Sekuriti itu membisu. Keningnya berkerut sedikit.
"Gadis dalam pertunjukan badut," jelasku.
"Oh, gadis itu pingsan. Ia berada di belakang tenda ini," seru sekuriti sembari menunjuk ke luar tenda.
Aku segera berlari ke luar tenda tanpa menghiraukan hardikan para pengunjung yang sedang menonton atraksi lucu lima ekor anjing pudel yang naik kereta di atas panggung.
Syukurlah, Ranko sudah sadar. Ia sepucat kertas. Bibirnya bergetar ketika ia mereguk segelas cokelat panas yang disodorkan seorang tenaga medis.
"Teman saya sakit apa, Bu?" Tanyaku.
Tenaga medis itu menggelengkan kepala. "Ia hanya kelelahan."
Aku mengucapkan terima kasih dan langsung memapah Ranko. Ia menurut saja ketika aku mengajaknya untuk makan ramen dahulu sebelum pulang.
"Enak sekali ya ramennya?" Komentarku menatap Ranko yang menghabiskan lima mangkuk ramen. "Mau tambah lagi?"
Di luar dugaanku, Ranko menganggukkan kepala dengan antusias. Ia merasa lapar. Sangat lapar hingga rasanya ia bisa menghabiskan sepanci besar ramen. Ia menyumpit potongan Narutomaki yang terakhir.
Aku terpana melihat Ranko menyeruput habis kuah cream kental mangkuk ramen yang kedelapan hingga tersedak. Aku menepuk-nepuk punggungnya dan memberikan segelas besar Es Frappuchino-ku. Ia langsung mereguknya habis. Matanya menatapku penuh terima kasih.
Saat menatap nota sebesar Rp 475.000,00, aku pun terperanjat. Untung, honorku sudah cair dan bisa membayar tagihan. Tapi tak mengapa honorku melayang begitu saja asalkan Ranko sehat kembali. Sekarang pipi Ranko merona merah. Matanya pun sudah berbinar.
Entah kerasukan apa Si Ranko ini. Malam ini makannya banyak sekali. Biasanya, ia hanya bisa makan semangkuk ramen. Itu pun dengan kekuatiran ia akan menjadi gemuk. Aku sudah terbiasa dengan celotehan gaya hidup sehat yang harus ia terapkan. Ia harus menjaga kelangsingan tubuhnya dan berolahraga untuk membakar lemak tubuh.
***
Sepanjang perjalanan motor yang kubawa terasa begitu berat. Aku melirik Ranko yang duduk anteng di boncengan. Apa karena Ranko makan 8 mangkuk ramen? Motorku yang butut terseok-seok menuju rumah Ranko yang terletak di atas bukit.
Di tengah perjalanan Ranko membuka helm. Aku bisa melihatnya dari kaca spion motor. Angin sepoi memainkan rambutnya yang terurai indah.
"Ran, mengapa kau buka helm-mu? Itu berbahaya," nasehatku.
"Panas."
"Bahaya."
"Jangan cerewet!" Timpal Ranko. "Masih muda saja sudah seperti kakek. Apalagi ketika kau sudah keriput dan tua bangka."
Aku membisu. Tumben. Biasanya, Ranko kesal jika aku tak membawa helm penumpang.
Malam ini terasa panjang. Suara jangkrik yang bernyanyi terdengar merdu. Ranko pun bersenandung.
"Ran, jangan nyanyi kidung seperti itu. Horor!"
Ranko mendelik marah. "Kamu ini senang mengganggu kesenangan orang. Tadi helm. Sekarang kidung. Terserah aku dong mau nyanyi lagu apa pun."
Aku nyengir. Sepertinya, Ranko menjaili diriku karena aku hampir datang terlambat. Pantulan sinar bulan purnama membuat Ranko tampak lebih cantik dari biasanya. Matanya berkilat-kilat. Senyum misterius tersinggung di bibirnya. Aku jadi merinding.
"Ada yang lucu?" Tanyaku.
"Kau merasa terganggu?"
"Penasaran saja mengapa kau mesem-mesem sendiri."
Ranko memeluk dadaku erat. Jemarinya meraba dadaku hingga aku terlonjak kegelian.
"Eh, jangan main raba-rabaan! Nanti kita jatuh berdua ke kolam ikan. Di tepi jalan ini banyak kolam ikan."
"Habis kau sangat menyebalkan," rajuk Ranko.
Aku terkekeh. Ada angin apa hingga Ranko bertingkah sangat agresif?
Ranko menyelusupkan jari tangan kirinya ke belakang helmku. Kemudian, ia menjilat belakang leherku perlahan hingga aku terkesiap. Aku melirik wajah cantik Ranko yang membara di kaca spion. Matanya berkilat-kilat.
"Kau suka, kan?" Tanyanya dengan nada penuh kepuasan. "Ingin kulanjutkan?"
Aku mendehem kikuk. "Kata Nenek, jika berdua gelap-gelapan, yang ketiga ialah setan. Please, Eve. Jangan goda imanku yang lemah ini!"
Ranko terkikik mendengar penolakan halusku. Kemudian, ia menggigit leherku keras-keras hingga aku mengaduh.
"Aduh, lepaskan! Sakit!"
Ranko bergeming. Ia tak melepaskan cengkeraman giginya hingga motor memasuki pekarangan rumah Tuan Kamizawa, ayahnya Ranko.
"Ranko, cepat lepaskan aku. Malu jika dilihat ayahmu dan Pak Rangga. Belum lagi jika ada tetangga yang melihat," seruku panik. Lampu teras rumah Ranko menyala terang. Siapa pun yang melihatku dan Ranko dalam posisi seperti ini pasti akan berprasangka buruk.
Tak mengindahkan peringatanku, Ranko menancapkan giginya lebih dalam. Aku merasa seperti ditusuk stiletto. Gelegak panas terasa di belakang leherku hingga tanpa sadar aku mencengkeram bahu Ranko. Ia menjerit marah dan akhirnya melepaskan gigitannya.
"Kau mau ke mana?" Tanyaku terkejut ketika Ranko melompat ke pohon mangga besar yang tumbuh di samping rumahnya.
Tuan Kamizawa panik melihat Ranko yang sedang memanjat cabang tertinggi pohon mangga tersebut. Rupanya, Ranko bermaksud melompat dari pohon mangga tersebut ke teras kamar tidurnya. Jika hal tersebut ia lakukan, tentu ia akan terluka sangat parah karena menghantam kaca dan berisiko jatuh dari ketinggian sekitar 5 meter.
Aku, Tuan Kamizawa, dan Pak Rangga terpukau melihat Ranko yang meliuk-liuk seperti ular. Suara desisan ular keluar dari bibirnya. Tiba-tiba banyak tetangga yang berkumpul untuk menyaksikan kejanggalan tersebut. Bahkan, ada Ustaz yang terus melafalkan ayat-ayat suci. Semua orang berpendapat Ranko kesurupan jin ular. Pak Rangga tak berhasil menghalau mereka.
Satu lompatan besar. Diiringi pekikan penonton, Ranko sudah berhasil menggapai cabang pohon mangga yang tinggi dan hampir berhasil untuk menjangkau pinggiran bawah serambi lantai atas. Ketika usahanya hampir berhasil, tiba-tiba ia jatuh dan ditangkap olehku. Kemudian, aku dan Tuan Kamizawa membawa Ranko masuk ke dalam rumah. Pak Rangga pun membubarkan kerumunan tetangga yang penasaran.
Lampu ruang tamu yang kuning temaram menambah seramnya suasana malam purnama. Perabotan rumah Tuan Kamizawa bergaya minimalis sehingga ruang tersebut terasa lengang. Tiba-tiba Ranko menerjang dan menggulung Tuan Kamizawa, persis seperti ular piton menggulung mangsanya. Kemudian, ia menggigit sisi leher Tuan Kamizawa. Dengan susah payah, aku dan Pak Rangga berhasil melepaskan Tuan Kamizawa yang pucat pasi dari Ranko. Pak Rangga tidak luput dari pukulan dan tendangan sehingga Ranko berhasil kabur ke teras depan.
Aku sangat terpesona melihat Ranko melata. Ranko benar-benar menggunakan otot perutnya dan bergerak seperti ular. Punggungnya terlihat bergelombang, naik dan turun. Ia tampak eksotik seperti putri ular. Aku memejamkan mata. Sungguh pikiran mesum. Aku malu pada diriku sendiri yang mudah terpikat godaan.
Dengan cepat, Ranko berhasil menuruni 10 anak tangga teras. Dan hal tersebut dilakukannya dengan melata. Akhirnya, keriuhan ini berhasil dipadamkan. Ranko diikat dengan tali rafia agar tidak bisa melarikan diri.
Dengan pandangan menantang, ia mendesis. "Lepaskan aku! Atau, kubunuh kau."
Aku memicingkan mata. Kuraih Jurnal Hantu di dalam saku jaketku.
Makhluk kegelapan kembalilah ke asalmu.
Aku membebaskanmu dari perjanjian terkutuk.
....
Belum sempat aku menyelesaikan mantera pengusir hantu, sang jin ular dalam diri Ranko mengetuk-ngetukkan kepala Ranko dengan keras ke lantai.
Apakah aku berhasil mengatasi si jin ular?