Sejak merantau ke kota, Fariha yang cupu bermetamorfosis menjadi suhu.
Kuakui, tak mudah bagi orang-orang yang seangkatan denganku waktu dulu untuk kuliah ke kota, selain:
Pertama, mempunyai tekad. Kedua, nekad.
Jangan pernah berfikir terlalu lama dan jangan pernah memikirkan yang jauh-jauh.
Seumpama: berapa biaya kuliah yang harus disediakan di awal masuk, berapa sewa kos, berapa biaya hidup bulanan, berapa beli buku penunjang. Jika sakit adakah persiapan untuk pengobatan. Jika pada akhirnya ekonomi kita sulit, tidakkah merasa malu untuk balik kanan, kembali ke kampung halaman.
Semakin banyak dimunculkan 'kata jika', semakin gamang mengambil keputusan untuk merantau ke kota.
Syarat ketiga merantau ke kota: lulus seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri melalui jalur undangan. Sebab jika berharap melalui jalur tes, sulit sekali untuk menembusnya. Di kampung belum tersedia lembaga bimbel khusus masuk Perguruan Tinggi Negeri.
***
Maka dengan segenap keberanian, Fariha memulai petualangan menjadi mahasiswi pada sebuah Fakultas bergengsi.
Di kalangan teman-temannya, Fariha dikenal sebagai mahasiswi yang ambis. Ia rajin ke kampus, selalu mengumpulkan tugas-tugas tepat waktu, baca buku pustaka menjadi langganannya.
Saat awal-awal kuliah, ia langganan penyakit mag. Dokter klinik kampus bilang, ini akibat makan yang sembarangan dan pikiran yang diliputi banyak kecemasan.
Seiring berjalannya waktu, Fariha mulai paham mengatur pola makan, dan belajar mengorganisir pikiran.
Tak susah bagi seorang Fariha menyelesaikan kuliah dalam waktu 3.5 tahun. Ia dulu pernah berjanji pada diri untuk mengejar segala ambisi.
Salah satu pintu masuk untuk mendapatkan pekerjaan bonafide, Fariha terpaksa memperpanjang jarak rantaunya. Jakarta adalah pilihannya.
Tuhan memeluk mimpi-mimpinya. Ia bekerja pada salah satu perusahaan multinasional.
Di kampung, Fariha menjadi buah bibir. Ia adalah alasan bagi orang tua untuk menitipkan anak mereka ke kampus, berapapun biaya yang harus ditanggung. Berharap suatu hari nanti bernasib yang sama dengan Fariha.
***
Pada usia yang telah mencapai angka tiga puluh tiga, Fariha menikah dengan Zamzami, seorang petinggi kantor Imigrasi.
Setahun berselang, ia dikaruniai seorang anak perempuan. Sempurnalah kebahagiannya. Tapi dari sinilah penderitaan demi penderitaan (yang tak tertanggungkan) itu bermuasal.
Bermula dari kegetiran Zamzami kepada anaknya, yang sering ditinggal, berangkat kerja sebelum matahari terbit, dan kembali saat malam telah semakin kelam
"Jika engkau berkenan, cukup aku saja yang bekerja, sedang engkau tinggallah di rumah saja, mengiringi tumbuh kembang anak perempuan kita, menjaga sehatnya, menghebatkannya...."
Belum selesai suaminya berbicara, Fariha langsung memotong kalimat-kalimat haram yang keluar dari mulut lelakinya.
"Inilah yang aku takutkan saat kita telah menikah dan mempunyai anak. Mana mungkin aku yang telah meninggalkan kampung halaman, meninggalkan Ayah dan Ibu dengan segala kesenangannya, merantau dan kuliah, berdarah-darah belajar agar cepat tamat, keluar masuk rumah sakit karena kelelahan mengejar impian...."
Masih belum selesai--sambil menggenggam sebuah gelas yang ada di depannya--Fariha dengan segenap emosinya melemparkan ke dinding. Gelasnya hancur seperti hatinya yang malah jauh lebih hancur.
"Aku bekerja juga untuk membahagiakan keluarga. Lihat rumah yang kita tinggali ini, mobil yang membawa kita kemanapun kita pergi, kontrakan sepuluh petak, tak mungkin ini datang dengan sekejap. Daripada aku meninggalkan pekerjaan, biarlah aku meninggalkan kamu!"
Untung kalimat terakhir, berhasil ia tahan, dan tak sempat dimuntahkan. Ia takut nanti berakhir dengan perceraian (begitu keyakinan menurut agama yang ia anut)
Sejak peristiwa berdarah itu, Zamzami tak pernah lagi mengungkit-ngungkit keinginan agar istrinya Fariha berhenti bekerja.
"Apa yang terjadi, terjadilah," batin Zamzami.
***
Hari itu, hari pertama mereka kembali bekerja, setelah liburan usai. Sesaat hendak berangkat, dipeluknya anak perempuannya, badannya panas. Mereka buru-buru berobat.
"Suhunya terlalu tinggi, harus dilakukan pemeriksaan darah, jika hasilnya 'positif', terpaksa anaknya di rawat inap."
Bukan kali ini saja anaknya sakit, bahkan dalam satu bulan bisa tiga hingga empat kali bolak balik rumah sakit.
Pernah pembantunya memberi obat tidur, mencampurkannya ke dalam susu. Alasannya, tak sanggup melakukan pekerjaan yang tak pernah berujung: memasak, mencuci, menggosok, merawat anak, dan beberes rumah.