Urgensi pengetahuan akan pemaknaan kata-kata gharib atau asing pada Al-Qur’an sangat perlu diperhatikan, terutama dan terwajibkan bagi para mufassir. Pemaknaannya harus dilakukan secara cermat, teliti, dan tepat sebab berkaitan langsung dengan ketentuan dari maksud firman-firman Allah SWT. Jika sampai seorang mufassir kedapatan menafsirkan suatu makna Al-Qur’an dengan subjektifitas diri sendiri, maka sebenarnya ia telah berbual dan berbohong dengan menjual nama Allah SWT.[1]
KEMBALI KE ARTIKEL