Vino menendang tumpukan panci tua sekuat tenaga. Ia begitu kesal akan nasib sial yang tiba-tiba merundungnya. Ayah Vino ditahan karena korupsi pajak sehingga seluruh aset seperti rumah, mobil, dan tabungan disita. Ibu Vino, sang sosialita, kabur ke luar negeri dengan kekasih barunya, tanpa mempedulikan nasib putra semata wayangnya yang baru saja menginjak umur sweet seventeen. Tidak ada satu pun keluarga besar Vino yang peduli akan nasib Vino, kecuali Paman Malik, adik bungsu ibu Vino yang membujang hingga berumur 45 tahun. Paman Malik memang kaya raya, tapi karakternya sangat sulit dan pemurung.
Paman Malik bersedia menampung Vino di rumahnya yang besar, tapi Vino harus membantu bisnis baru Paman Malik selama liburan sekolah. Ide bisnis Paman Malik tampak cemerlang karena mendukung konsep ramah lingkungan, yaitu recycle panci. Panci? Ya, benar. Panci yang sudah tua, bocor, dan terkelupas harus disulap hingga cantik kembali. Dan di workshop panci inilah Vino terkurung. Apa yang Paman Malik harapkan dari anak tunggal manja seperti Vino yang biasa hidup bergelimang kemewahan? Seumur hidup Vino tak pernah mematri panci bocor atau pun menyikat pantat panci yang hitam berjelaga. Vino sudah berusaha menolak ide konyol menjadi peri panci, tapi kerutan sinis bibir Paman Malik membuat lidah Vino kelu. Penampilan Paman Malik yang berjas abu-abu dengan dasi biru tua sungguh berbanding terbalik dengan Vino yang menggunakan baju kerja overall dan celemek putih besar. Vino sungguh merasa dirinya sekecil partikel nano jika berhadapan dengan pamannya ini. Ia baru merasa lega ketika pamannya sudah berangkat kerja ke kantornya untuk mengurus bisnis real estate.
Vino terpekur menatap ratusan panci yang berserakan memenuhi segala sudut workshop. Ia menyikat panci tersebut satu per satu hingga tengah hari. Tapi, masih banyak panci yang menuntut perhatiannya.