Mohon tunggu...
KOMENTAR
Horor Pilihan

Ilmu Seribu Gunung

26 Mei 2024   10:55 Diperbarui: 26 Mei 2024   11:11 192 6
Ah, lagi-lagi Kak Danang melakukan ritual pemujaan sesat. Tia tak habis mengerti mengapa kakak iparnya, Danang, bisa tergiur oleh rayuan iblis. Ia sudah memiliki segalanya dalam hidup, yaitu karir cerah sebagai insinyur, istri dan anak perempuan yang cantik, rumah yang terletak di pusat Kota Bandung, dan sebuah mobil sedan BMW. Tapi, manusia memang tak pernah puas.


Mata Tia sangat perih terkena asap kemenyan yang mengepul di seluruh penjuru rumah Lana, kakak perempuan Tia. Asap kemenyan yang dibakar setiap malam Jumat Kliwon tersebut tidak hanya menyesakkan napas Tia, tapi juga meresahkan hatinya. Tia kuatir suatu saat sang iblis akan meminta tumbal.


Biasanya saat Danang melakukan ritual pemujaan seribu gunung, Tia akan mengunci diri di dalam kamar tidurnya dan baru keluar keesokan hari. Tapi, malam ini berbeda karena rasa penasaran Tia sudah mencapai puncak. Tia berjingkat dan mengintip dari horden yang membatasi ruang tamu dan ruang keluarga. Ruang keluarga telah disulap menjadi altar pemujaan. Tampak Danang berpakaian serba putih. Danang yang sedang duduk menghadap altar, sibuk merapal mantera sembari membakar kemenyan. Meja yang terletak di pojok ruang keluarga, dipenuhi oleh berbagai sesajen persembahan. Terdapat tiga tampah yang berisi 3 tumpeng kecil dengan topping tujuh jenis lauk pauk seperti ayam bakakak, tempe kering, telur dadar, mie goreng, dll. Tak ketinggalan telur rebus ditusukkan di puncak tumpeng. Rupanya, iblis pun senang berpesta pora. Di tepi meja diletakkan dupa dan mangkuk berisi air dan tujuh jenis bunga. Air dalam mangkuk tersebut juga dibubuhi minyak wangi yang berbau sangat menyengat. Danang pernah memarahi Tia yang memecahkan botol minyak wangi kesayangannya. Minyak wangi tersebut ialah minyak jin yang berusia ratusan tahun.


Sebelum melakukan ritual ini, Danang harus berpuasa seharian dan mandi dengan air bercampur 7 jenis bunga. Ketika berbuka puasa pun, ia hanya minum segelas air putih.


Tia terkejut karena tiba-tiba muncul dua bayangan hitam dari langit-langit ruang keluarga. Bayangan tersebut seperti siluet tubuh manusia. Yang satu bertubuh tinggi kurus, sedangkan yang lainnya bertubuh pendek gemuk. Kedua bayangan tersebut melayang di udara dan bergerak mendekati Tia. Jarak di antara mereka semakin berkurang setiap detiknya hingga Tia menjerit dan terjerembab ketakutan.


Danang kesal karena konsentrasinya terganggu sehingga ia mencari sumber keributan. Lagi-lagi Tia sumber masalahnya. Danang memang sangat mencintai Lana, tapi ia membenci Tia diam-diam. Lana terlalu memperhatikan Tia yang masih berumur 13 tahun, sedangkan Danang yang egois menuntut Lana hanya mencintai dan memperhatikan diri Danang seorang.


"Tia, jangan mengendap-endap seperti seorang pencuri. Kamu memang berbakat sebagai kepala gerombolan pencuri. Aku sudah menghitung weton dan memprediksi nasibmu," hardik Danang.


"Maafkan aku, Kak. Aku tidak bermaksud mengganggu Kakak. Aku hanya kuatir Kakak sekeluarga akan celaka jika terus melakukan ritual pesugihan. Apakah Kak Lana setuju dengan pemujaan ini?" Tanya Tia kuatir.


"Ah, anak kecil tahu apa. Yang penting keluargaku kaya dan terjamin. Kita sudahi saja pembicaraan ini. Tolong kau siapkan makan malam karena sebentar lagi Lana dan Ivonne pulang."


Tia mengangguk. Ia segera kabur ke dapur sebelum Danang hilang kesabaran.


***

Dua puluh tahun kemudian


GROOOOK...GROOOK.


Lana menangis ketakutan. Ia hanya seorang diri di rumah bersama suaminya yang sedang sekarat. Sedangkan Ivonne, anak perempuan semata wayangnya, sedang pertukaran pelajar ke Singapura sejak sebulan lalu.


Danang sakit jantung kronis. Sayangnya, keadaan Danang sudah parah sehingga rumah sakit menolaknya. Dokter pun sudah memvonis bahwa umur Danang tinggal hitungan hari.


Selama seminggu bunyi napas Danang seperti suara babi yang disembelih. Bunyi napas Danang tersebut sangat keras mengguruh hingga ke seluruh penjuru rumah. Hati kecil Lana tidak bisa berbohong. Danang sudah melakukan persekutuan dengan iblis sehingga sakratul mautnya pun sangat mencekam.


Lana sudah tak tahan lagi. Ia menelepon Moni, adik perempuan Danang, agar menemaninya malam ini. Ternyata insting Lana tak salah. Tak berapa lama setelah kedatangan Moni, Danang menghembuskan napas terakhirnya.


Keesokan paginya saat pemakaman Danang, alam pun tak bersahabat. Langit begitu gelap dengan gulungan kumulonimbus abu-abu. Danang orang yang baik hati di mata keluarga besar Danang, tapi pemakamannya penuh keganjilan hingga menjadi gunjingan. Ada saja yang menghalangi jalannya pemakaman. Misalnya, kain kafan untuk menyelubungi jenazah Danang tiba-tiba hilang sehingga Lana harus membelinya lagi, lubang makam terlalu pendek sehingga harus diperpanjang galiannya, mobil jenazah mogok, dll. Tapi, puncaknya ialah hujan deras saat pemakaman berlangsung sehingga lubang makam dipenuhi air. Terpaksa berember-ember air tersebut dipindahkan.


Tia menatap nanar pemakaman Danang dengan perasaan bercampur aduk. Rasa sayang bercampur benci. Sayang karena Danang itu suami Lana yang merupakan kakak yang paling Tia sayangi. Benci karena Danang sering mengutuk dan mengecam Tia. Bak kutukan, hal yang dikatakan Danang mengenai Tia akan menjadi kepala pencuri menjadi kenyataan. Padahal Tia tidak mencuri sejengkal tanah pun. Itu semua ulah anak buah Tia yang berkhianat. Tapi, tetap saja sebagai penanggung jawab proyek real estate, Tia harus bertanggung jawab dan menjadi saksi di pengadilan. Untungnya, Tia tak terbukti melakukan kejahatan. Walaupun demikian, harta Tia terkuras banyak oleh atasannya yang menuntut ganti rugi. Tia menerima ketidakadilan tersebut dengan lapang dada karena Tuhan pasti memberikan jalan yang terbaik untuknya.


Untuk Lana, sang kakak tersayang, Tia sanggup menahan perasaannya. Ia mengubur segala dendam dan rahasia. Biarlah Lana mengenang suaminya sebagai pendamping hidup yang baik hati dan penyayang.


***

Dua puluh tahun kemudian setelah meninggalnya Danang, Tia merasa ironis. Seperti dj vu, Tia menatap Ivonne, keponakannya yang sakit kanker hati stadium akhir. Sudah tidak ada harapan. Banyak selang dan alat bantu yang menyokong hidup Ivonne. Dokter membiarkan Ivonne untuk menyantap apa pun yang ia inginkan, termasuk es krim.


Ah, kemoterapi tak berhasil. Tak pernah Tia melihat Ivonne selemah ini. Mata yang suram dan melotot kesakitan. Tubuh Ivonne yang awalnya gemuk menjadi kurus. Tapi, senyum manis itu masih tertera di bibir yang melekuk halus. Keponakannya yang cantik berubah drastis dalam tempo setahun. Situasi yang menyayat hati tersebut membuat Tia menangis dan memeluk Ivonne.


"Tante Tia, terima kasih banyak telah datang. Ivonne minta maaf untuk segalanya."


"Tak perlu minta maaf, Von. Kau tak salah apa pun."


Pertemuan yang menyayat hati tersebut diurai oleh kedatangan Lana yang seperti badai. Dengan emosional, Lana menyeret Tia ke luar kamar Ivonne. Lana menceritakan segala riwayat penyakit Ivonne. Lana sangat takut karena sepertinya situasi kematian Ivonne menyerupai Danang. Kematian yang sulit dan mencekam. Padahal Ivonne tak pernah jahat pada orang, tapi harus mengalami nasib seperti ini. Walaupun materi berlimpah, kehidupan pernikahan Ivonne kurang harmonis sehingga Ivonne yang rapuh kurang bertekad sembuh dari penyakitnya. Umur Ivonne tak lama lagi dan akan meninggalkan tiga remaja pria yang masih memerlukan kasih sayang dan bimbingannya..


***

"Tia, malam ini giliranku menemani Ivonne. Kau beristirahat dan menginap saja di suite room Hotel Convention yang berada dekat rumah sakit ini. Kau tinggal berjalan kaki sekitar 200 meter. Suami Lana sudah membookingnya untuk seminggu ke depan," saran Lana sembari memberikan kunci kamarnya.


Tia menerima kunci kamar tersebut dengan perasaan lega. Ia sangat ingin beristirahat setelah setengah hari menempuh perjalanan dengan kereta api dari Kota Bogor ke Kota Tangerang.


Dengan perasaan ganjil, Tia melangkahkan kakinya menyusuri Jalan Cempaka. Ia merasa ada seseorang yang membuntutinya. Ia menoleh dan melihat seorang kakek menatapnya dengan tajam. Dugaannya benar bahwa kakek tua itu bermaksud jahat. Ia mempercepat langkahnya, tapi kakek itu juga mempercepat langkahnya. Jantung Tia berdegup kencang. Walaupun usia Tia sudah menginjak setengah baya, ia masih sanggup berlari kencang. Ia baru bernapas lega ketika ia masuk ke dalam lobby hotel dan kakek aneh tersebut menghilang begitu saja. Bahkan, Tia kehilangan payungnya saat berlari akibat terlampau panik.


Tia masuk ke dalam lift yang ditunjukkan oleh resepsionis hotel dan menekan tombol lima. Walaupun Tia bukan penderita Claustrophobia, ia selalu merasa tak nyaman berada dalam lift. Terlalu banyak film horror yang memberikan kesan negatif pada lift. Tiba-tiba kedua kaki Tia gemetar begitu kencang seolah digoyangkan sesuatu. Untungnya, lift sudah sampai ke lantai lima dan Tia segera keluar dari lift yang menyeramkan tersebut.



Setelah membersihkan diri, Tia membaringkan diri sembari menonton film sinetron. Betapa terkejutnya Tia, ada dua siluet bayangan hitam yang melayang-layang di depan layar TV.  Bayangan hitam tersebut persis yang Tia lihat ketika ia mengintip ritual pemujaan yang dilakukan Danang pada masa lampau. Apakah penyakit Ivonne juga dibayang-bayangi oleh dosa masa lampau Danang?


Tia menutup mata dan berdoa dalam hati. Ia takut melihat kedua siluet tersebut melayang-layang di hadapannya dengan penuh ancaman. Ketika ia membuka mata, kedua makhluk halus tersebut sudah hilang. Tia sadar ia begitu ceroboh datang ke kota ini sendirian. Seharusnya ia membawa seorang teman. Sekarang ia harus menanggung rasa ngerinya seorang diri. Cukup dua malam ia berada di sini untuk menghibur Lana dan Ivonne. Ia ingin segera kembali ke kamarnya yang aman dan nyaman.


***

Seminggu setelah Tia menjenguk Ivonne, ia mendapat kabar duka bahwa Ivonne sudah meninggal dunia. Kadang-kadang Tia merasa merinding ketika mengingat pengalamannya selama menemani Ivonne di ruang rawat. Beberapa kali Tia memergoki Ivonne menatapnya penuh benci. Belum pernah Tia ditatap dengan penuh kebencian yang mendalam seperti yang diperlihatkan Ivonne. Tapi, mungkin itu hanya halusinasi Tia saja. Tak mungkin Ivonne membenci Tia, tantenya sendiri. Mungkin Ivonne marah pada kehidupan. Tia juga merupakan makhluk hidup, bukan?


Lana menceritakan saat-saat terakhir Ivonne. Seperti Danang, Ivonne pun mengalami sakratul maut yang sulit. Napas mengguruh yang seperti bunyi babi disembelih. Sungguh mengerikan melihat orang yang dicintai melepas nyawa dengan susah payah.


Tia tak pernah mengerti dengan akal sehat Danang, kakak iparnya. Pesugihan tersebut mencengkeram keluarga Danang. Terbukti Ivonne harus meregang  nyawa pada usia 45 tahun ketika ia sedang berlimpah harta. Setelah meninggalnya Ivonne, harta keluarga Ivonne habis karena para debt collector langsung menagih. Hal ini terjadi karena suami Ivonne kurang ahli dalam mengelola bisnis properti. Tidak ada harta yang tertinggal.


Apa yang akan terjadi dengan anak-anak Ivonne? Setahu Tia, ikatan pesugihan akan terjadi selama 7 turunan. Ia tak mau membayangkan apa tragedi selanjutnya. Dan ia melihat bayangan hitam tersebut berdiri di sebelah anak bungsu Ivonne ketika pemakaman Ivonne!

______

Apa opini teman-teman mengenai pesugihan? Apa ada kisah menarik tentang pesugihan di sekitar areamu tinggal?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun