Vera hanya tersenyum sekilas. Kemudian, ia menyambar lilin hitam di atas buffet kecil dan melompat keluar jendela apartemen dari ketinggian lantai tiga belas. Ia benci Alvin. Ia benci dunia ini. Ia benci akan dirinya sendiri.
Jakun Alvin bergerak turun-naik. Ia masih belum percaya tragedi ini terjadi begitu saja. Ironis! Baru saja Vera berdiri segar bugar di hadapannya. Dan sekarang ia berwujud onggokan jenazah bergaun hitam.
***
"Pak Alvin, kami tidak suka Bapak mempermainkan kami. Tugas kami banyak. Tolong jangan sia-siakan waktu kami yang berharga ini hanya untuk kesenangan pribadi," semprot Penyidik Eka.
Alfin terpana. "Menyia-nyiakan waktu bagaimana, Pak? Tunangan saya baru saja bunuh diri. Mayatnya pun masih tergeletak di halaman apartemen."
Pak Ali, sang pengemudi ambulance RS Kepolisian Sekar Jaya terkekeh. "Mungkin yang melompat itu boneka lilin hitam. Tidak ada jenazah. Yang ada hanya pecahan lilin hitam."
"Tapi, saya melihat sendiri Vera melompat bunuh diri. Ia memang membawa lilin hitam saat melompat."
"Ckckck...anak muda, kau terlihat cerdas. Tapi, aku tak menyangka kau terkena gangguan jiwa. Mungkin kau hanya berhalusinasi. Atau, kau mengkonsumsi narkoba?" Selidik Penyidik Eka.
"Saya tidak pernah mengkonsumsi narkoba," tegas Alvin. Kemudian, Alvin menatap Penyidik Eka dan Pak Ali dengan tatapan dingin silih berganti. Dengan langkah lebar, ia bergegas ke tempat jenazah Vera tergeletak.
Keringat dingin bercucuran di pelipis Alvin. Tidak ada darah. Apalagi jenazah. Yang ada hanya pecahan lilin dan bongkahan tubuh patung boneka lilin hitam. Seperti tersihir, Alvin memegang kepala boneka lilin hitam yang menyerupai wajah Vera.
Pak Ali memegang pundak kanan Alvin dengan gaya kebapak-bapakkan. "Nak, masih belum terlambat untuk berobat jiwa. Aku sering mendengar tentang boneka pendamping hidup. Tapi, itu hanya benda mati. Jangan kau anggap boneka lilin itu sebagai tunanganmu." Ia menghela napas, "Kau ini tampan. Jika aku setampan dirimu, aku pasti sudah memiliki 10 kekasih."
Alvin menepis tangan Pak Ali dengan jengkel, "Saya masih waras, Pak."
Penyidik Eka dan Pak Ali saling berpandangan dengan tatapan penuh maksud. Kasihan, masih muda sudah mengalami gangguan jiwa. Mana ada orang yang mengalami gangguan jiwa akan mengakui dirinya terganggu jiwanya.
***
"ALVIIIIN....ALVIIIIN..."
Alvin terbangun karena bisikan suara Vera. Ia menutup  kedua telinganya dengan bantal. Tapi, suara bisikan yang meresahkan itu terus mengejarnya.
"ALVIIIIN....ALVIIIIN..."
Alvin membuka mata dan hanya kegelapan kamar yang menyambutnya. Tangan Alvin menggapai-gapai kenop lampu duduk yang berada di atas buffet yang berada di samping tempat tidur. Dalam penerangan cahaya temaram, bayangan furniture seperti rentangan tangan-tangan iblis yang siap mencengkeram jiwa.
Hati Alvin mencelos. Ia merasa sedingin es. Di sisi tempat tidurnya berdirilah sosok yang menjadi mimpi buruknya beberapa hari ini.
Alvin mengkerutkan tubuhnya sebisa mungkin. Ia merasa dirinya begitu kecil, sedangkan sosok berjubah hitam itu semakin membesar.
Tangan kurus berwarna putih kebiruan itu dihiasi jumbai renda-renda hitam. Alvin tercekat merasakan kuku-kuku runcing yang dihiasi kutek hitam itu menggores kulit pipinya, dan kemudian menjalar semakin ke bawah. Ia menahan napas ketika tangan dingin itu membelai kulit lehernya, bermain di tulang selangkanya, dan mencengkeram dadanya.
"Takutkah kau?" Tanya Vera sembari cekikikan.
Alvin mengambil napas panjang seakan mengumpulkan seluruh jiwanya yang koyak dan terpencar. "Vera, permainan sulap apa yang kau mainkan? Aku yakin sekali kau bunuh diri."
"Tunanganku tercinta mengharapkanku tewas bunuh diri?" Tanya Vera dengan senyum manis bermain di bibirnya yang ranum. Ia mengecat bibirnya dengan warna biru gelap khas Gothic make-up.
"Jawablah pertanyaanku," tegas Alvin sembari mengguncang-guncangkan bahu Vera.
Vera malah terkikik dan merayap naik ke pangkuan Alvin. "Apa hadiahnya jika aku menjawab pertanyaanmu dengan jujur?"
"Berhenti bersikap kau itu kucing yang hendak menerkamku."
"Sejak kapan Alvin Prasetya yang super angkuh mengakui dirinya sebagai tikus?"
Alvin menggumam tak jelas karena menahan kejengkelannya.
"Baiklah...baiklah, aku mengaku. Aku memang melakukan sedikit sihir."
"Sihir apa?
Vera tidak menjawab. Ia hanya menyentuhkan jari telunjuknya ke bibir Alvin. Kemudian, ia lenyap begitu saja.
Alvin marah bukan kepalang. Vera berani bermain api dengan dirinya.
***
"Hallo, Alvin, ini Nisa. Aku ingin membicarakan tentang nasib adikku yang dirawat di rumah sakit."
"Memangnya Lina sakit apa?"
"Kau tak pernah membaca surat kabar? Lina jatuh dari apartemennya minggu lalu. Ia sedang kritis di IGD," cecar Nisa. "Padahal kau ingin menikahi Lina. Dan Lina sudah berkorban banyak untukmu. Tapi, kau tak peduli pada keselamatannya."
"Bagaimana ia bisa jatuh?" Tanya Alvin. Ia merasa resah karena peristiwa yang menimpa Lina terjadi pada hari yang sama ketika Vera bunuh diri. "Jam berapa ia jatuh?"
"Lina berada di tepi jendela apartemennya. Ia memandang kosong ke arah luar jendela. Kemudian, ia mencondongkan dirinya dan terjatuh begitu saja. Kejadiaannya jam 9 pagi."
Alvin merasa jantungnya berhenti berdetak saat mendengar detil peristiwa tragis yang menimpa Lina. Jam yang sama. Hari yang sama. Jatuh dari apartemen. Jangan-jangan Vera mengutuk Lina dengan sihir hitamnya? Alvin tahu kecemburuan perempuan sangat mengerikan. Tapi, ia sulit mencintai Vera yang manja dan kaya raya. Sedangkan Lina yang sederhana begitu manis dan penurut. Hanya Vera yang gegabah menuduh Lina berpura-pura dalam sikap manisnya. Jika saja orangtua Alvin dan Vera tidak mengikat pertunangan mereka dan perjanjian harta, Alvin pasti sudah membuang Vera dari dulu.
***
"Vera, aku ingin bicara."
"Hari sudah malam. Kita bicara besok pagi saja."
"Aku perlu bicara. S-E-K-A-R-A-N-G."
Vera menggerutu. Kemudian, membuka pintu apartemennya.
"Ada apa? Tidak biasanya kau menemuiku?"
"Hentikan sihir hitammu. Lina sudah banyak menderita karena ulahmu."
"Jadi, ini semua salahku?"
"Ini bukan masalah benar atau pun salah. Kau sudah membahayakan nyawa Lina."
"Oh, ya? Bagaimana dengan Lina yang menyewa pembunuh bayaran untuk membunuhku bulan lalu? Atau, kau juga bersekongkol dengan dirinya?"
Mata tajam Vera menghunjam Alvin. Menurut perasaan Vera, Alvin tak bisa menyembunyikan mimik bersalahnya. Alvin membisu. Hanya, jakunnya yang turun-naik.
Vera menyambar kembali lilin hitam di sisi bufetnya. Dan kemudian melompat keluar dari jendela apartemen tanpa mempedulikan teriakan Alvin yang mencegahnya.
Alvin terhenyak lemas. Seperti dejavu, adegan bunuh diri Vera terulang kembali. Alvin tak berani menatap jenazah Vera di luar jendela. Kali ini siapa korban Vera?
Tiba-tiba Alvin merasa lehernya dicengkeram tangan kasat mata. Ia terseret mundur hingga ke tepi jendela.
"Ve...Vera, mengapa? Demi Tuhan, aku akan belajar mencintaimu. Lepaskanlah aku!"
Dengan sentakan keras, Alvin melayang dan terjerembab. Di sekeliling jenazah Alvin yang terbujur kaku, pecahan lilin hitam berhamburan dengan artistis.
Sesosok gadis berjubah hitam tersenyum misterius dan menghilang dalam kegelapan malam. Ia tak pernah menoleh lagi ke belakang. Tidak hanya hatinya yang sudah dingin, tubuhnya pun sebenarnya membeku di dasar laut. Sebelum menghembuskan napas terakhir, Vera melakukan perjanjian terkutuk dengan iblis laut. Ia hanya harus menyerahkan benda yang paling disayanginya bagi sang iblis untuk membalas dendam pada Lina. Dan bukankah benda yang paling ia sayangi itu Alvin yang telah mengkhianati dirinya?