Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Neo-Nomadisme

1 Mei 2019   13:10 Diperbarui: 1 Mei 2019   13:26 79 2
Meminjam istilah Goenawan Mohamad untuk menyebut orang-orang (zaman sekarang) yang berpindah tempat dari satu lokasi ke lokasi lain, aku mencoba memaknai kembali istilah neo-nomadisme. Istilah itu sendiri kuketahui dari sebuah Catatan Pinggir berjudul "Kamar" yang kubaca pada tahun 2011. Catatan itu ditulis pada tahun 2009 dan diterbitkan dalam sebuah majalah. Hingga kini tahun 2015 (ketika ditulis di blog pribadi--dan sekarang 2019 ketika disalin di Kompasiana), catatan itu tampaknya masih saja relevan, bahkan makin terasa sekali maknanya. Mungkin ini tak akan lekang hingga bertahun-tahun kemudian, entah kapan.

Berawal dari suatu malam ketika aku akan berbelanja kebutuhan bersama suami, aku berjumpa dengan sepasang manusia yang berprofesi sebagai pengumpul sampah plastik. Gerimis sudah reda, jalanan basah, dan mereka tampak sedang beristirahat duduk di gerbang komplek. Sang lelaki membawa sekarung besar sampah yang dipanggul di pundaknya, sementara sang perempuan menaiki sepeda motor dengan berkarung-karung sampah dikaitkan di kanan dan kiri kendaraannya. Aku mendengar lelaki itu berkata ketika melewati mereka, "Mau berangkat sekarang?" Tak lama, kuperhatikan, keduanya pun bergegas diri dan pergi meninggalkan gerbang komplek itu.

Rasa yang tidak biasa hadir kepadaku usai menyaksikan mereka. Sulit sekali digambarkan, namun ini bukan iba. Aku tidak kasihan kepada keduanya, aku justru merasa bahwa mereka seperti tengah menikmati aktivitas itu. Kubayangkan bahwa mereka telah berjalan seharian ini mengumpulkan sampah-sampah plastik. Mereka menyusuri trotoar, mengaduk-aduk bak sampah, lalu mereka akan pulang malam itu, namun beristirahat dulu di gerbang komplek sebelum kembali menyusuri jalan untuk pulang dan bersiap menghadapi perjalanan yang sama keesokan harinya. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun