tanamannya tertutup rumput ilalang. Kau malas sekali merapikan kebunmu yang sudah seperti hutan belantara. Aku tak heran jika ada keluarga ular yang bersembunyi."


     Aku tak menghiraukan celotehan Ranko. Ia memang cerewet akan kerapian dan kebersihan. Dua hal yang kurasa bukan merupakan bakatku. Aku menghela napas mendengar rentetan omelan Ranko.


  "Jangan mengandalkan Teh Ira, pembantu rumah tanggamu yang sudah tua! Dan jangan senyum terus jika kunasehati!" Hardik Ranko.


    Aku menyeringai. "Aku penganut paham demokrasi. Jadi, aku membiarkan tanaman tumbuh sekehendak hati mereka."


   Ranko menjulurkan lidah. Ia tampak begitu imut dengan tshirt biru langit dan celana pendek putih. "Kau seharusnya me-reset otakmu. Tahu tidak? Kau ini semalas kukang."


   Tanpa mempedulikan kalimatnya yang sepedas BonCabe level 30, aku duduk dengan santai di atas sebatang pohon pinus yang tumbang. Ranko menjulurkan setangkai bunga dandelion. Aku menatapnya dengan alis terangkat. "Untuk apa? Kau ingin aku menyelipkan bunga dandelion ke belakang telingaku seperti orang Hawaii? Atau, kau ingin aku membuatkan rangkaian mahkota bunga untukmu?" Kemudian, aku pura-pura terperanjat sembari bergaya centil dengan menirukan pose aigyuu (imut) JKT 48. "Ah, kau ingin melamarku dengan setangkai bunga dandelion? Aku menuntut mas kawin berupa rumah dan mobil. Juga tabungan ratusan juta Rupiah."


   Ranko menghentak-hentakkan kaki kanannya dengan tak sabar. "Sudah cukup halusinasinya?"


   Aku terkekeh melihat Ranko yang berusaha menutupi salah tingkahnya. Pipi Ranko yang merona apel mengkhianati tingkahnya yang pura-pura tak peduli saat kugoda. Aku sangat menyukai gaya rambut Ranko yang memakai poni. Ia persis boneka Jepang berkimono milik ibuku.


    "Ray, serius dong!" Gerutu Ranko.


   "Kapan aku tak pernah serius? Kau tahu aku selalu serius denganmu," timpalku dengan santai. Aku langsung mendapat ganjaran cubitan bertubi-tubi.


   Aku mengayun-ayunkan kedua kakiku yang terasa pegal setelah mencari Jurnal Hantu ke seluruh peloksok rumah dan kebun. Hari Minggu yang indah tersia-sia begitu saja karena kecerobohanku yang menghilangkan Jurnal Hantu. Tama, kucing hantuku, memberi ultimatum padaku untuk terus mencari Jurnal Hantu sebelum menyuruhnya. Ah, padahal dengan kemampuan mistis Tama, tentu mudah saja baginya untuk menemukan Jurnal Hantu. Tapi, Tama bersikeras aku harus mencarinya. Menurutku, ia tampak agak panik. Entahlah! Sekarang juga bukannya membantuku dan Ranko, ia malah keluyuran bersama Ismi, sahabatnya yang juga hantu kucing.


   "Ray, tirukan aku. Tiup bunga dandelion ini hingga kelopak-kelopaknya terlepas dan ucapkan permohonanmu dalam hati. Semoga kau segera menemukan Jurnal Hantu," pinta Ranko. Ia meniup keras hingga kelopak-kelopak bunga dandelion beterbangan.


   Aku menahan tawa. Mata jernih Ranko tampak begitu serius seolah-olah jika aku tak melakukan hal ini, maka aku akan tewas. Aku pun meniup kelopak bunga dandelion sembari mengucapkan permohonan di hati. Semoga aku segera menemukan Jurnal Hantu. Saat meniup kelopak bunga dandelion yang terakhir, aku melirik Ranko. Semoga ia menjadi milikku. Semoga ia menyadari aku selalu mencintainya. Aku hanya berani berharap. Ia terlalu sempurna untukku.


  Ranko yang tersenyum dengan anak rambut berserakan di wajahnya begitu cantik hingga aku merasa ia tak nyata. Aku tergagap ketika ia menepuk keras bahuku.


   "Mari kita lanjutkan pencarian Jurnal Hantu! Ray, masih muda juga kau sudah pikun. Masa kau tak bisa mengingat juga di mana kau letakkan Jurnal Hantu terakhir kali?" Omel Ranko.


***

Pak Romi mengetuk-ngetukkan jari telunjuk kanannya ke atas permukaan meja kerjanya. Di hadapannya Jurnal Hantu dalam keadaan terbuka. Ia menyayat sedikit tangannya dan meneteskan darahnya ke dalam Jurnal Hantu. Darahnya yang merembes ke halaman Jurnal Hantu langsung terserap seperti sponge. Ada suara berdeguk-deguk. Ah, ternyata Jurnal Hantu ini asli. Bagaimana membuka segel Jurnal Hantu ini?


WOOOOOOOOOOO!!! WOOOOHOOOOO!!!


Terdengar lolongan mengerikan dari dalam Jurnal Hantu. Suara itu bergemuruh hingga jantung Pak Romi serasa meledak. Sesegera mungkin ia menutup Jurnal Hantu tersebut. Keringat dingin bercucuran di pelipisnya. Apakah benar yang ia lakukan ini? Ia sungguh ceroboh meneteskan darah segarnya begitu saja ke Jurnal Hantu. Bagaimana jika ia menjadi terhubung dengan hantu yang ganas? Seharusnya ia meneteskan darah orang lain dan melihat bagaimana reaksinya. Penyesalan selalu datang terlambat.


Malam itu Pak Romi tak bisa tidur nyenyak. Ia bermimpi aneh. Ada seorang anak laki-laki yang menangis tersedu di pojok kamar tidurnya. Ia duduk menghadap tembok. Saat Pak Romi menghampirinya, anak laki-laki itu  membalikkan badannya dan menengadah. Wajahnya luar biasa elok seperti malaikat. Kulitnya putih bersih. Hidungnya mancung. Bibirnya kecil menggemaskan. Ia bertanya, "Papa?"


Pak Romi tertegun. Jantungnya berdebar kencang. Seberkas perasaan sayang yang aneh meliputi hati Pak Romi yang biasanya sedingin es. Ia sungguh terpikat dengan mata hangat berbentuk almond itu. "Iya, Nak. Aku akan menjadi ayahmu."


    Bocah cilik tersebut mengangkat kedua tangan mungilnya minta digendong. Refleks Pak Romi mengangkatnya. Bahkan, ia menyanyikan lagu Lullaby untuk menidurkannya. Sepanjang mimpi itu, Pak Romi hanya melakukan hal tersebut. Ia menikmati langkah demi langkahnya ketika menidurkan bocah tampan tersebut.


    Tiba-tiba latar kamar tidur pun berubah dalam sekejap menjadi taman cantik yang diterangi sinar rembulan. Di tengah taman terdapat gazebo dan air mancur. Ketika ia menatap kembali bocah cilik tersebut, bocah tampan tersebut berubah menjadi bocah berkulit semerah darah. Di kepalanya terdapat tanduk kecil. Ia membuka matanya yang berwarna emas dan menyeringai memperlihatkan gigi taringnya.

Pak Romi belum pernah merasa setakut ini. Ia hendak melempar bocah iblis tersebut. Tapi, bocah iblis tersebut mencengkeram bahunya sekuat mungkin. Ia ingin berteriak sekeras mungkin, tapi tak ada satu patah kata pun yang bisa ia keluarkan.


KIKIKIKIKIKIK! KIKIKIKIKIK!

Ayah, masa kau tega membuang anakmu?

Kau sudah memberikan darahmu untukku.

Tapi...

Aku masih LAAAAPAAAAR!!!

APA LAGI YANG BISA AYAH BERIKAN PADAKU?

AKU SANGAT LAPAR!


"TIDAK! TIDAK! PERGILAH KAU!" Teriak Pak Romi. Ia bangun dalam keadaan mandi keringat. Bajunya basah kuyup. Teringat akan mimpinya yang mengerikan itu, ia bergidik. Jika masih ada Bo, saudara kembarnya yang meninggal dunia, tentu Bo akan menghiburnya. Semasa kecil Bo pasti memeluknya jika ia mimpi buruk.


"A...ayah?"


Pak Romi ternganga. Bocah tampan di mimpinya menjelma di kehidupan nyata!


***

Apa yang akan dilakukan bocah iblis tampan tersebut?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun