Paskah yang diperingati oleh umat Kristiani hari ini memiliki inti memperingati 3 peristiwa besar dan sangat penting dalam sejarah Yesus. Ketiga peristiwa besar itu diawali secara berurutan mulai dari Kamis Putih, sehari menjelang Yesus ditangkap oleh tentara Romawi untuk disalibkan. Dilanjutkan dengan peristiwa Jumat Agung, saat Yesus ditangkap tentara Romawi dan akhirnya wafat di kayu salib di Bukit Tengkorak. Dan puncaknya adalah Kebangkitan Yesus dari kematian pada hari ke tiga setelah wafat.
Di dalam Kamis Putih diperingati Perjamuan Terakhir Yesus bersama kedua-belas muridNya. Peristiwa ini amat sakral dan abadi, karena di dalam Perjamuan Terakhir itulah Yesus menyerahkan Tubuh dan Darahnya sendiri dalam rupa roti dan anggur yang mengikat milyaran orang dari jaman dahulu sampai hari ini menjadi pengikutNya. Roti dan anggur adalah simbol makanan pokok, sesuatu yang menghidupkan. Ini melambangkan, bahwa figur Yesus dan semua ajaranNya adalah sumber kehidupan kekal bagi seluruh pengikutNya.
Peristiwa kedua adalah Jumat Agung. Pada hari Jumat itu, sejak fajar Yesus telah ditangkap oleh tentara Romawi dan digelandang untuk diadili. Tuduhan yang paling berat adalah: Ia dianggap makar, melawan kekuasaan Romawi karena para pengikutNya membaptis Dia sebagai Raja Besar, dan itu diterjemahkan telah menyaingi kekuasaan Kaisar Romawi. Ketika ditanya oleh Hakim Pilatus di pengadilan: “Benarkah Engkau Raja Orang Yahudi?” Yesus menjawab: “KerajaanKu bukan dari dunia ini, sebab kalau KerajaanKu dari dunia ini, maka seluruh laskar pasukanKu tak akan membiarkan Aku ditangkap olehmu”. Di pengadilan itu, Pilatus tak menemukan satu kesalahanpun dalam diri Yesus, sehingga ia memilih cuci tangan dan menyerahkan persoalannya kepada bangsa Yahudi sendiri. Ia akhirnya menuruti kehendak rakyat yang telah dihasut oleh para pemuka agama yang merasa amat tersaingi oleh Yesus. Sehingga, ketika Pilatus memberikan satu pilihan untuk menyalibkan Barabas yang penjahat tulen atau menyalibkan Yesus, orang-orang lebih memilih melepaskan Barabas dan menyalibkan Yesus yang tak punya kesalahan apapun.
Jumat Agung adalah simbol pengorbanan maksimal Yesus demi kehidupan dan masa depan umat manusia yang lebih baik ditinjau dari nilai-nilai keluhuran Kemanusiaan dan Keillahian. Yesus mengorbankan diriNya sendiri agar manusia melihat kejahatan-kejahatannya sendiri dan berubah menjadi lebih baik sesuai dengan apa yang diajarkanNya selagi Dia masih hidup.
Peristiwa ketiga adalah Kebangkitan Yesus dari kematian di hari Paskah. Ini adalah harapan besar seluruh umat manusia: Mengalahkan maut dan hidup kekal! Yesus pernah menegaskan: “Barang siapa percaya kepadaKu dan menuruti semua perintah dan ajaranKu, ia tak akan pernah mati meskipun telah dikuburkan!”
Dari Jaman dahulu orang sudah percaya akan adanya kehidupan setelah kematian. Tetapi kehidupan yang seperti apa? Kalau kehidupan yang akan datang itu penuh penderitaan, tentunya lebih baik tidak pernah hidup lagi sama sekali, kan? Buat apa hidup penuh derita tak berujung? Yang dijanjikan Yesus adalah hidup mulia. Pengertian “mulia” inilah yang sering dipersepsikan macam-macam, mulai dari serba ada, berkuasa, sampai segalanya tak ada persoalan lagi.
Tetapi kemuliaan yang dimaksudkan Yesus ternyata sulit diukur dengan ukuran duniawi. Yesus sendiri pernah ditawari oleh Iblis ketika Ia selesai berpuasa selama 40 hari 40 malam. Tawaran itu salah satunya adalah: “Lihatlah seluruh isi dunia yang terbentang di hadapanMu. Semuanya ini akan kuberikan padaMu kalau Engkau menyembah aku.” Tetapi Yesus bahkan marah besar dan menghardik Iblis itu: “Enyahlah dari hadapanKu! Ada tertulis dalam Kitab Suci, hanya Tuhan yang layak disembah!” Lihatlah, betapa kemuliaan itu sungguh-sungguh tak bisa diukur dengan nilai-nilai harta duniawi, tetapi tetap harus bisa dijelaskan secara logika, karena semua orang berpikir secara logis.
Munir, tokoh HAM yang wafat diracun itu, bukannya tidak tahu bahwa ia terus-menerus menjadi sasaran tembak orang-orang yang terkena dampak perjuangannya dalam rangka menegakkan Hak-hak Asasi Manusia. Tetapi, ia jalan terus dengan konsekwen dan akhirnya nyawanyapun harus ia relakan. Ada banyak contoh Munir yang lain, sebut saja: Susno Duadji, Antasari Azhar, dll yang tidak memikirkan keselamatan dirinya sendiri dan tidak memilih mundur dari upaya menegakkan kemanusiaan yang sarat konflik frontal dengan kejahatan itu sendiri. Munir, Susno, Antasari (dan banyak lagi yang lainnya) bukanlah orang-orang yang serba bersih. Mereka sama seperti kita, banyak dosa. Tetapi mereka sadar sepenuhnya, bahwa nyawanya bukan miliknya, tetapi milik Yang Kuasa. Dan ia merasa tidak pantas berusaha menyelamatkannya dengan menghindari tugas mulia yang harus diembannya. Munir dan rekan-rekannya itu tidak menukar kemuliaan Kemanusiaannya dan keyakinan Keillahiannya dengan segala hal yang berbau duniawi, termasuk uang, keluarga, bahkan sampai nyawanya sendiri.
Kesetiaan kepada Allah tak perlu susah-susah memasang perlindungan terhadap nyawa sendiri. Kalau Allah menghendaki, biar sembunyi dimanapun, nyawa tetap bisa melayang. Jadi, lebih baik serahkan sejak awal dan pikirkan apa yang bisa dilakukan untuk bergabung dalam Kerajaan Allah. Kerajaan Allah bukan dalam mimpi indah tentang Surga Utopis, tetapi juga di dunia ini dengan segala keluhuran nilai-nilai Kemanusiaan dan Keillahian di dalamnya. Bicara soal Kemanusiaan dan Keillahian, tidak perlu mempersempit diri dalam koridor agama. Yesus itu universal, sangat umum, untuk siapa saja. Sah-sah saja kalau umat Kristiani menobatkan Yesus sebagai gembala mereka, tetapi menganggap Yesus hanya lahir untuk mereka, itu sempit.
Sayangnya, keluhuran nilai-nilai Kemanusiaan dan Keillahian itu sendiri sering tidak dimaknai dengan benar, meskipun batasan sesungguhnya sangatlah sederhana, yaitu membawa kebaikan yang dikehendaki Allah atau tidak. Keluhuran nilai Keillahian, misalnya, sering dipersempit menjadi kesetiaan total kepada agama, padahal agama bukanlah Tuhan. Lebih parah lagi, seringkali perbuatan membela agama secara membabi-buta sering diidentikkan dengan menjalankan kewajiban kepada Allah, sehingga mengenyahkan musuh agama dengan kekerasanpun dipandang sebagai cara yang direstui Allah. Tuhan tidak lagi dilihat sebagai subyek dengan segala Kemuliaan dan KekudusanNya, tetapi sebagai obyek yang bisa dibentuk sekehendak hati oleh siapapun juga, sehingga muncul persepsi: Tuhanmu ya Tuhanmu, Tuhanku ya Tuhanku. Jadilah banyak Tuhan dimana-mana, Tuhan bentukan manusia yang siap dibenturkan satu sama lain.
Persoalan yang muncul di reaktor Nuklir Fukushima Daiichi, Jepang, pasca gempa 9 SR, biarpun berbeda substansi dengan yang dihadapi Munir cs, tetapi memiliki inti yang sama persis tentang bagaimana manusia seharusnya memuliakan nilai-nilai Kemanusiaan dan Keillahian. Para pekerja yang ngotot menyelamatkan reaktor nuklir Fukushima sadar sepenuhnya, bahwa kalau sampai reaktor nuklir itu hancur total dan meledak tak terkendali, maka seluruh Jepang dan dunia akan terancam radiasi hebat dengan dampak menahun yang mengerikan.
Jika seluruh reaktor nuklir itu diurug dengan beton, belum tentu akan menjamin keamanannya. Ledakan nuklir sekuat apa dan kemampuan beton menahan hanya seberapa? Retakan beton tetap akan meloloskan radiasi. Tak ada cara lain yang bisa dilakukan, harus ada yang berani berjibaku mencegah bahaya besar itu terjadi dengan memperbaiki peralatan yang tak berfungsi dengan baik akibat gempa dan tsunami. Ini persoalan pengorbanan nyawa, bahkan mungkin lebih dari itu, karena resiko cacad fatal seumur hidup akibat radiasi juga harus siap dijalani.
Pasukan sukarelawan penyelamat itu jelas mengorbankan segala-galanya demi keselamatan banyak orang lainnya. Hadiah Nobel dan semua penghargaan sudah tidak punya nilai apa-apa lagi, karena yang menerimapun mungkin tak bisa lagi menikmati. Apa yang dituju pasukan sukarelawan itu hanya satu: Bagaimana menyelamatkan Jepang dan dunia. Tindakan mereka itu sudah setara tindakan Yesus sendiri yang mengorbankan diriNya demi umat manusia. Mereka, biarpun mungkin tak tahu siapa Yesus itu dan tak beragama Kristen, tetapi punya koneksitas yang menyatukan. Kalau Yesus bilang: “Siapa yang mempertahankan nyawanya akan kehilangan nyawanya!”, maka melalui tindakan yang mereka lakukan, mereka mengamini ucapan Yesus itu. Disini terlihat sangat jelas, bahwa mengikuti ajaran Yesus tidaklah harus menjadi Katolik atau Kristen. Sebaliknya, sudah Katolik atau Kristen, tidak berarti sudah kenal Yesus dalam perbuatannya.
Dunia hanya bisa menjadi tempat tinggal yang indah ketika sebanyak mungkin umat manusia meletakkan nilai-nilai Kemanusiaan dan Keillahian jauh di atas nilai-nilai duniawi. Karena dengan begitu, ia tidak mengukur segalanya dari kepentingannya sendiri dan selalu lebih mengutamakan kepentingan umum yang lebih besar.
Dengan berpikir demikian, mungkin kita juga bisa memaklumi mengapa Tuhan mengijinkan bencana sebesar itu melanda Jepang. Itu sama sekali bukan kutukan, tetapi memang tidak ada yang gratis untuk mengajar dunia akan nilai-nilai kemuliaan. Dengan ditunjukkannya nilai-nilai kemuliaan itu oleh bangsa Jepang, Tuhan bermaksud mengajarkan hal itu kepada seluruh dunia, begitulah cara hidup yang benar di dunia ini.
Lihatlah bangsa Jepang ditengah kesulitannya. Mereka masih sangat tertib, percaya diri, siap berkorban apapun untuk kebaikan bersama, dan begitu banyak hal positip lainnya yang tersirat di sana. Orang bisa belajar banyak tentang tingkah laku, tentang kesetiaan, tentang kebersamaan, tentang teknis membangun bangunan, tentang harapan, dan tentang nilai-nilai lainnya yang semuanya sangat mahal harganya, yang dimata Tuhanpun lebih mahal dari puluhan ribu nyawa manusia dan ribuan trilyun harta.
Lihatlah juga, betapa Allah berkuasa atas segala sesuatu dan betapa kecilnya kita, tetapi toh tetap diberi arti olehNya. Jangan sia-siakan hidup ini. Buatlah itu menjadi berarti dengan bersatu dalam KerajaanNya. Jangan picik memikirkan kerajaan sendiri, yang bagaimanapun kita berusaha meraihnya, tetaplah amat sangat kecil.
Selamat Paskah. (Sis12)
********************