Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerbung

Jurnal Hantu, Bab 20 - Kutukan Anak Kucing Bagian 1

20 September 2024   09:59 Diperbarui: 20 September 2024   10:00 67 1
"Miaw!"

   "RAY! CEPAT KE SINI!" Jerit Ranko. Suaranya yang melengking sukses membuat gendang telingaku bergema.


    "Ada apa, sih? Berisik!" Seruku sembari mengacak-ngacak rambut halus Ranko yang sedang jongkok menghadap sebuah kardus terbuka di trotoar depan rumahku.


    "Ada tiga anak kucing di dalam kardus ini. Mereka cantik sekali. Tapi, induknya ke mana, ya?"


    Aku menggaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. "Siapa pemilik anak-anak kucing ini?"


    Ranko mengangkat bahunya. "Kejam sekali orang yang membuang anak kucing ini."


    "Mungkin saja ia menderita asma."


    "Atau fobia kucing."

    "Bisa jadi. Lalu, apa rencanamu dengan anabul ini? Kau akan merawat mereka semua?"


     Ranko terdiam kebingungan, "Aku suka sekali kucing. Tapi, ayahku sangat mencintai kebersihan. Ia tak suka bulu kucing yang rontok. Ia juga kuatir kucing akan merusak koleksi tanaman bonsai kesayangannya."


      "Jadi, kau akan menawarkan open donation?"


    "Ya, idemu sangat cemerlang. Tapi untuk sementara anak kucing ini tinggal denganmu, ya?" Pinta Ranko dengan pandangan memelas.


  "Aku tak pandai merawat anak kucing," elakku. Sebenarnya, aku malas merawat anak kucing. Tapi, aku tak berterus terang pada Ranko yang antusias.


       Ranko meraih kedua tanganku. "Ray, ini sudah takdir. Kau memiliki Tama, si hantu kucing. Apa salahnya kau juga merawat ketiga anak kucing yang imut ini. Tama pasti menyukai mereka."

   

      "Ranko, aku tak yakin Tama setuju. Tama itu hantu kucing, bukan makhluk hidup."


     Ranko mendesah. "Sementara saja hingga aku menemukan babu baru untuk mereka."


         "Babu?"

    "Itu istilah untuk pemilik kucing yang sangat mencintai kucing. Sekarang kau jadi babu sementara," seru Ranko dengan riang. Ia kembali membelai ketiga anak kucing itu. "Ray, warna mata mereka cantik sekali. Aku akan memberi nama mereka. Diana, anak kucing yang berbulu putih, kuning, dan hitam, warna matanya biru langit. Mischa, anak kucing belang putih dan kuning, bermata biru gelap. Sedangkan, Lady yang bulunya seputih susu, bermata biru kehijauan. Aku belum pernah melihat kucing Indonesia matanya biru seperti mereka."


     Aku menatap ketiga pasang mata indah tersebut dengan cermat. "Mungkin kucing campuran Angora atau Siam?"


        "Tapi, badannya kecil sekali. Biasanya, kucing Angora atau Siam badannya bongsor."


     "Sepertinya, umurnya baru sebulan," sahutku. Kemudian, aku dan Ranko meletakkan kardus berisi ketiga anak kucing tersebut di teras belakang rumahku.


    Ranko tertawa melihat tingkah mereka yang lincah sekali. Mereka sangat aktif memanjat pintu kayu seperti tentara dan berebutan ingin masuk ke dalam ruangan.


***

       "Ray, mengapa kau memelihara ketiga anak kucing itu? Kau tak puas denganku?" Tanya Tama.


     Aku menahan senyum. Tama jealous seperti yang kuperkirakan.


     "Ranko memintaku untuk merawat mereka sementara hingga ia menemukan majikan baru untuk mereka."


     Tama menggerutu, "Ranko ini bagaimana? Ia indigo, tapi tidak melihat keganjilan mereka."


     "Keganjilan apa? Mereka cukup manis," kataku heran.

     "Kau cari tahulah sendiri. Kau kan menganggap mereka manis," seru Tama sembari mendengus. "Setelah kau mengetahuinya, segera kau singkirkan mereka. Lebih cepat lebih baik."


     "Tapi bagaimana dengan permintaan Ranko?"


     "Tak perlu kau pedulikan. Ranko sering tertarik dengan hal-hal yang misterius yang cenderung berbahaya."

 

    Saat berada di teras, punggungku terasa berlubang. Ternyata ketiga anak kucing itu sedang menatapku dengan mata sedih dan aneh, seakan mereka mengetahui permintaan Tama.


      Dua hari setelah kedatangan anak kucing tersebut, tiba-tiba aku sakit typhus. Sekujur tubuhku terasa lemah hingga tak sanggup untuk berdiri.


     "Ray, kau pucat sekali. Sudah minum obat?" Tanya Ranko sembari duduk di kursi dekat ranjang.


       Aku menggelengkan kepala dengan lemah.


      "Obatnya habis?"


      "Ada, tapi aku belum makan."


      "Aku bawakan kau bubur ayam dan sate usus untuk Tama."


   Setiap hari sepulang sekolah Ranko datang untuk menjengukku dan mengurus ketiga anak kucing tersebut. Ia sangat menyayangi mereka.  Ia memberi susu, menyuapi potongan ayam, mencuci alas kain, dan membuang kotoran mereka.


 
***

   Selama sebulan keadaanku tak membaik walaupun sudah berobat ke dokter secara rutin. Dokter menyatakan aku tak perlu dirawat di rumah sakit karena aku masih bisa makan dan minum secara normal. Walaupun demikian, tubuhku terasa lunglai tak bertulang. Aku bisa makan, namun tak banyak.


     "Sudah kukatakan, singkirkan ketiga anak kucing itu. Kau tak mempercayaiku," gerutu Tama.


      Aku tersenyum lemah mendengar omelan Tama. Aku tahu ia menyayangiku dengan caranya sendiri.


      Tanpa sepengetahuanku dan Tama, ada sepasang mata hijau yang memperhatikan. Kali ini makhluk mistis itu bersembunyi di dalam lemari pakaian. Tak ada yang bisa mendeteksi keberadaan dirinya. Kedua telinganya tegak mendengarkan komentar Tama. Makhluk itu pun memutuskan untuk melakukan sesuatu.


***


        Keesokan harinya, Diana, si anak kucing putih, jatuh berguling dari atas tangga. Tak ada yang melihat Diana naik ke lantai dua. Kakinya patah. Setiap hari Ranko mengoleskan salep anti memar. Berangsur-angsur keadaannya pulih, tapi kedua kaki belakangnya menjadi bengkok. Ia bisa berjalan dengan agak berjingkat.

         Seminggu kemudian, Lady jatuh sakit. Dia diare terus-menerus. Ranko memberinya larutan antibiotik. Diarenya berhenti. Tapi, alangkah terkejutnya aku dan Ranko! Lady lumpuh. Ia berjalan merangkak dengan kedua kaki depannya. Yang lebih aneh lagi, tulang dadanya melengkung ke depan. Semakin hari, ia semakin kurus, tapi tetap rakus makan.


     "Ray, aku sudah memperingatkan dirimu terus-menerus. Ada yang ganjil pada anak-anak kucing itu. Sejak mereka datang, kau sakit-sakitan," ujar Tama.


   Aku menutup telingaku dan membalikkan tubuh sehingga wajahku menghadap dinding kamar. Tapi, Tama malah melompat ke depan wajahku.


  "Jika kau segan pada Ranko, aku akan terus terang menyatakan keberatanku akan keberadaan ketiga anak kucing tersebut di sini."


      "Jangan! Aku iba pada ketiga anak kucing itu. Ranko berjanji akan mencarikan majikan baru untuk mereka."


        Tama mendengus kesal. Ia tak habis mengerti dengan kekeraskepalaan dan kecerobohan Ray. Apakah Ray terhipnotis oleh ketiga anak kucing itu? Tama memutuskan untuk menjaga Ray lebih ketat.


***

        Suatu malam, aku terlelap setelah minum obat typhus. Sedangkan, Tama berbaring di sampingku. Ia melompat turun dari ranjangku ketika melihat sekelebat bayangan melintasi pintu kamarku yang kurang rapat tertutup.


   Tama menatap sang tamu tak diundang dengan seksama. Sang tamu tersebut merupakan anak laki-laki berusia sekitar 12 tahun. Ia memakai mahkota batu dan anting batu yang terjurai sampai ke pinggang. Bajunya dari kain tenun warna-warni. Ia sangat terkejut saat melihat Tama dan langsung menghilang. Tama berpikir keras, apakah anak laki-laki tadi roh penasaran? Atau ada kaitannya dengan ketiga anak kucing tersebut?



     Hari berganti hari dengan cepat. Tak terasa sudah dua bulan aku sakit typhus. Aku sering merasa pening dan tak nafsu makan. Lady dan Diana pun semakin kurus seperti kerangka.  Hanya Mischa yang tubuhnya tetap normal dan lincah.



***

MIAW. MIAAAAW.


        Menjelang subuh Tama mendengar jeritan anak kucing dan bunyi cakaran di teras. Tapi, ia mengabaikannya.


          "Ray, kau pasti tak percaya. Mischa lumpuh! Tulang belakangnya bengkok seperti dipuntir. Siapa yang tega melakukannya?" Tanya Ranko. Ia baru saja pulang sekolah dan masih memakai seragam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun