Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Setali Tiga Uang

12 Oktober 2011   10:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:02 166 0
[caption id="attachment_135353" align="aligncenter" width="268" caption="by google"][/caption] Setali Tiga Uang By: Sin Na Apartemen, tengah malam. “Thai Thai, Sin Sang, cou dau.” “Cou dau,” jawab mereka tanpa menoleh ke arahku. Acara berita di TV Cable lebih penting daripada menatapku. Tak apalah toh mereka masih mau menjawab salamku. Jam dinding yang telah melewati angka 12 menjadi saksi perjuanganku mengubah nasib di HK ini. Bak bos kedua di rumah ini, dia selalu mengintai tiap gerak gerikku. Dialah pendikte waktu dan pengatur tindak tandukku. Namun, dia pula yang mengingatkanku akan kedisiplian bekerja dan beribadah. Tak seperti malam-malam sebelumnya, malam ini tidurku tidak nyenyak. Mata terpejam tapi fikiran gentayangan. Kucoba telentang, aku tak tenang. Kucoba miring, kepalaku jadi pening. Kucoba tengkurap, malah dadaku sesak dan susah bernafas. Hanya cara kuno yang akhirnya muncul disaat genting seperti ini. Menghitung Domba. 1 domba, 2 domba, 3 domba, … 998 bomba, 999 domba, 1000 domba … bahkan hitungan ke 1113 domba mataku belum bisa terpejam. Hasrat biologisku muncul. Aku harus segera ke toilet jika aku tak ingin ngompol di kasur. Krrrk, krrrk, krrrk begitu bunyi besi tua yang aku injak. Posisi tidurku di ranjang atas. Sedang ranjang bawah ditempati anak asuhku. Aku sudah bosan berisik seperti ini bila tengah malam aku ingin pipis. Menurut cerita mereka, ranjang susun ini sudah berusia lebih dari 10 tahun, lebih tua dari usia anak asuhku itu sendiri. Pasalnya, ranjang ini adalah milik saudara bosku yang sudah tak mau menggunakan ranjang ini. Dasar bosku suka ngoleksi barang bekas dengan alasan pengiritan, maka ranjang usang pun masuk gudang yang sejak kedatanganku disulap menjadi kamar tidur. Maka tak ayal bila di sana-sini catnya mengelupas dan berkarat pada bagian yang mengelupas tadi. Begitu acara toilet tadi beres, kembali aku menekuni ranjangku. Aku habiskan malam ini hanya dengan duduk di salah satu sudut ranjang dengan memejamkan mata tanpa merasa ‘tertidur’. Ulahku ini aman dari jangkauan majikan karena mereka telah terlelap begitu acara berita di TV Cable itu selesai. Bila waktu tidur tiba, peraturan wajib di rumah ini dan mungkin rumah-rumah di HK lainnya adalah mematikan semua alat elektronik. Hanya satu lampu yang tak boleh dimatikan dalam keadaan apapun. Itulah ‘lampu kehidpan’ yang berbentuk seperti lombok berwarna merah di altar sembahyang yang menerangi patung ‘Kun Yam’. Dewi cantik yang senantiasa menebarkan pesona dan kedamaian itu_menurut pemeluk agama Thao. Apartemen, 07:00 pagi. Jam segini biasanya kami, 8 orang, telah berdiri di dekat pohon palm yang tumbuh di dekat pintu masuk blok 3. Di sinilah anak asuhku naik school busnya. Keenam orang lainnya yang kumaksud adalah tiga murid plus tiga guardnya. Dari keenam orang itu yang aku kenal hanya Joey, anak berusia 9 tahun yang sekolahnya satu tingkat dengan anak asuhku, dan Wartiah, teman seprofesiku yang usianya naik drastis dari 17 tahun menjadi 22 tahun gara-gara ulah PT-PJTKI dan kenekadannya bekerja ke HK. Posturnya yang tinggi besar dan guembrotnya kaya gajah bunting kena beri-beri kena sengat lebah membuat orang percaya saja atas kongkalingkong usia ini. Malah aku yang jelas-jelas menggunakan nama, tetala, dan alamat asli dikira memalsukan data. Yah, postur mungil tapi imut membuat mereka menafsirkan usiaku semaunya sendiri. Mereka bilang kalau aku baru berusia 12 tahun. Wow … Alhamdulillah, awet muda! Terimakasih doanya. Begitu yang diajarkan para ukhti di kelompok pengajian ahad. Syukron katsiir. Padahal terjadi pengerutan usia sebanyak satu dasawarsa! “Cou san” sapaku kemudian. “Cou san” sapa keenam orang itu hampir bersamaan. Setelah kalimat itu tak ada kata-kata lagi selanjutnya. Bahkan kebisuan di tengah kebisingan pagi ini berlanjut hingga school bus berwarna dasar silver dan biru laut itu datang menjemput keempat murid SD itu. Tanpa komando mereka berhambur masuk kedalam bus. Kami, para guards, melambaikan tangan mengantar kepergian mereka ke kawah candradimuka abad 21 dengan senyum. Asli ini hanya senyum aspal, asli tapi palsu! Ini hanyalah pemenuhan dari segala ’gwai cak’ yang berlaku di tempatku bekerja. Aturan pertama; harus masak makanan yang uenak-uenak tiap hari tapi dengan biaya yang seirit mungkin. Kedua; harus selalu tersenyum dan riang gembira, urusan sedih harus disembunyikan di balik gelapnya malam! Ketiga; on time. Keempat; harus benar-benar care pada anak-anak, mulai dari pola didik, makan, pakainan, mainan, hingga PR. Dan kelima; peraturan ini tak bisa diganggu gugat dan sanksi berlaku bagi seluruh anggota keluarga tanpa kecuali. Peraturan ini bisa berubah sewaktu-waktu sesuai amandemen kekeluargaan walau pemberitahuan mendadak. So, wajar bila HK adalah surga sekaligus neraka bagi TKW Indonesia. Keempat guard tadi berpencar, kembali ke rumah masing-masing. Aku dan Wartiah berbalik 180 derajad dari tempatku memandang kepergian bus tadi. Aku kumpulkan kekuatan. Aku rangkai keberanian. Aku pilih kata-kata dan kalimat yang berkualitas untuk membuka perbincangan serius pagi ini. Aku sudah ’tho’ masalah ini terlalu lama. Satu setengah tahun! Aku sudah capek menunggu. Aku sudah muak mendengar semua alasan-alasannya. Aku sudah bosan menagih janji-janji yang dia ucapkan sendiri. Aku benar-benar butuh! “Eh, gimana dengan uang itu,“ keluar juga kalimat ini dari mulutku yang hanya meluap-luap di otak sejak sebulan terakhir ini. “Aduh, gimana ya Mbak Lala, aku belum gajian.“ “Masa belum gajian, ini loh sudah kelewat tanggal 15. Kamu bilang gajianmu sekitar tanggal 10?“ “Bulan ini aku nggak digaji sama majikanku. Soalnya bulan kemarin aku minta sekalian gajiku bulan ini. Bapakku sakit dan harus operasi. Kakak iparku mabuk-mabukan lalu tawuran di jalan. Sekarang aku yang harus nebus dia di penjara. 20 juta lho, Mbak“ “Tapi kamu udah bilang mau balikin bulan ini. Aku percaya sama kamu. Trus sekarang ...“ “Siapa juga yang suruh percaya sama aku!“ Apa! Kalimat seperti ini kok bisa-bisanya dia ucapkan. “Lho, uang kemarin kan kamu yang terima. Urusan mau kamu kasih ke orang lagi atau kamu hambur-hamburkan sendiri, aku nggak tau.“ “Aku loh yang ditipu sama Irma!“ “Bukan kamu yang ditipu, tapi aku! Kamu dan temanmu itu ’kap mai ngak ngo’. Setali tiga uang!“ Victoria park, 11:00 siang. Wajah Victoria Park sama seperti seminggu yang lalu. Dingin, berjubel, dan glamour ! Aku tak asing melihat peragawati dadakan yang sliwar sliwer di jalan setapak yang menutupi tiap jengkal tanah taman ini. Aku tak bisa mengatakan ini adalah kemajuan atau kemunduran. Masing-masing orang punya sudut pandang masing-masing. Bagi yang gila fesyen, victoria adalah trend setter dan kiblat mode. Parisnya kampung jawa. Tapi bagi yang ‘lurus dan katrok’, victoria adalah gudang maksiat dan tempat clubingnya rayuan syetan yang terkutuk. Aku tak setuju dengan dua opsyen itu. Aku lebih suka mengatakan victoria adalah tempat impian yang sudah aku kenal sejak dari mimpiku di PT-PJTKI dulu. Namanya pun sudah aku dengar lebih dulu dari nama bosku. Ketersohoran namanya mampu bergaung sampai di negara tetangga petempatan TKI lainnya mengadu keberuntungan. Tak lain dan tak bukan adalah karena di Victoria Park ide-ide kreatif bermunculan, organisasi berjamur, tempat melepas penat dan rindu pada sodara senasib sepenanggungan walaupun bagi sebagian besar penghuni Victoria adalah manusia-manusia normal yang sadar-sesadarnya telah menghabiskan waktu sia-sia tanpa berbuat apa-apa sambil duduk dan ngerumpi di atas gelaran plastik sampah di dekat semak-semak yang mengitari lapangan rumput vitoria. Aku adalah bagian dari manusia-manusia itu ! ’’Kok nglamun aja, La !’’ Tanya Bu Dimas. ’’Si Lala mah suka gitu semenjak ditinggal pacarnya kawin,’’ celetuk Nanik. ”Enak aja ngomong. Aku ga bisa pacaran jarak jauh tau! Selain karena biaya, aku juga ga bisa melampiaskan kangenku sama doi. Susah praktekinnya” “Kamu saja yang ga canggih, La. Ada telfon, ada internet! Liat aja teman-teman kita. Mereka udah pada professional. Nggak kaya kamu, kacangan!” “Mending kacangan daripada jerawatan. Kamu bilang kalo makan kacang bisa jerawatan, kan?“ Tuh kan omongannya ke mana nyambungku ke mana. “Sudah, sudah. Kalian ini kalo kumpul kaya kucing sama anjing. Nggak ada diemnya“ “Aku punya prinsip sendiri untuk masalah pacaran ini, mohon pengertiannya, OK!“ Aku pura-pura muntab. “Lalu ada masalah apa sampai kamu hilang kecerianmu?“ “Masalah kemarin itu loh, Bu.“ “O, temen kamu yang pinjam duit seribu itu?“ Aku mengangguk. “Lalu?“ Aku menoleh ke arah Bu Dimas dan Nanik secara berganti-ganti. “Suer disamber gledeg, aku hanya memposisiskan sebagai pendengar setia, tanpa komentar, tanpa publikasi, tanpa memberi bantuan. OK!“ Nanik yang belum tahu asal muasal cerita ini tahu diri bahwa dia hanya berada di pihak ketiga. Aku menghela nafas sesaat melonggarkan rongga-rongga tubuhku yang terasa seperti dipasung dalam ikatan yang erat. “Bu, aku susah sekali menarik kembali uangku itu. Dia bilang uang itu mau dikasihkan ke Irma, temannya yang di Shatin. Dan Irma yang akan nransfer uang ke rekeningku“ “Siapa lagi Irma? Apa hubungannya“ “Diem dulu, Nik. Kamu bilang kamu nggak akan kasih komentar,“ aku sedikit ketus. “Wartiah bilang Irma pinjam uang ke dia. Lalu Irma yang akan balikin ke Wartiah lewat rekeningku. Dan sebelum uang itu ditransfer, Wartiah minta uang itu dulu. Dan bodohnya aku pun ngasih aja. Jadi uang transferan itu nanti bakal jadi hakku. Tapi masalah ini udah aku ulur dari januari tahun lalu! Begitu kutagih uang itu ke Wartiah, dia bilang ngga ada urusan lagi sama Irma. Malah Irma sudah diterminit dan balik ke Indonesia. Lalu dia bilang dia sudah ngontak Irma di kampung. Sayang Irma sudah kawin dan nggak akan ke HK lagi. Tapi sepupu Irma yang di HK yang bernama Reren yang tinggalnya entah di mana itu bakal gantiin uang yang aku kasihin. Aku juga dikasih nomor telfonnya pula. Tapi apa guna, semua nomor telepon itu ga aktif. Aku tinggal menangisi keteledoranku ini, Bu.“ “Wartiahnya sendiri gimana?“ “Aku ga tahu bagaimana pastinya. Aku sudah tak percaya semua omongannya. Pintar sekali dia bersilat lidah dengan mimik yang sangat-sangat meyakinkan! Dia sama sekali tak merasa sungkan atau malu bila bertemu. Sepertinya tak ada apa-apa. Aku mau bilang kepada bosnya atau minta bantuan bosku tapi aku tak punya bukti. Di HK, negeri yang menjunjung tinggi hukum tak akan begitu saja percaya dengan aduanku. Mereka butuh bukti! Padahal transaksi yang aku lakukan hanya berdasarkan rasa saling percaya karena kita senasib sepenanggungan.“ “Itu yang kamu rasakan, La. Senasib sepenanggungan! Tapi tidak dengan dia, menurutnya elu elu, gue gue!“ “Katanya nggak kasih komentar, Nik“ sela Bu Dimas. Nanik hanya tersenyum lalu menutup mulut. “Padahal itu uang hasil kerjaku tiap hari ngusek-ngusek jumbleng! Bukan hasil kerja plus plus di hari Minggu. Lagi pula, aku nggak mau ditangkap hidup-hidup oleh pihak imigrasi jika aku nekad kerja partem! Saat ini adik-adikku sedang kenaikan tingkat 3 dan baru masuk semester 1. Butuh biaya kuliah, seragam almamater, biaya kos yang dibayar pertahun dan biaya lainnya. Uang seribu itu sangat banyak menurutku. Belum tentu dalam satu tahun ortuku mampu ngumpulin uang sebayak itu jika mengandalkan pekerjaan di kampung sebagai buruh tani. Apa yang harus aku lakukan, Bu?“ “Ibu ngerti perasaanmu, La. Sedikit banyak ini juga karena kelalaianmu. Kamu doakan saja Wartiah itu semoga dia ingat dan mengembalikan uangmu. Seorang muslimah, doanya pasti dijawab sama Alloh. Walau tidak langsung dijawab segera setelah kamu berdoa, minimal itu adalah tabungan kita di akhirat nanati. Bila kamu mendoakan sesama muslim, kebaikannya kan juga bakal balik lagi ke kamu. Dalam menjaga amanah Alloh yang berupa harta ini kita jarus memposisikan diri seperti tukang parkir. Ada BMW masuk, kita atur tempatnya biar rapi dan tak menggangggu kendaraan lain. Lalu datang lagi panter (pancal terus alias sepeda), kita juga perlakukan sama seperti memperlakukan BMW. Kalau mereka semua pergi, kita juga ga sedih karena mereka bukan milik kita toh!“ “Begitu juga dengan harta, posisikan harta itu hanya sebagai titipan Alloh. Jika harta itu diambil sewaktu-waktu, kita jangan sedih. Toh Dia sangat tahu kemampuan kita memenej harta. Dia bakal ganti yang lebih baik lagi. Titipan Alloh itu tak hanya harta, tapi nikmat-nikmat lain, seperti nihmat hidup sehat, bernafas, bos yang baik, keluarga yang harmonis, suami/ keluarga yang selalu menunggu kita dengan tulus tanpa selingkuh, dan masih banyak nikmat lagi yang tak bisa kita menghitungnya.“ “Dia kan udah berfirman, manakala kita mau menghitung nikmat yang telah Dia kasih ke kita, pake air samudera sebagai tinta pun maka tak akan cukup tinta itu buat nulis semua nikmatNya. Yang harus kita lakukan adalah bersyukur. Karena Dia bakal melipatgandakan nikmatNya untuk kita asal kita mau bersyukur. Tapi kalo kita ingkar, kita bakal menerima azabNya yang sangat pedih. Ngeri deh ngebayanginnya“ “Kalo Wartiah memang punya i’tikad baik, merasa menjadi muslimah sejati, percaya akan hari kiamat, hari perhitungan dan hari pembalasan kelak, insya Alloh dia akan mengembalikan uangmu itu. Tapi jika ternyata uangmu tidak kembali, ihlaskanlah! Itung-itung tabungan akhirat. Jangan takut. Dia akan membalas kebaikan kita walau hanya sebesar dzarrah. Dia juga balas kejahatan kita walau kejahatan itu hanya sebesar dzarrah! Masih banyak teman kita yang kena tipu teman sendiri dengan nominal yang jauh lebih besar dari uangmu itu, La.“ “Bu, kalo memang mau beramal, sekalian aja ke pundi-pundi Maal atau badan-badan yang bergerak di bidang itu, Bu.“ Rupanya Nanik tak bisa mengunci mulutnya. “Nik, nasi sudah menjadi bubur. Kenapa nggak nambahin ayam aja sekalian biar jadi bubur ayam. Kan lebih nikmat dari bubur putih yang hambar!“ Plongggg! Aku sedikit tenang. Aku memang belum bisa ikhlas tapi aku belajar ikhlas. Terimakasih Bu Dimas. Memang, aku harus berfikir positif. “Makanya, La. Cukup sekali ini kamu masuk lubang buaya.“ “Iya, La. Jangan-jangan lain kali kamu malah masuk mulut macan.“ “Seharusnya aku siapin plaster buat ngelem mulut kamu yang ngga bisa diem itu, Nik“ Apartemen, 03:45 siang. Aku camkan-berkali kali ucapan Bu Dimas itu. Tak ada salahnya aku pasrah. Aku yakin apa-apa yang tertulis dalam kitab lauh mahfuz adalah benar adanya. Dan dengan keyakinan itu aku tata kembali bagian hidupku yang terkoyak. Aku siap menatap mentari dengan Lala yang baru, dengan pribadi yang baru dan pandangan hidup yang baru. Cukup satu yang berbeda, keyakinan tidak baru. Pagi ini Joey tak diantar Wartiah. Aku pikir ini hanya kebetulan saja mengingat ini hari rabu. Biasanya memang sang tuan akan mengantar anaknya itu sendiri manakala dia libur yang dia dapat setiap rabu. Masih sama seperti hari-hari sebelumnya, aku yang paling dulu mengucap kata cousan pada keenam orang di dekat pohon palm blok 3. Masih sama jawab mereka, kompak. Sepulang sekolah aku masih tak melihat batang hidung Wartiah. Malah Ayah Joey yang sudah stand by di tempat kami mengantar sekolah tadi. Tak biasanya, Joey tak pergi les. Dia dan ayahnya malah belok berbalik arah dengan arah tempat les karena dia bisa libur hari ini. Usut punya selidik, ada yang beda rupanya. "Lala Cece, Cece yang sama Joey itu pagi tadi pulang ke agen loh." Ucap anak asuhku. "Oya?" Alamak, dia pergi tanpa pesan tanpa bekas? "Kamu tahu kenapa?" Aku hanya menggeleng. "Goe pei yan jau yau yu, kata Joey dia suka keluyuran sepulang anter nasi, dia nggak care sama Joey, malah care sama hpnya. Dia ketahuan nyuri boneka" "Mo luin ap lah, Ah Mui. Lei tim ci a?" "Iya, Joey bilang begitu yang dia dengar dari orangtuanya." Aku ingat-ingat sendiri. Dia kan baru satu setengah tahun. Kok, cepet amat finis kontraknya? Dengan kecepatan kuda terbang, aku langsung menarik kesimpulan, uangku raib! Ikhlas ga ikhlas, aku harus ikhlas. Apa yang ditanam itulah yang ditunai. Ternyata Dia sangat cepat memberi karma. "Tuhan, aku harus sedih atau gembira jika keadaannya begini?" bisikku pelan. End.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun