Dengan ekspresi bersalah, aku berusaha membela diri. "Maafkan aku, Ranko. Aku tak mendengar nada getar notifikasi pesan WhatsApp."
"Kau juga tak menjawab teleponku. Aku berkali-kali meneleponmu," omel Ranko. "Ada 10 kali aku miss call. Kau juga mensenyapkan notifikasi telepon? Untuk apa ada handphone, jika tak digunakan?"
Aku mengangguk pasrah. "Setelah melihat GPS, aku naik angkutan umum dan tak mengecek handphone lagi."
Sebagai gadis keturunan Jepang, Ranko sangat tidak menyukai sifatku yang pelupa, sering terlambat, dan ceroboh. Ia tak mempersalahkan gender. Tapi, ia tak bisa mengerti mengapa aku yang penampilannya serampangan dan tak berdandan cantik seperti dirinya, tetap datang terlambat. Ini masalahnya ialah etos. Ranko bertekad untuk mengubah aku menjadi lebih disiplin. Tapi, hal tersebut sulit jika aku tak mau berubah.
"Ray memang sering terlambat. Ia Mr Ngaret. Jika tidak ada aku, ia pasti kelabakan," kata Tama sembari menguap lebar. Ia meniup cakarnya yang imut dengan gaya angkuh. "Aku tadi bertaruh 3 ikan salmon dengan Ranko bahwa kau pasti datang terlambat. Ranko bersikeras kau telah berangkat. Tapi, tetap saja kau datang terlambat." Tama menyeringai dan mengeong senang. "Tapi berkat keterlambatanmu, aku menang. Makanya, Ranko uring-uringan."
"Ranko, aku benar-benar minta maaf. Tadi aku sempat tersesat," sahutku sembari mengatur nafas. "Ini akibat GPS. Entah mengapa GPS itu mengarahkanku mengambil tikungan yang berbeda hingga aku tersesat ke lembah."
"Ya, sudah. Mari kita bergegas sebelum langit menjadi benar-benar gelap. Kita semua sangat lelah," ujar Ranko. Ia membungkuk dan mengencangkan tali sepatu sneakernya.
Aku merapatkan jaket denimku akibat udara sore yang cukup dingin. Tersaruk-saruk mengikuti Ranko di jalan setapak yang sempit tersebut. Di kedua sisi jalan, hamparan sawah dengan bulir padi yang mulai menguning, membentang luas.
Sinar matahari mulai meredup. Dalam sekejap suasana berubah gelap sehingga Ranko menyalakan senter yang sudah ia persiapkan sebelumnya. Angin sepoi yang bertiup, membelai halus pipi Ranko bagaikan jemari-jemari yang tak kasat mata.
Daun-daun tanaman padi yang tumbuh hampir setinggi dadaku, menari-nari sesuai irama alam. Belum lagi orkestra jangkrik membuat suasana makin asing bagiku, si anak kota. Tapi, tampaknya Ranko anak alam. Ia tak takut dengan selimut kegelapan.
Tiba-tiba ada suatu makhluk yang berbulu lembut menabrak kakiku sehingga aku menghentikan langkah kakiku dan berteriak, "Aduh, makhluk apa yang menabrak kakiku? Kaukah itu, Tama? Jangan usil!"
"Fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Untuk apa aku dekat kakimu yang bau itu? Pasti kaus kakimu belum dicuci seminggu," sindir Tama. Mulut hantu kucing yang satu ini sepedas BonCabe level 30.
Mendengar teriakanku, otomatis Ranko membalikkan tubuh dan menyorotkan senter ke arah kakiku. Tampak oleh mereka berdua, seekor bebek putih dengan paruh yang menyeringai.
"Imut sekali bebek ini. Ia seperti tersenyum pada kita berdua. Tubuhnya begitu montok. Apa ini bebek peliharaan yang lepas dan menyambut kita?" Tanyaku dengan lugu. "Hai, bebek manis. Mengapa kau terlepas dari kawananmu?"
Aku menatap bebek yang sekarang mendongak padaku sembari berceloteh riang. Ia seolah-olah menjawab pertanyaanku. Bunyinya HOSH HOSH. Kemudian, aku menatap senter yang dipegang Ranko bergetar. "Ranko, mengapa wajahmu pucat pasi?"
"CEPAT LARI. BEBEK ITU BUKAN SEMBARANG BEBEK. BEBEK SAKTI ITU PENJELMAAN KUNTI," jerit Ranko sembari lari dan berbelok ke kanan di persimpangan. "Ia menjawab kau juga MANIS dan ia SUKA padamu. KAU DICINTAI KUNTI."
Tama terbahak-bahak. Ia berbisik pada dirinya sendiri, "Ray tidak pernah gagal membuatku terpingkal. Ia sungguh majikan yang sesuai untukku yang sering jenuh menjalani kehidupan, eh salah, kematian sebagai hantu kucing."
"HEY, TUNGGU," balasku kebingungan. Aku turut mengambil langkah seribu. Tapi, bebek itu tetap bersemangat mengejarku dengan kedua kakinya yang pendek. Kemudian, ia terbang dengan lincah bagaikan pesawat jet Sukhoi.
Bebek manis itu memburuku dengan penuh semangat. Mungkin inilah yang dinamakan cinta pada pandangan pertama. Semakin lama jarak antara bebek jadi-jadian tersebut denganku semakin dekat hingga tinggal 1 meter. Kemudian, jaraknya berkurang hingga setengah meter. Aku menoleh dengan cemas pada bebek centil yang terus memburu hingga aku kurang memperhatikan jalan di depanku. Akhirnya, aku tergelincir dan sukses jatuh ke sawah yang penuh lumpur.
"HUEE, SAKIT SEKALI LUTUTKU. HARI INI AKU SIAL SEKALI," keluhku. Sekejap aku merasa pandangan matanya berkunang-kunang. "Sudah tersesat, dikejar bebek aneh lagi."
Kunti penjelmaan bebek tersebut terbang santai berputar-putar di atas kepalaku seolah merayakan kemenangannya. Kemudian, ia terbang menjauh ke sebrang sawah yang merupakan hutan dan lenyap. Secepat datangnya secepat itu pula ia pergi.
"DASAR BEBEK LAKNAT. KOTOR SEMUA BAJUKU," geramku. Amarah membuatku jatuh tergelincir kembali ketika berusaha keluar dari sawah. "Ranko. Tama. Sudah. Jangan tertawa terus. Bantu aku keluar dari kubangan lumpur ini. Kuperingatkan kalian. Jangan tertawa di atas penderitaanku!"
Ranko membantuku berdiri sembari terkekeh. "Aku tak habis pikir. Ternyata tipe ideal kunti ialah pemuda sepertimu. Memang kunti di desa nenekku senang mengganggu orang yang bukan penduduk setempat. Tapi, baru kau temanku yang dikejar oleh bebek itu. Si Rio, Dani, dan teman-teman lain yang pernah berlibur ke rumah nenekku, tidak ada yang dikejar oleh bebek itu. Memang ketampananmu menggugah sanubari terdalam perempuan, termasuk kunti bebek. HAHAHA."
"Sekali lagi kau membahas masalah ini, aku ceburkan juga kau ke sawah," ancamku dengan wajah tertekuk. Tapi, Ranko malah terpingkal. Ia baru kehilangan tawanya ketika aku menarik tangannya hingga Ranko juga jatuh berdebam ke dalam kubangan lumpur.
"TAMA, RAY JAHAT. MASA AKU DITARIK HINGGA JATUH KE LUMPUR?" ujar Ranko mengadu pada hantu kucing kesayangannya. Mana yang akan Tama bela, Ray si majikan atau Ranko si teman kesayangan?
Tama, si hantu kucing cerdik, mengambil jalan diplomatis. "Ayo, anak-anak, segera bangkit. Kalian memang masih sangat muda. Tapi, terlampau muda untuk bermain lumpur. Ingatlah segala virus, bakteri, jamur yang ada di dalam lumpur."
Seperti yang diduga Tama, tak ada seorang pun yang mengindahkan peringatannya. Aku dan Ranko asyik perang lumpur. Wajah kami berdua penuh coreng moreng lumpur ala pasukan Vietnam di hutan gerilya.
Kami tidak mengetahui ada sepasang mata yang sebulat bola tenis mengintai dari balik dedaunan. Siapakah ia?
----
*Kisah ini dibuat berdasarkan kisah nyata teman adikku yang sedang berlibur ke suatu desa di daerah Kuningan, Jawa Barat. Ciri khas bebek yang merupakan penjelmaan kunti ialah pandai terbang dan hinggap ke cabang pohon yang tinggi. Kadang-kadang bebeknya juga bisa menyeringai seolah tersenyum.
Jika ada bebek yang sedang tersenyum pada dirimu, berhati-hatilah. Mungkin bebek itu penjelmaan Miss Kunti yang tertarik menggoda dirimu!!!