Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Sarjana Hukum Tidak Tahu Bikin Surat Kuasa

20 Oktober 2010   12:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:15 314 0
ih malunya klo ngaku Sarjana Hukum tapi ngak tahu bikin Surat Kuasa, apa mau dikata?


Telah menjadi rahasia umum, bahwa hampir sebagian besar Sarjana Hukum (SH) tidak mengetahui pembuatan surat kuasa (SK). Padahal SK menjadi hal yang paling urgent atau penting dalam mengurus setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum apapun bentuknya. Memang hal yang mengherankan sekaligus aneh bin ajaib, ketidak tahuan itu merata dihampir sebagian besar SH yang ada di Indonesia terkhusus pula di Makassar.


Terbilang aneh, sebab sebagian besar SH yang dulunya mahasiswa fakultas hukum baik negeri maupun
swasta pasti belajar tentang hukum perdata ataupun hukum acara perdata, atau yang lebih spesifik hukum perikatan ataupun hukum dagang. Mata kuliah tersebut, pada intinya adalah berbicara subjek hukum atas tindakan yang ditujukan terhadap objek hukum. Misalnya saja, perikatan dalam bentuk perjanjian jual beli tanah yang dilakukan para pihak, dimana salah satu pihak ataupun kedua belah pihak tidak dapat melakukannya sendiri dan menggunakan pihak ketiga sebagai kuasa dalam pengurusan penjualan hingga balik nama sertifikat tanah tersebut.


Pihak ketiga tidak mungkin menjadi pihak yang mewakili para pihak yang ingin menjual dan membeli itu tanpa pengalihan kuasa dengan cara pemberian kuasa dan penerimaan kuasa, yang lebih tepatnya disebut dengan SK. Keberadaan SK inilah yang kemudian menegasikan dan atau melegalkan pemindahan kuasa dari pihak pemberi kuasa terhadap penerima kuasa.


Tentunya, ketika fenomena itu ditemukan oleh SH ataupun calon SH mau tak mau mereka tak dapat melarikan diri dari peristiwa itu dengan mengatakan, “kami tak tahu membikin surat kuasa”. Padahal, SK itulah menjadi titik penentu awal keterlibatan pihak ketiga untuk masuk membantu jalannya proses hukum dalam perjanjian jual beli tersebut. Artinya jika itu terjadi, memungkinkan bahwa seorang SH atapun calon SH tak dapat melanjutkan menangani peristiwa atau kasus tersebut. Padahal kasus itu, setelah membuat SK harus pula mengetahui pembuatan surat perjanjian, akta jual beli, pengurusan hingga penerbitan sertifikat, dan ataupun kemudian peristiwa tersebut akhirnya bersengketa maka harus diselesaikan dengan jalur litigasi yakni pengadilan.


Nah yang jadi pertanyaan mendasar, bila kemudian para SH itu tak dapat membuat SK bisa dipastikan hal itu terjadi dikarenakan oleh beberapa faktor diantaranya; tidak diajarkannya sewaktu kuliah, tidak adanya materi pembuatan SK, dosennya sendiri ternyata juga sebagai SH juga tidak bisa membuat, dan yang terakhir karena SH itu memang tak mau belajar.


Banyak ditemukan pengakuan SH maupun yang masih berstatus mahasiswa, ketika ditanya kenapa mereka tak mampu atau tak tahu membuat SK memang jawabannya sangat variatif dan kebanyakan mereka mengungkapkan bahwa mereka memang tidak pernah diajarkan oleh dosen mereka. Dan lebih parahnya lagi, sebagian besar mahasiswa belajar hukum perdata ataupun hukum acara perdata tapi tidak belajar tentang SK yang merupakan landasan dasar tindakan para pihak.


Kenapa kemudian SK sangat dibutuhkan untuk dipelajari, karena SK merupakan dasar keterlibatan seorang SH dalam perkara baik dia seorang SH yang bukan Advokat maupun Paralegal dalam perkara pihak ketiga. Apalagi, SK sendiri diketahui memiliki karakteristik tersendiri dalam pembuatannya yang sangat tergantung peristiwa hukum yang terjadi dilapangan.


SK sendiri berdasarkan fungsinya terbagi dalam bentuk umum, istimewa maupun khusus. Dalam SK pun memiliki struktur tersendiri, ada pengaturan hak dan kewajiban pemberi dan penerima kuasa, tata cara atau cara berakhirnya kuasa, dan legalitas SK itu sendiri. Apakah kemudian hal itu pernah dipelajari ataupun diketahui hingga dapat dipraktekkan seorang SH? Dapat dipastikan hal itu tidak diketahui apalagi dipraktekkan.


Siapakah kemudian yang perlu dipersalahkan atas realita itu? Mungkin hal ini tak perlu dijawab, karena mungkin sudah diketahui bersama siapakah yang harus dipersalahkan. Tapi terus mengumpat dan saling menyalahkan tanpa ada solusi bukan pula sebagai jalan keluar yang bijak (baca : sarjana). Untuk itu, ada solusi yang harus dilakukan. Apakah kemudian solusi itu? Ataukah kita harus menyalakan siapa yang harus kita persalahkan? Silakan anda berkomentar.


untuk liat solusinya disini ada beberapa solusi :
e-buletin justitia (PDF)

https://docs.google.com/fileview?id=0Bw3hSmOOPvp7MjM0M2M2YWMtZWYxNC00MTRkLWEyNDEtMjU0ZTY4MzFkYjY3&hl=en

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun