Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerbung

Jurnal Hantu, Bab 14 - Kunti Putih Bagian 2

18 September 2024   06:45 Diperbarui: 18 September 2024   06:53 18 2

“Ranko, ini benar rumah nenekmu?” Tanyaku penuh sangsi. Rumah Nenek Dian, neneknya Ranko, sangat mengerikan. Rumah bergaya Belanda itu memang cantik di masanya, tapi sekarang yang tersisa keusangan belaka berwarna putih kusam.


Ranko mengangguk penuh semangat. Ia menarik tali bel yang berada di teras depan rumah tanpa ragu. Dentang bel langsung bergema ke seluruh penjuru ruangan hingga aku dan Tama menutup telinga kami. Ranko memang tak sabaran.


“Sopan sedikit, Ranko. Mentang-mentang ini rumah nenekmu. Bagaimana jika nenekmu terkena serangan jantung?” Tegurku. Tama yang biasanya kontra denganku pun mengangguk setuju dengan perkataanku.


Ranko malah meleletkan lidah. Ia tampak menggemaskan hingga aku ingin mengecup puncak hidungnya yang mancung itu. Eh? Tunggu. Ranko kan sahabatku. Tak sepatutnya aku menggoda gadis imut ini. Untuk mengusir pikiran mesum yang membuatku jengah, aku mengalihkan perhatian ke bel yang didentangkan oleh Ranko. Bel kuningan tersebut tampak sangat kuno dan ukurannya cukup besar. Di sekeliling bel penuh ukiran geometris bunga. Aku jadi merinding jika teringat adegan Ibu membunyikan bel kecil di tempat tidurnya dalam film Pengabdi Setan. Uh, seramnya!


Akibat kegaduhan yang ditimbulkan Ranko-chan, neneknya pun keluar dengan segera. Sang nenek jauh berbeda dengan yang kubayangkan. Ia berwajah oval khas Priangan. Rambutnya yang putih disanggul rapi. Wajahnya tampak halus untuk usianya yang telah menginjak 90 tahun.


“Ranko, cucu manja ini. Tak perlu kau dentangkan keras bel itu. Nenek hampir menjatuhkan piring akibat terlampau terkejut,” omel Nenek Dian. “Kau lupa, ya? Sekarang nenek sudah menggunakan alat bantu pendengaran yang dibelikan ayahmu. Bukannya, kau sendiri yang memilihkan alat bantu pendengaran yang berwarna merah muda? Agar nenek berjiwa pop seperti siapa itu? Yang seperti boneka? Ba…Barbu.”


“Barbie, Nek. Maafkan Ranko,” kata Ranko dengan ekspresi innocent. Ia hendak memeluk Nenek Dian dengan penuh kasih sayang. Tapi, ia ditolak mentah-mentah karena penuh lumpur.


“Ini teman yang kau katakan akan menginap di sini?” Tanya Nenek Dian penuh selidik. Ia memandangku dengan teliti seolah aku ini virus obyek penelitian. Ia menggumam, “Cukup tampan, tapi agak kumal.” Gumamannya terdengar di telingaku hingga aku jengah. Benarkah aku sekumal itu? Aku memandang pakaianku yang penuh lumpur dan sepatu sneaker-ku yang tua. Ugh, memang kumal.


“Anak-anak, kalian harus mandi dulu di kamar mandi belakang sebelum masuk rumah. Mengapa bisa terjatuh di lumpur seperti itu?” Tanya Nenek Dian.


Ranko bersungut-sungut, “Itu gara-gara Ray, Nek. Ia menarikku ke kubangan lumpur. Ia tak terima hanya dirinya yang jatuh. Harga dirinya terluka.”


Nenek Dian menaikkan alis kanannya seolah-olah mempertanyakan mengapa seorang pemuda bisa terjatuh masuk ke dalam kubangan lumpur. Sedangkan, cucu perempuannya lebih sigap.


Aku mendehem dengan gugup. “Tadi ada bebek aneh mengejarku, Nek.”


“Bebek aneh bagaimana? Kau takut dengan seekor bebek?”


“Bebek Kunti, Nek. Tadi kuntinya berkata bahwa ia suka dengan Ray karena Ray menyatakan ia bebek yang manis,” seru Ranko tanpa mempedulikan isyaratku untuk diam.


Nenek Dian terpingkal.


***

Nenek Dian mengajak Ranko dan aku hingga kami kedinginan di halaman belakang rumahnya. Mana seram sekali suasananya. Tidak hanya ada pohon jati besar, tapi sumur tua.


“Tidak ada Sadako-san kan di sumur tua itu?” Bisikku pada Ranko yang langsung dibalas dengan tamparan di tangan.


“Hush, jangan berkata seperti itu. Tentu ada,” kata Ranko sembari menyeringai. “Apalagi jika ada pemuda sepertimu yang telah diakui ketampanannya oleh bebek kunti.”


Aku terdiam. Memang tidak mudah memiliki sahabat indigo seperti Ranko. Harus tahan mental.


“Nak Ray dan Ranko bisa menggunakan kamar mandi itu yang dekat sumur. Ada pancuran bambu di dalamnya dan saluran pembuangannya besar. Kalian kan penuh lumpur. Jika sudah bersih, ada kamar mandi tamu di dalam rumah,” pinta Nenek Dian.


“Tidak mau. Takut ah. Aku mau menggunakan kamar mandi Nenek saja,” seru Ranko yang langsung melarikan diri dan masuk ke dalam rumah begitu saja. Dasar gadis tak setia kawan.


Nenek Dian menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak biasanya Ranko seceria ini. Mungkin karena ada Ray?


“Nak, kau takut tidak mandi di kamar mandi itu?” Tanya Nenek Dian.


“Ti…tidak, Nek. Masa aku tidak berani,” sahutku dengan tawa yang kurang meyakinkan. Pandangan mata Nenek yang tajam seperti menusuk punggungku.


     Aku membesarkan hati ketika masuk ke dalam ruangan kamar mandi belakang yang remang-remang. Harus kuakui kamar mandinya cantik dan antik dengan pancuran bambu. Langit-langit dan sebagian dinding kamar mandinya penuh ukiran kayu jati bermotif hewan-hewan liar di hutan. Aku terpesona pada ukiran salamander di atas  kelopak bunga matahari raksasa. Ada ukiran monyet-monyet bergantungan di pohon pisang pada pilar. Tapi, mengapa suasananya harus sekelam ini seakan-akan hantu dapat melompat kapan pun juga? Aku merindukan lampu kamar mandiku yang terang benderang.  


“Tam, Tama, kucing manis… Kau berada di sini, kan? Temani aku mandi, ya?” Bisikku


Senyap. Hanya bunyi jangkrik yang terdengar di halaman rumah.


Aku mengeluh dalam hati. Hari ini malang benar nasibku. Semoga saja tak ada hal mistis yang terjadi.


BYUR. BYUR.

BYUR. BYUR.


Aku berjengit. Belum juga aku mandi, mengapa ada bunyi cidukan gayung? Sudah jelas di dalam kamar mandi tidak ada gayung selain gayung yang kupegang ini.


Halusinasi. Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa ini hanya halusinasi. Aku meredakan debaran jantungku. Sudah cukup banyak pengalaman bersama hantu, tapi aku masih saja merasa cemas.


       Air dari mata air yang dialirkan ke pancuran bambu terasa dingin sekali, tapi segar. Bunyi cidukan gayung di pojok ruangan masih terdengar, tapi agak teredam oleh bunyi percikan air dari pancuran. Aku memejamkan mata ketika berdiri di bawah pancuran. Alangkah terkejutnya aku ketika membuka mata,  rambut yang panjang menyelubungi wajahku. Rambut itu bergerak cepat seperti gelombang tsunami dan menyelubungi diriku. Napasku serasa tercekik berada dalam kepompong hitam. Perlahan kesadaranku menurun.


     “Laksmi, Laksmi. Jangan kau lakukan itu! Apa yang kau perbuat hingga ia tak sadarkan diri,” sahut seorang perempuan sayup-sayup.


      “Aku tak melakukan apa-apa,” ujar suara perempuan yang lain. “Ia saja yang lemah.”


   Suara-suara itu tak terdengar lagi. Aku meraba leherku yang masih sakit. Di manakah aku berada? Jejeran pohon jati berdiri rapi seperti barisan tentara hitam.


    Aku memfokuskan pandangan. Ada pendaran cahaya putih yang seindah kristal di ujung jalan setapak itu. Apakah itu? Aku tak kuasa mencegah rasa penasaranku.


     Selangkah demi selangkah aku menghampiri obyek yang membuatku terpukau. Gadis yang berselubung cahaya putih itu sedang duduk di atas sebatang pohon jati yang tumbang. Ia hanya memakai kemben hijau lumut dan kain lurik. Wajahnya menunduk, tapi aku bisa menatap keelokan parasnya yang tak asing. Ia sungguh tak nyata dan aku mengetahuinya. Tapi, aku tak sanggup mengelak dari pesonanya.


   Gadis itu menengadah dan membuka mulutnya. Rongga mulutnya semakin lama semakin membesar. Ia menelanku!


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun