Meski saya sudah tidak lagi menjadi guru, tetapi ada sebagian hati saya yang tidak bisa lepas begitu saja dari dunia pendidikan. Bagaimanapun, 13 tahun tetap sebagai guru tidak tetap di sebuah yayasan, membekaskan kerikatan batin yang lumayan erat dengan dunia pendidikan, utamanya guru.
Seperti pernah disampaikan oleh Memteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Pak Anies Baswedan, bahwa apapun kurikulumnya, tetap saja kunci utama pendidikan adalah guru. Dan itu bukan omong kosong. Betapa tidak, anak murid, khususnya di sekolah dasar begitu mempercayai ucapan guru. Bahkan, misalnya, ketika guru salah dalam menerangkan suatu materi, tetap saja si anak ngotot "Kata Bu Guru begitu, kok!" Atau, coba kita amati, misalnya tiba-tiba anak kita rajin cuci tangan, tanya kenapa? Boleh jadi ia akan menjawab,"Kata Bu Guru cuci tangan itu baik!", dan seterusnya-dan seterusnya. Ibarat kata, bagi anak-anak(tingkat dasar khususnya), guru itu seperti dewa. Apapun sabdanya pasti dituruti atau setidaknya dianggap sebagai kebenaran.
Celakanya, entah karena sebab apa, ada juga guru yang memanfaatkan fenomena tersebut untuk kepentingan dirinya sendiri. Sebut saja Bu Guru X misalnya, Beliau mendirikan sebuah lembaga bimbingan belajar selain pekerjaan utamanya sebagai guru. Nah, ketika di sekolah tempat dia mengajar ada murid yang harus remedial pelajarannya, maka si murid boleh tidak mengikuti remedial dengan catatan si murid membeli buku bank soal dan menyerahkannya kepada sang guru. Andai saja buku soal itu digunakannya untuk melatih murid-muridnya di sekolah dalam menghadapi UN barangkali masih bisa dimengerti. Akan tetapi, buku soal ini dimanfaatkannya untuk melatih murid-murid di tempat lesnya.
Keadaan seperti itu jelas menimbulkan keresahan di kalangan murid dan orang tua. Bagaimanapun, praktik seperti itu kurang pada tempatnya. Hanya saja, orang tua murid belum berani bergerak karena anak-anaknya masih dalam penguasaan guru tersebut. Anehnya, pihak sekolah seperti tidak mau tahu, meski kabar tersebut sudah sangat 'wangi'. Lebih dari itu, model seperti ini tentu juga merusak semangat pendidikan yaitu untuk mencerdaskan anak bangsa. Justru kepada murid malah diajarkan semacam 'politik transaksional'. Bila tidak mau remed, beli saja buku soal untuk dimanfaatkan gurunya.
Maka menjadi ironi sebenarnya imbauan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan beberapa waktu lalu, bahwa kita hendaknya memuliakan guru. Bagaimana mau memuliakan kalau guru sendiri yang membuat harga dirinya turun? Dan, anehnya ada juga guru SD yang mungkin 'salah' mengartikan imbauan Pak Menteri tersebut, seperti tampak dalam dialog berikut:
"Anak-anak, besok Bu Guru Ulang Tahun, kalian patungan ya beli kado!"
"Lho, kenapa demikian, Bu Guru?"
"Kalian memang tidak ingat, Pak Menteri Pendidikan kan mengatakan bahwa kalian harus memuliakan guru?"
Begitulah, selain masalah kurikulum yang terlalu sering menimbulkan kebingungan, ada baiknya Pak Menteri memperhatikan soal "Pendidikan Transaksional" ini.Semoga menjadi perhatian!