Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

SBY Menolak Kenaikan Harga BBM dan SBY Pula Yang Nanti Pergi Tanpa Meninggalkan Uang Yang Cukup Untuk Kita Rakyatnya, Why Mr. President?

30 Agustus 2014   18:19 Diperbarui: 30 April 2016   16:29 382 0

Hal yang terburuk didalam suatu Negara jika seorang Presiden “Buruk” didalam kebijakannya oleh karena kepentingan pencitraan politik. Dan pencitraan politik ini terjadi ketika Presiden hendak mengakhiri masa jabatannya. Pencitraan itu dapat kita lihat dari upaya SBY untuk tidak menaikkan Harga BBM dengan alasan di masa pemerintahannya, SBY sudah terlanjur menaikkan harga gas elpiji serta tarif dasar listrik. Sehingga bila harga BBM pun dinaikkan, SBY merasa tak enak karena akan makin menyengsarakan rakyat.

Didalam Ilmu Komunikasi maka pendapat SBY yang menyatakan “jika menaikkan harga bbm dia merasa tak enak karena menyengsarakan rakyat,” merupakan upaya dari SBY membentuk Opini Publik secara nasional bahwa SBY Pro Rakyat. Disinilah Pencitraan itu dimulai, ketika SBY secara sadar mengetahui bahwa Opini Publik dari masyarakat yang Kontra dengan Kenaikan Harga BBM dapat menyelamatkan dirinya dari dosa masa lalunya tentang BBM, dan lain-lain. Pencitraan SBY ini dapat dibuktikan melalui teori Machiavelli yang menyatakan bahwa Sang penguasa dapat memanfaatkan patriotisme sebagai kedok untuk menutupi tindakan politis yang kontroversial menjadi seolah-olah tindakan untuk menyelamatkan eksistensi Negara (Sang Penguasa, 1991:40).

Berdasarkan uraian diatas bahwaPencitraan Machiavelli Yang dilakoni SBY , seolah hanya menjadi sebuah upaya bagaimana “pornografi” itu kemudian bisa tampak sebagai sebuah “karya seni” yang indah, padahal itu adalah boomerang bagi si penggunanya nantinya.

Yang dituntut dari SBY ialah seharusnya SBY sadar atas postur RAPBN 2015 nantinya dapat menyulitkan rakyatnya. SBY dituntut juga agar tidak melakukan pencitraan diakhir masa jabatan dan tidak memasang ranjau untuk Pemerintahan Baru Jokowi JK melalui RAPBN 2015.

Secara garis besar, postur RAPBN 2015 dapat disarikan menjadi total pendapatan Negara sebesar Rp 1.762,3 triliyun yang terdiri dari Pajak 1.370,8 trilyun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 388 trilyun dan hibah Rp 3.4 trilyun. Sementara itu, total belanja Negara mencapai Rp 2.019,9 trilyun yang terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp 1.379,9 trilyun serta transfer ke daerah dan dana desa Rp 640 trilyun. Berdasarkan angka-angka itu, defisit dalam APBN 2015 adalah Rp 257, 6 trilyun atau 2.32% terhadap PDB. Namun masalahnya tidak sesederhana figur angka saja. Dari anggaran belanja sebesar Rp 2.000 trilyun lebih itu, pemerintah pusat hanya memegang kendali 68 %. Itu pun tidak bisa diigunakan sepenuhnya karena sudah terkunci pembayaran bunga utang Rp 154 trilyun, dan subsidi sebesar Rp 433 trilyun, sekitar 21.4% dari total belanja total. Bila disigi lebih lanjut, subsidi dalam APBN 2015 ini terdiri atas subsidi energi Rp 363 trilyun, yakni bbm Rp 291.1 trilyun dan listrik Rp 72.4 trilyun. Lalu Rp 70 trilyun sisanya untuk subsidi non energy, mulai pangan Rp 18.9 trilyun, pupuk Rp 35.7 trilyun, public service obligation (PSO) Rp 3.3 trilyun, bunga kredit program Rp 2.5 trilyun, hingga pajak Rp 8.7 trilyun (Gatra,2014).

Berdasarkan postur RAPBN 2015 dan sikap SBY menolak kenaikan harga BBM maka dapat kita simpulkan bahwa SBY telah memasang ranjau untuk pemerintahan baru Jokowi JK dimana SBY pergi tanpa meninggalkan uang yang cukup untuk kita rakyatnya. Dan SBY juga sempat-sempatnya memainkan politik pencitraan diakhir masa jabatannya sebagai Presiden, dengan kepentingan menutupi dosanya atas kebijakannya yang hobi menaikkan harga BBM, dan dosa lainnya di masa lalu. Merdeka…!!!


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun