Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Karakter Pemotret Dikenali dari Karyanya (?)

6 Maret 2014   08:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:11 64 0
Karakter Pemotret Dikenali dari Karyanya Minggu 2-3-2014 adalah pertemuan keempat workshop fotografi yang diadakan oleh Lensational Hong Kong dan mengambil tempat di private studio, The Photocrafters, Sheung Wan. Selain peserta, beberapa tim dari Lensational dan fotografer sekaligus pengajar di salah satu universtas di Hong Kong, Simon Wan Chi-Chung, juga hadir wartawan dari Apple Daily (semoga tidak salah dengar). Sedangkan dari Indonesia sendiri hanya dihadiri oleh 5 peserta yang semuanya adalah para perempuan buruh migran (BMI). Mr. Simon Wan Chi-Chung kiri. Sesi wawancara. Pada pertemuan ketiga yang lalu(17/3), Simon Wan ‘mengoreksi’ karya para peserta yang memotret khusus memakai telefon genggam dengan memasukkan ‘feeling’ dalam karya. Koreksi di sini bukan mengenai teknik tetapi latar belakang atau cerita di balik foto tersebut. Canda dan apresiasinya terhadap karya-karya peserta membuat suasana menjadi lumer. Bahkan seperti tidak ada sekat antara guru-murid, warga lokal-migran, lelaki-perempuan, senior-junior meski hanya dihadiri oleh beberapa peserta asal Indonesia saja. Hingga pada pertemuan keempat. Di mana peserta lebih universal, kali ini ‘PR’ dari pertemuan ketiga pun dinilai. Hanya empat peserta yang menyetor karya dan semuanya adalah BMI. Kurasi foto ini (sekali lagi) bukan untuk menghakimi foto bagus-jelek, tetapi lebih melihat karakter fotografernya dari kecenderungan karyanya. Dengan begitu, bibit-bibit fotografi yang ada pada peserta bisa dimunculkan. Setidaknya, Simon Wan telah menunjukkan bahwa fotografi tidak melulu teknik tetapi praktek. Terhadap karya saya contohnya. Hal ini bermula dari keisengan saya ketika saya bebas tugas dari masak lantaran majikan makan di luar. Mulailah saya menggelar studio mini dadakan di ruang tamu. Saya keluarkan barang-barang dari lemari hias. Saya gelar kain hitam untuk latar belakang. Tidak hanya itu, saya juga mengeluarkan mainan yang saya koleksi. Sebenarnya, alasan utama saya adalah tidak adanya kesempatan keluar rumah untuk hunting foto pada hari kerja. Mau tidak mau dan demi mengumpulkan PR, jadilah saya memotret di dalam rumah. Tapi ingat, ini tidak untuk ditiru! Kontrak kerja jadi taruhannya. Bayangkan, jika tengah asyik memotret tiba-tiba majikan pulang dan melihat rumah berantakan, waduh… bisa diPHK dadakan. Ingat itu. Foto saya memang hanya menampilkan beberapa objek saja. Itu pun masih trial dan error. Saya bermain-main di setting, white-balance (WB) dan angle untuk membuat perbandingan. Ketika sudah tidak ada sinar matahari, saya bermain-main dengan senter dan candelier untuk bermain pencahayaan. Bila dalam suatu forum fotografer akan ‘menghajar’ habis-habisan foto-foto gagal, under atau over exposure, tidak begitu dengan Simon Wan. Melihat foto-foto saya, ia bilang saya cenderung ke still life. Ia melihat saya seperti sedang bertutur. Ia malah meminta saya untuk menuliskan jalan cerita dulu barulah mengambil fotonya. Hahaha, saya sendiri memang ingin ‘mendongeng’ dengan foto yang saya anggap sebagai foto ilustrasi. Sedangkan hasil permainan WB, ia menyarankan untuk mencoba dengan monochrome. Benar, semua foto saya berwarna. Saya sendiri cenderung lebih suka convert ke hitam-putih di software daripada langsung dari kamera. Maka, kloplah saran-saran Simon Wan dengan apa yang ada dalam fikiran saya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun