Andaikata Jokowi-Ahok menggusur penghuni liar bantaran kali, memberi ongkos secukupnya dan bus untuk pulang kampung kepada penghuni liar yang bukan penduduk DKI - Jakarta, apa yang akan terjadi?
Protes dari mereka yang tersisihkan dan mereka yang merasa berhak melindunginya pasti merebak. Mungkin juga berujung kerusuhan sementara. Banyak air mata akan menitik, tetapi juga matahari yang bersinar setelah sekian lama tertutup awan kelabu. Mengapa?
Masalah akan selalu muncul ketika hukum lemah, ketika orang tidak tahu lagi mana hak dan kewajiban. Itulah salah satu wajah paling parah di Negara ini. Kita sudah menyaksikan bagaimana di kalangan penguasa dan pengusaha, hukum dipermainkan seenaknya seperti milik mereka sendiri, seolah-olah apapun bisa dibeli dan diatur dengan uang. Disini uang bahkan mengalahkan Tuhan.
Di sisi yang lain, rakyat seperti kalap, apapun yang bisa mereka babat akan mereka sikat: Bantaran kali diduduki, trotoar dikuasai PKL, besi tutup parit dan sekrup jembatan yang bisa mereka sikat akan mereka embat, pajak direkayasa dan ditilap, dll tindakan absurd yang tidak masuk akal sehat. Semua kacau balau karena pembiaran dan perkosaan hukum yang sudah berlangsung lama. Polisipun sama saja, bertindak bukan karena tanggung-jawab profesional, tetapi sangat terasa begitu penuh kepentingan pribadi dan korps, sehingga kredibilitasnya rusak di mata masyarakat.
Ketika hukum dan pemimpin lemah, maka komunitas (maaf) ‘kebun binatang’ yang muncul, bukan komunitas manusia beradab yang punya pemikiran dan nilai-nilai mulia. Karena komunitas ‘kebun binatang’ bisa membangun kota, maka kotanya super ruwet dan acak-kadut. Tetapi karena alam yang sederhana dan bijak ini juga punya hukum dan batas toleransi tersendiri, maka apapun yang tidak sesuai dengan keseimbangannya akan kena dampaknya. Akibatnya, banjir dan longsor dimana-mana, perubahan cuaca ekstrem terjadi, ledakan gas dan lumpur menyembur dari dalam tanah, dan macam-macam bencana lagi.
Hukum yang intinya mengatur hak dan kewajiban itu diajarkan oleh semua Nabi sebagai sosok pemimpin. Yesus, misalnya, mengajarkan hal itu dalam dialogNya dengan orang Farisi yang berusaha menjebakNya dengan pertanyaan yang kalau salah jawab akan menggiringNya ke pengadilan: “Guru, apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar?” Mereka berharap agar Yesus yang teguh membela kebenaran dan orang-orang tertindas minimal akan mengkritik Kaisar yang membebani rakyat dengan pajak tinggi dan syukur-syukur kalau memprovokasi dan menyuruh rakyat agar membelot bayar pajak, sehingga jawaban Yesus akan bisa dijadikan dalih untuk menyeretNya ke pengadilan dan penjara. Tetapi Yesus yang tahu isi pikiran orang-orang di hadapanNya itu menjawab: “Mengapa kalian menjebak Aku, hai orang munafik! Perhatikanlah olehmu: Gambar siapakah yang tertera dalam mata uang logam yang berlaku di Kerajaan ini? Bukankah itu gambar Kaisar? Aku berkata kepadamu: Berikanlah hak Kaisar kepada Kaisar, dan berikanlah hak Allah kepada Allah.” Orang Farisi itu terheran-heran dan ngeloyor pergi.
Berikanlah hak kepada yang berhak. Berikanlah hak Negara kepada Negara, hak Rakyat kepada Rakyat dan hak Tuhan kepada Tuhan. Itulah hukum yang wajib ditaati oleh seluruh umat manusia di muka bumi ini. Melanggarnya adalah salah dan menimbulkan kekacauan, apapun dalihnya, karena sebagian besar hukum dibuat atas persetujuan bersama dan sebagian kecil adalah Hak Prerogatif (Hak Khusus) Pemimpin/Penguasa/Tuhan.
Tetapi perlu diingat juga, kalau punya hak ya jagalah hak tersebut, jangan ditelantarkan berlama-lama sehingga membuat yang memerlukannya tanpa pikir panjang segera memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi sesaat atau bahkan selamanya. Hal semacam ini banyak terjadi di Negara ini.
Jadi kalau Jokowi-Ahok membersihkan bantaran kali dari penghuni liar yang menempati tanah Negara dan memulangkan mereka yang bukan penduduk DKI Jakarta ke kampung halamannya, itu jelas bukan salah Jokowi-Ahok. Urusan mereka menjadi rakyat yang tersisihkan adalah urusan Pemerintah Pusat, bukan urusan Pemprov DKI Jakarta. Jadi kalau mau protes bukan ke Pemprov DKI Jakarta tapi ke Presiden dan para menterinya: mengapa mereka tidak bisa menyejahterakan rakyat pedesaan sehingga mereka berbondong-bondong melakukan urbanisasi?
Bahkan kalau Jokowi-Ahok tidak berbuat begitu malah salah. Pertama, mereka tidak bisa memperbaiki tanggul sungai atau menormalisasi sungai. Akibatnya, banjir merugikan seluruh penghuni kota dan merampas harta benda semuanya serta menimbulkan kerugian lainnya yang sangat besar dan berlangsung terus-menerus. Kedua, mereka tidak memberi pelajaran kepada Pemerintah Pusat untuk segera membenahi pedesaan agar faktor urbanisasi bisa ditekan seminimal mungkin.
Memang ada model penyelesaian bantaran kali seperti yang ditawarkan oleh Romo Mangun Wijaya di tepi kali Code – Jogyakarta, tetapi model seperti itu tidak cocok untuk Jakarta dan banyak kota besar lainnya yang sangat membutuhkan ruang terbuka hijau disamping sungainya sendiri sangat riskan meluap.
Adalah baik kalau Jokowi-Ahok berusaha membangun rumah susun, kampung deret, dll untuk warga (khususnya DKI Jakarta) yang tergusur dari wilayah bantaran kali. Tetapi kalau waktu mendesak dan banjir makin besar, maka memindahkan mereka yang warga DKI Jakarta ke rumah kontrakan sederhana adalah jalan keluar yang baik. Ini semua agar pembenahan bantaran kali bisa segera diselesaikan dengan tuntas dan seluruh rakyat memperoleh penegakan dan pembelajaran hukum secara benar.
Persoalan Bantaran Kali hanyalah salah satu contoh, masih banyak contoh lainnya yang membuat kota menjadi tidak nyaman untuk dihuni: PKL yang awut-awutan, penjarahan tanah pinggiran rel KA, penjarahan jalur hijau, kolong jembatan, dll lagi.
Contoh lain yang berkaitan dengan Hak Tuhan, misalnya persoalan “Suku Bangsa”. Banyak orang bertindak rasis dan menistakan suku bangsa lain, biasanya yang minoritas jadi korban. Lebih gila lagi, yang melakukan hal tersebut justru orang yang mengaku percaya Tuhan 100%. Coba pikir: mana ada orang yang lahir bisa memilih mau jadi suku apa? Bukannya kita menjadi suku bangsa apa adalah Hak Tuhan 100%? Jadi kalau kita menistakan suku bangsa lain sebagai brengsek, dll, itu sama artinya kita menistakan Tuhan mengapa menciptakan suku brengsek tersebut. Ini tidak ada bedanya kita menghujat dan memprotes Tuhan mengapa Dia menciptakan Kacoa – binatang yang sering anda bunuh dengan sandal. Padahal, fungsi Kacoa di alam ini saja mungkin tidak anda ketahui, tapi anda sudah bertindak seolah-olah lebih pintar dari Tuhan sehingga merasa layak mengaturNya. Jadi omong kosong paling besar kalau kita mengaku percaya Tuhan sambil menikam dari belakang. Yang brengsek jelas kita sendiri.
Mari kita bercermin diri, menakar persoalan dengan hukum yang benar dan keberadaannya sudah kita hormati bersama. Bertindak atas dasar belas kasihan saja belum tentu benar. Orang bijak harus cerdik/cerdas dan tulus sekaligus. Orang yang cerdik saja bisa jadi bajingan besar macam koruptor itu. Sebaliknya, orang yang tulus saja bisa jadi oon dan mencelakakan banyak orang lain karena ada hukum dilanggarpun bisa jadi OK-OK saja saking tulusnya. Apalagi kalau sudah tidak cerdik/cerdas ditambah tidak tulus lagi, hanya jadi sumber bencana. Sayangnya, orang seperti yang terakhir itu masih sangat banyak.
*****************