Malam hari merupakan mimpi buruk bagi Vina. Lalat buah akan terbang dari arah bawah mata Vina dan memantiknya. Mereka juga berusaha memasuki lubang hidung dan lubang telinga Vina. Secepat datangnya, secepat itu pula perginya. Saat pagi sebagian besar lalat buah tersebut menghilang, dan malamnya kembali lagi dalam jumlah yang lebih banyak.
Vina sudah kehabisan akal. Larutan deterjen dan air panas, campuran cuka dan air panas, atau pun obat serangga, tidak dapat menghilangkan koloni lalat buah ini. Mati satu tumbuh seribu. Sang lalat buah datang kembali membawa pasukannya.
"Pak Dira, apakah area ini merupakan habitat lalat buah? Kamar mandiku penuh dengan lalat buah."
"Tentu saja bukan, Neng Vina. Bapak belum pernah melihat lalat buah," jawab satpam kostan tersebut sembari menyeringai. "Halaman rumah dibersihkan Udin dengan teratur. Sampah daun juga selalu dibakar setiap sore. Sedangkan sampah rumah tangga diangkut tukang sampah setiap pagi. Jadi, Bapak yakin, tidak ada sarang lalat buah. Mungkin Neng Vina menimbun sampah dapur sehingga memancing datangnya lalat buah?"
"Tidak, Pak. Aku selalu membuang semua sampah setiap pagi. Umumnya, lalat buah mengerumuni buah yang matang ataupun sampah dapur. Tapi, lalat buah yang ini berfokus mengejarku."
Vina meninggalkan Pak Dira yang termenung. Ia ingin pindah kost saja, tapi barangnya cukup banyak dan tidak mudah menemukan kostan dengan letak yang strategis seperti kostan Vimalaya ini. Mungkin jika musim berganti, koloni lalat buah ini akan menghilang dengan sendirinya. Sayangnya, harapan Vina tidak terkabul.
Bagaikan Sherlock Holmes, Vina menjelajah area halaman belakang di sekitar kamar kostannya. Hanya beberapa lalat buah yang terbang. Sayapnya berwarna keemasan ditimpa cahaya matahari.
"Hai, namaku Tama. Kita bertetangga. Salam kenal," kata Tama sembari mengulurkan tangan yang langsung kusambut. Senyum Tama sangat manis. Deretan giginya begitu rapi seperti permen Chicklet. "Mengapa kau termenung di sini?"
Vina terkikik. Namanya seperti kucing Vina di rumah. Penampilan Tama dan kucing Vina pun agak mirip. Bentuk wajah mereka tirus dengan mata sipit.
"Aku sedang mencari sarang lalat buah."
"Selama ini aku tak pernah mendengar orang mencari sarang lalat buah? Biasanya sarang lebah madu?" Tanya Tama. Matanya mengedip jenaka.
Dari pertemuan pertama berlanjut pertemuan selanjutnya. Tidak sulit untuk jatuh cinta pada pemuda seramah Tama. Ada pohon ketapang tua yang sangat rindang di halaman rumahnya yang merupakan rumah cantik bergaya minimalis dengan halaman yang cukup luas. Vina tinggal meloncati pagar pembatas yang rendah untuk bertemu pujaan hatinya. Tama selalu muncul tiba-tiba dari area tersebut. Ia berkata ia merasa tak enak hati jika terus-menerus melalui pos depan satpam untuk mengunjungi Vina. Dan bukankah ini tempat rahasia yang sempurna?
Vina dan Tama sering menggelar tikar dan duduk berbincang di bawah pohon tersebut. Kadang-kadang mereka belajar mata kuliah dasar bersama. Vina seorang mahasiswi Farmasi semester satu, sedangkan Tama seorang mahasiswa Biologi semester tiga.
Akhir-akhir ini, Vina merasa diawasi jika ia bersama Tama. Tapi, ia mengusir perasaan tak nyaman tersebut karena ia tak melakukan perbuatan tak senonoh apa pun.
"Vina, kau semakin lama semakin kurus dan pucat. Apa kau sakit?" Tanya Nita prihatin.
"Aku merasa sangat sehat. Tubuh langsing bukan suatu kerugian," sanggah Vina. "Masa kau tak bisa menebaknya, Nit? Aku sangat berbahagia hingga sulit tidur. Tama..."
"Aaaargh, jangan kau sebut lagi keistimewaan pangeranmu itu. Kau sama sekali tak peka. Sahabatmu ini jomblo."
Vina nyengir kuda mendengar gerutuan Nita. Ia menghempaskan diri pada tumpukan bantal empuk di samping Nita. "Aku akan bertunangan minggu depan. Tama sudah membeli cincin."
"Hey, cinta sih cinta. Tapi, kau kan belum lulus kuliah. Apakah orangtuamu sudah mengetahuinya?"
"Makanya, kami tunangan dulu. Aku tidak dekat dengan orangtuaku. Mereka sudah bercerai dan menganggap aku hanya beban saja."
Nita memelukku, "Ya, sudah. Jangan berpikir hal sedih. Kapan kau akan mengenalkan tunanganmu yang super hebat?"
"Nanti. Tapi, kau harus berjanji untuk tidak merebutnya. Hatimu kan lemah jika menghadapi pria ganteng."
Nita langsung menghantam kepala Vina dengan bantal. Untuk sesaat, mereka berdua lupa bahwa mereka bukan anak kecil lagi yang senang berperang bantal guling.
***
"Aku harus pergi. Tama menungguku di bawah pohon ketapang."
"Jangan, Vin. Hujan deras sekali. Sedangkan tubuhmu sedang demam tinggi. Kau telepon saja Tama untuk menjengukmu."
"Handphone Tama rusak. Selama kami berhubungan, aku tak pernah menghubunginya melalui handphone."
Nita menelan kekuatirannya. Hari demi hari keadaan Vina semakin memburuk. Vina terus-menerus memanggil nama Tama. Tapi, Tama seperti hilang ditelan bumi. Tama yang misterius. Sebenarnya, Nita sudah menginterogasi Pak Dira dan penghuni kost lainnya, tapi tidak ada yang mengenal Tama. Tidak ada seorang pun tetangga yang mengenal Tama. Apakah Tama hanya halusinasi Vina belaka?
***
Selama ini Nita menganggap sepele keluhan Vina mengenai lalat buah. Tapi, hari ini ia harus mengakui bahwa lalat buah ini benar-benar menjengkelkan. Ketika Nita membuka pintu kamar mandi Vina, ia disambut jutaan lalat buah yang berebutan terbang keluar. Belum pernah Nita melihat koloni lalat buah sebanyak itu. Ia beropini saluran pembuangan kamar mandi Vina benar-benar buruk sehingga Nita meminta tolong Pak Dira untuk memeriksa saluran pembuangan air.
Vina yang sedang berbaring lemah, tiba-tiba bangkit dengan mata nyalang. Entah dari mana asal tenaganya. Ia berlari kencang  mengikuti pasukan lalat buah menuju halaman rumah Tama. Nita dan Pak Dira mengejarnya.
Pemandangan yang terhampar mencengangkan. Ribuan, bukan, jutaan lalat buah mengepakkan sayapnya di sekitar pohon ketapang yang tumbang. Tanah di sekitar akarnya menggunuk karena setengah bagian akarnya terangkat ke atas permukaan tanah. Bak terkena kutukan alam, hampir seluruh batang pohon ketapang hangus.
Seolah kesurupan, Vina berlutut dan menggali tanah di sekitar pohon ketapang tersebut. Ibarat kutukan kumbang Mesir Scarab, lalat-lalat buah terbang mengelilinginya seperti lingkaran halo. Nita berusaha mencegah Vina tanpa hasil. Sedangkan Pak Dira hanya diam terpaku seolah kehilangan nyawa. Kuku-kuku tangan Vina menghitam karena tanah dan ternoda darah.
"Lihatlah! Aku berjanji mengenalkannya padamu, Nit. Ini Tama, milikku. Ia Tama-ku yang tampan," kata Vina.
Nita tertegun. Ia menelan ludah dengan susah payah.
"Tama sayang, kau sangat kesepian ya setahun di bawah sana. Aku menghukummu karena kau nakal. Kau selalu berbohong bahwa kau bernama Hamid dan tak mengenalku. Hatiku sakit karena kau hendak meninggalkanku. Tapi, aku memaafkanmu karena aku sangat mencintaimu," seru Vina dengan suara melengking. Ia menarik sebuah kerangka dan memeluknya. Kemudian, mencium tempurung kepala Hamid dengan penuh kasih sayang.
_____
Teman-teman, apa fobia yang kalian hadapi? Apakah lalat buah? Â