HUHUHUHU...
Hewan apa yang melolong-lolong seperti itu? Suaranya menyayat telinga. Aku terbangun dengan kepala yang ringan. Ah, sudah begitu lama aku tak merasa sesegar ini. Rasanya aku kembali lahir. Apakah Tuhan mengutus malaikatnya untuk menghilangkan tumor otak yang menyiksaku setahun ini? Tapi, apa yang menghalangi pandanganku ini? Pandangan mataku berbutir-butir. HAAACIH! Dan juga apa yang menyumpal hidungku ini? Belum lagi, tubuhku seperti terbelenggu. Siapa yang tega membungkus tubuhku dengan kain kumal berlapis ini?
Hey, apakah sahabat-sahabatku melakukan prank karena sebentar lagi aku akan merayakan sweet seventeen? Aku tak akan terpedaya akal bulus mereka. Pertama-tama, aku harus keluar dari tempat sesak ini.
Uh, tinggal satu liukan lagi. Dan aku bebas. Oksigen berlimpah, aku datang.
"EMAK, Â ADA POCONG TERBANG," teriak Pak RT.
"KEREN BANGET. OM RANGGA JADI POCI," jerit keponakan-keponakanku. Binar mata mereka penuh kekaguman. "OM POCI, AKU MAU IKUT TERBANG."
"RUDI, INI PASTI GARA-GARA Â KAMU. TALI POCONGNYA BELUM DIBUKA," hardik Pak Brata, bapakku. Kumis sangarnya yang lebat bergetar-getar seperti garputala.
"Hehehe, maafkan aku, Pak. Aku tidak tahu tali pocongnya harus dibuka," jawab Rudi, sahabatku, sembari cengengesan. "Sekarang apa yang harus aku lakukan?"
"Cepat cari Pak Ustaz supaya mendoakan anak kesayanganku. Dan juga telepon dokter Fadli agar segera datang."
"Om, Pak Ustaz pingsan," lapor Nuri, kekasihku.
Aku tercengang mendengar jeritan keluarga dan sahabat-sahabatku. Pocong? Masa aku yang super ganteng ini jadi pocong? Aku, Raden Rangga Suryabrata Natakusuma Purwarajadilangit, keturunan kesepuluh terah Purwarajadilangit, menjadi hantu lompat kelinci. TIDAAAAAAK. Lebih baik aku mati. Aku jatuh terkapar dari posisiku yang melayang di udara.
"Wah, pocongnya mati," seru Doni, sahabatku. Anak kurang ajar itu membuka kaus kakinya yang belum dicuci seminggu dan mendekatkan ke hidungku. Tentu saja mataku langsung terbuka lebar ketika mencium bau comberan.
"BACOOOOT," teriakku jengkel. "Mengapa kalian berkata bahwa aku sudah meninggal dunia? Aku masih hidup dan bernapas."
"Tapi, kamu memang sudah tiada, Nak, " kata Pak Brata. Keringat dingin sebesar telur bebek jatuh bercucuran di dahinya yang lebar. "Mari kucabut dulu tali pocongmu. Jika kamu masih hidup, tentu hal ini tidak berpengaruh."
Semua orang tercengang dengan mulut melongo. Jika kejadian tragis ini tidak menimpa diriku, tentu aku akan terbahak melihat ekspresi mereka yang jenaka.
"Tidak terjadi apa-apa. Aku masih hidup. Tolong bantu aku melepaskan kain kafan ini."
"Aneh, kain kafan ini melekat seperti lem," gumam Rudi.
Aku menghela napas kesal. Kain ini semakin ditarik malah semakin melekat. Â
"Mana pasien yang harus saya periksa?" Tanya dokter Fadli penuh semangat. "Hebat, ini kejadian langka. Rupanya Rangga hanya mati suri."
Dokter setampan Reza Rahardian ini memeriksa detak jantungku. Keningnya mengernyit. Dengan geram, ia menyingkirkan stetoskop tak berguna. Ia mendengus dan mendengarkan detak jantungku langsung dengan telinganya. Kemudian, memeriksa denyut nadiku. Ia menatapku tak percaya dan berteriak sebelum jatuh pingsan, "TAK ADA DETAK JANTUNG ATAUPUN DENYUT NADI. IA SUDAH MATI."
"Dokternya pingsan," gerutu Rudi. "Pak Ustaz pingsan. Aku juga pingsan saja." Setelah berkata seperti itu, ia pingsan dengan sukses! Wajahnya tersungkur tepat di depan onggokan kotoran kucing.
"Pak Brata, kita harus menguji apakah ia benar Rangga atau jin yang menyamar menjadi Rangga?" Usul Donny yang disambut anggukan antusias para hadirin. "Rangga, berapa jumlah utangmu terhadapku?"
"Hey, yang berhutang itu kau. Jumlah utangmu sebesar 671.900 Rupiah."
"Benar. Berapa jumlah kekasihmu?"
"Satu," jawabku cepat.
"Salah. Pak Brata, mari kita bakar makhluk astral ini."
"Iya, iya, aku mengaku. Jumlah kekasihku lima." Aku tak kuasa mengangkat wajahku yang dipelototi Nuri. Mau bagaimana lagi, aku memang super ganteng dan tajir. Menurutku, memiliki lima kekasih itu normal saja. Bukankah jumlah hari sekolah atau pun hari kerja juga lima hari dalam seminggu? Aku pun lahir tanggal 5 bulan lima pada jam 5 subuh. Jadi, angka lima merupakan angka keberuntunganku.
Si kurang ajar Doni tersenyum senang. Pria macam apa yang tega membongkar rahasia sahabatnya yang sudah mati?
***
Kehidupanku setelah mati, tak terlampau buruk. Wajahku yang ganteng semakin bersinar. Tubuhku pun terasa ringan. Aku baru menyadari bahwa pocong itu bukan melompat kelinci, tapi terbang melayang dalam satu hentakan. Hanya satu yang kusesali, fashion poci sungguh bukan seleraku. Warna kain kafanku semakin kusam.
Sementara Bapak dan Pak Ustaz sibuk mencari solusi keganjilan sosokku ini, aku menyibukkan diri dengan menjadi promotor uang crypto di twitter. Nama akunku @pociganteng dengan jumlah followers 6.666.666. Lumayan juga hasilnya. Aku ingin memberikan hasil kerjaku sebagian ke Bapak dan sisanya disumbangkan ke Yayasan Kanker.
Ups, pesonaku memang tak tertahankan. Banyak yang menyatakan cinta padaku, Si Poci Ganteng. Banyak pula yang mengirimkan direct message dan foto tak senonoh padaku. Apakah mereka tak ngeri pada siksa alam kubur? Mungkin saja aku poci yang diutus untuk menyadarkan para kupu-kupu malam terselubung ini. Aku memang playboy, tapi tak sebejat itu.  Tak ada satu pun  followerku yang percaya bahwa aku telah tiada. Kejujuran memang jarang dihargai.
Pasti banyak orang yang heran bagaimana sesosok poci dapat memegang handphone? Oleh karena poci memiliki tangan tak kasat mata, handphone akan terlihat melayang.
"WOY, POCI, KAU ADA DI RUMAH?" Teriak Doni sembari celingukan di teras rumah.
"Di sini, Don," seruku.
"Sedang apa kau di atas pohon kelapa malam-malam? Kau sedang pacaran dengan Miss Kunti?"
"Hush, jangan menakutiku. Aku sedang mencari sinyal internet."
"Kalau begitu di sampingmu itu siapa?"
Aku menoleh dan disambut kerlingan genit Miss Kunti. Jantungku tak kuat menahan voltase kejutan setinggi itu, maka tubuhku langsung meluncur ke bawah pohon jengkol dengan kecepatan gravitasi 1.000 km/jam. Otomatis aku menutup mata. Aku lupa diriku bukan manusia lagi.
"HUAHAHAHA."
Derai tawa Doni membuatku membuka kedua mataku. Aku ingin berteriak, tapi tak bisa karena lidahku terasa kelu. Oh My God, tolonglah aku. Apakah ini karma karena suka mempermainkan perempuan?
Ew, aku dipeluk dan dicium Miss Kunti. Ia berusaha melakukan French kiss denganku walaupun ia tak berlidah! Bibir ini harus dicuci dengan satu kilogram detergen. Ia memang menyelamatkanku yang jatuh dari pohon jengkol, tapi perlukah ia bertingkah seagresif itu? Aku memang ganteng, tapi kegantenganku membawa malapetaka.
"RANGGA JAHAT. SEWAKTU HIDUP KAU PACARAN DENGAN PEREMPUAN LAIN. MASA SEKARANG KAU JUGA BERKHIANAT DENGAN HANTU?"Jerit Nuri. Ia berpaling dan melarikan diri ala sinetron Indonesia.
"Nuri, tunggu. Ini tidak seperti yang kau pikirkan," sanggahku. Aku berusaha melepaskan diri dari Miss Kunti yang terobsesi menciumi keningku. "HEY, DIAM KALIAN. JANGAN REKAM! AWAS KALAU KALIAN UPLOAD INI KE YOUTUBE," ancamanku pada Doni yang terus terbahak dan Rudy, yang tiba-tiba muncul sembari memegang kamera DLSR.
***
"Nak, kemarilah. Bapak mau berbicara," perintah Pak Brata. "Tak mungkin kau terus menjalani kehidupan sebagai pocong. Bapak sangat sayang padamu. Tapi, Bapak merasa sudah saatnya kau pulang. Kau bisa tinggal di alam kubur bersama ibumu. Pak Ustaz berkata ada yang mengganjal hingga kau tak bisa pulang ke tempatmu yang sekarang. Sebenarnya apa yang mengganggu hatimu?"
"Bapak kejam! Padahal aku mulai menikmati kehidupan baruku. Jangan-jangan Bapak mau menikah lagi dengan Bi Tari, janda kembang di kampung kita? Bapak tidak menyayangiku."
"Duh, mengapa kau berpikir begitu?"
"Aku bukan anak kecil. Aku melihat sendiri Bapak masuk ke hotel bersamanya." Setelah berkata begitu, aku melenyapkan diriku dan pergi ke rumah Nuri. Aku dan Nuri sudah berbaikan setelah aku mengirimkan beberapa Bitcoin-ku.
Pak Brata terduduk lemas. Memiliki remaja pria memang tidak mudah. Apalagi jika sudah berbentuk pocong yang terbang ke mana-mana di seluruh area rumah. Sebenarnya, yang tak tertahankan oleh Pak Brata ialah bau kain kafan Rangga. Baunya seperti neraka! Aroma sejuta kambing yang belum mandi. Ia sungguh heran mengapa Nuri, Doni, Rudi, dan teman-teman Rangga lainnya tetap tahan bersamanya? Pak Brata mencium aroma dirinya sendiri. Bau juga? Ia jadi ragu, apakah dirinya atau Rangga yang bau, atau hidung Pak Brata yang bermasalah?
***
"Rangga, kelakuanmu tak lucu. Kau sengaja mencopot bola matamu untuk menakutiku, ya?" Tuduh Nuri jutek.
"Demi Tuhan, aku tak sengaja. Ini copot begitu saja dan menggelinding. Tolong bantu aku mencarinya! Ah, Kocheng oren mengambilnya."
Setelah kehebohan mengejar kucing Nuri yang tambun hingga ke atas genteng rumah, aku berkata dengan sendu, "Nur, jika suatu saat aku menghilang, apakah kau akan tetap mengingatku?"
"Bagaimana ya? Kamu itu pacar yang menyebalkan. Kamu menghabiskan persediaan masker Jeju-ku."
"Sadis," kataku sembari membaringkan diri di atas kasur Nuri yang empuk. "Aku merasa waktuku tak lama lagi. Tadi mataku yang copot, entah nanti apa yang copot?"
"Mengapa kau membebani dirimu? Jika copot, tinggal dipasang," jawab Nuri dingin. Matanya sibuk menatap pergerakan uang crypto di layar komputer. Aku menyesal mengenalkannya uang crypto karena sekarang ia tak begitu mempedulikanku.
Aku terbang menghampirinya, "Nur, aku sangat mencintaimu. Maafkan segala kesalahanku. Tolong sampaikan juga permohonan maafku pada Rudi dan Doni." Setelah berkata itu, aku menghilang dan meninggalkan Nuri yang memanggil-manggilku.
***
"Pak, Rangga akan pulang. Bapak menikah saja dengan Bi Tari jika Bapak mencintainya. Rangga sayang Bapak."
Pak Brata tersedak kopi panasnya. Ia tergopoh-gopoh menghampirinya, tapi terlambat. Bayangan anaknya perlahan memudar dan memudar menjadi semburat keemasan.
***
"Assalamualaikum, saya Romi, anak tetangga sebelah. Ibu saya membuatkan nasi kuning sebagai perayaan pindahan kami. Silakan diterima!"
Nuri tercengang melihat senyum  manis di wajah Romi yang bak pinang dibelah dua dengan Rangga.
----
Siapa yang mau kenalan dengan Rangga?