Di pojok kebun Gedung Aoi, Ranko berdiri mematung. Manusia yang tak memiliki indera keenam akan melihat Ranko berbicara sendiri dengan ruang kosong. Awalnya, aku tak menyadarinya. Ternyata Ranko tak sendiri. Ia bersama dengan hantu perempuan yang melayang di udara. Ujung kakinya terpisah 30 cm dari tanah.
   Aku merinding melihat rambut hantu perempuan tersebut yang begitu lebat dan panjang. Memang nyali seorang indigo seperti Ranko layak dipuji. Aku saja ngeri jika harus berhadapan sendirian dengan hantu perempuan seperti itu.
  "RANKO, APA YANG KAU LAKUKAN BERSAMA HANTU PEREMPUAN ITU? MENJAUHLAH DARINYA! KAU BISA CELAKA," teriak Tama panik. Hantu kucing berbulu hitam itu begitu tegang hingga bulunya berdiri seluruhnya.
   Teriakan Tama menyadarkanku yang malah terpana. Bersama Tama, aku segera menghampiri Ranko dan hantu perempuan itu.
Ranko menoleh padaku dan Tama. Raut wajah Ranko yang sepucat kertas tampak bersalah sehingga aku menyadari ia sedang memegang sesuatu yang serupa dengan Jurnal Hantu. Refleks aku merogoh saku celana panjang untuk memastikan adanya Jurnal Hantu. Tapi, hanya ruang kosong yang menantiku. Ranko memang memegang Jurnal Hantu-ku!
"Ranko, please, ada apa denganmu? Mengapa kau hendak memberikan Jurnal Hantu-ku ke hantu perempuan?" Tanyaku.
"Jangan kau berikan Jurnal Hantu itu! Jangan termakan tipu daya hantu perempuan tak tahu diri itu," bujuk Tama.
"Berikan segera Jurnal Hantu padaku, Ranko. Kau tahu mereka tak bisa dipercaya. Kau tak ingin ada korban lain, bukan?" Tegas Irma, si hantu perempuan.
Tangan Ranko yang sudah setengah jalan gemetar hebat. Ia bingung. Siapa yang berbohong? Siapa yang harus ia percayai dalam situasi genting seperti ini?
"Ranko! Apa aku bersalah padamu? Apa salahku? Sangat berbahaya memberikan Jurnal Hantu pada hantu," ujarku.
"Ta...tapi kau pembunuh berantai. Aku akan menghentikan kejahatanmu," ucap Ranko.
"Membunuh? Aku tak pernah membunuh siapa pun," kataku heran. "Apa alasannya hingga kau berpikiran negatif padaku? Atau, kau kerasukan?"
"Jangan berdalih! Aku menemukan bukti kejahatanmu. Pisau, wig-wig dari rambut asli perempuan, dan foto-foto korban pembunuhan berantai serta foto-foto perempuan lainnya di dalam lemarimu. Suatu saat kau juga akan membunuhku," seru Ranko sembari terisak. "Sudahlah, Ray. Aku ingin menghentikan kegilaan ini. Dengan memberikan Jurnal Hantu, aku menghentikan ritual jahatmu yang mengorbankan perempuan-perempuan tak bersalah."
"Ah, Ranko sayang, kau sudah termakan hasutan hantu buruan kita. Itu hanya halusinasi yang diciptakan oleh kekuatan mistis. Manusia melihat apa yang hantu ingin perlihatkan. Aku tak pernah melihat barang-barang seperti itu dalam lemari Ray. Aku hantu kucing. Aku tak akan terpengaruh kekuatan mistis, kecuali jika kekuatan mistis itu sangat kuat. Seperti yang pernah kuberitahu, indigo sepertimu akan lebih mudah dipengaruhi," kata Tama.
"Bagaimana dengan Irma? Ray, bukankah kau mengenal Irma? Jika kalian memang sahabat, mengapa ia mendendam padamu hingga menuduhmu membunuhnya?" Tanya Ranko. Ia menunjuk Irma yang berada di hadapannya.
"Ray, kau memang membunuhku dengan keji. Padahal kita sahabat," ucap Irma. Wajah Irma yang berlumuran darah tampak begitu mengerikan.
"Irma, aku tak menyangka kau adalah hantu perempuan yang kami buru. Terakhir kita bertemu kan dua tahun yang lalu saat aku memesan topeng hitam. Setelah itu, kita tak pernah berkomunikasi lagi karena kau pindah rumah. Kau juga mengganti no handphonemu. Bagaimana mungkin aku membunuhmu?" Tanyaku. Ternyata hantu pun bisa berhalusinasi.
"Tapi kau pemilik Jurnal Hantu. Kau membunuhku 2 bulan yang lalu," tegas Irma. Rambutnya menjulur ke arah leher Ray seperti belitan akar hidup.
   Wajah Irma berkerut-kerut mengerikan. Aku hampir tak mengenalinya karena raut wajah hantu Irma sangat berbeda dengan raut wajahnya semasa hidup.
"Aku tak mengerti apa yang kau katakan. Mungkin kau keliru mengenali pembunuhmu. Siapa pun bisa salah," sahutku.
"TI...TIDAK! TAK MUNGKIN. AKU MELIHAT JELAS PEMBUNUHKU MENJATUHKAN BUKU BERJUDUL JURNAL HANTU SAAT AKU SEKARAT."
"Bisa saja ada orang yang memfitnahku. Aku memiliki musuh karena profesiku pemburu hantu."
Irma tertegun. Hal ini di luar nalarnya sebagai hantu. Tapi, ia tak ingin mempercayai kata-kata Ray.
"Irma, apakah kau akan menerima nasibmu? Kau seharusnya tenang di alam sana. Jika kau tetap mengganggu manusia, aku terpaksa memerangkapmu dalam Jurnal Hantu."
Irma melolong murka. "Beraninya kau mengancamku. Aku tak takut padamu, Ray."
"Jadi, ini pilihanmu. Sekali lagi kutegaskan. Apakah kau tetap memilih jalan sebagai hantu penasaran?"
"AKU BENCI DIRIMU. AKU SANGAT BENCI MANUSIA," jerit Irma. Tiba-tiba kuku-kuku tangannya bertambah runcing hingga setengah meter. Ia melompat dan mencakar leher Ranko. "AKU AKAN MEMBUNUH RANKO, GADIS KESAYANGANMU. BARU AKAN MEMBUNUHMU."
Tama mengibaskan buntutnya dengan tenang. "Apa yang kau tunggu, Ray? Irma bukan temanmu lagi. Ia sudah menjadi roh jahat."
"Ranko, buka Jurnal Hantu-nya," perintahku. "CEPAT!"
Dengan gugup, Ranko membuka Jurnal Hantu. Aku pun segera merapal mantera pengusir hantu.
Makhluk kegelapan kembalilah ke asalmu.
Aku membebaskanmu dari perjanjian terkutuk.
Mahkluk kegelapan terkurunglah kau di sini.
Abadilah dalam keheningan.
Irma pun terperangkap dalam Jurnal Hantu. Kedua tangannya mencakar halaman Jurnal Hantu dengan sia-sia.
   Hampir saja Jurnal Hantu jatuh ke tangan hantu. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Irma menguasai Jurnal Hantu. Pasti ia ingin memusnahkan Jurnal Hantu tersebut. Aku pun segera mengamankan Jurnal Hantu ke dalam saku celana panjangku.
     Aku tersipu malu ketika Ranko memelukku dan membisikkan kata maaf. Melihat adegan itu, Tama mendeham-deham dengan menyebalkan.
Tanpa sepengetahuan siapa pun, sang Tuyul Hitam suruhan Pak Romi, mengintip dari balik dedaunan. Ia bersembunyi di atas pohon rambutan. Bagaimana ia bisa merebut Jurnal Hantu? Sulit sekali menunggu kesempatan emas untuk mengambil Jurnal Hantu secara diam-diam. Selalu saja ada Tama, hantu kucing, yang setia mendampingi Ray.
***
Keesokan hari
     "Tama, Ranko, celaka!" Sahutku panik.
   "Ada apa?" Tanya Tama dengan nada datar. Ia sudah terlalu terbiasa dengan sifatku yang ceroboh dan serampangan. Dengan santai, ia menjilati kaki kanan depannya yang penuh dengan remahan sakana katsu, yaitu ikan lapis tepung panir.
     Aku meneguk ludah dengan susah payah. "Jurnal Hantu hilang."
   "Kok bisa? Irma kan sudah terperangkap dalam Jurnal Hantu. Mungkin kau lupa menyimpan Jurnal Hantu. Aku sering melihat kau menggeletakkan begitu saja Jurnal Hantu di ruang tamu atau dapur. Selalu aku yang memindahkannya ke tempat aman," sahut Tama.
    Aku menatap Ranko dengan pandangan menuduh. Ranko yang sensitif langsung bereaksi. Ia mengangkat kedua tangannya seolah-olah membuktikan ia tak menyembunyikan Jurnal Hantu-ku.
  "Kali ini aku tak mencuri Jurnal Hantu-mu," kata Ranko.
  Aku mengerutkan kening. Lalu, di mana Jurnal Hantu-ku? Aku menatap Tama dengan pandangan sejuta bintang permohonan. Tama malah melengos. Hantu kucing yang satu ini paling pandai mencari barang hilang.
***
  Pak Romi menatap Jurnal Hantu yang baru diserahkan oleh Tuyul Hitam. Ia membuka lembaran demi lembaran yang kosong. Ia memejamkan mata sembari merapal mantera. Tapi, tidak ada yang terjadi. Ia pun kembali merapal mantera. Tetap tidak ada yang terjadi.
"Kau yakin ini Jurnal Hantu yang asli? Bukunya kumal sekali seperti dipungut dari tong sampah," hardik Pak Romi.
"Yakin sekali, Tuan Majikan. Saya mengambilnya saat Ray meletakkannya di teras rumahnya," ujar Tuyul Hitam.
"Mengapa aku tidak merasakan aura mistis apa pun?"
"Saya kurang tahu, Tuan Majikan."
"Aneh sekali. Aku akan mempelajari Jurnal Hantu lebih lanjut. Kau boleh pergi. Lanjutkan penyelidikanmu!" Perintah Pak Romi sembari mengibaskan tangan.
***
Apakah yang akan terjadi dengan Jurnal Hantu?