Meskipun pemerintah selalu berupaya melakukan berbagai pendekatan yang lebih elegan dan rispect dengan pendekatan politik, konteks domestik, diplomasi bahkan negosiasi yang sering digencarkan agar Papua tetap menjadi bagian integral dari bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun tidak bisa dipungkiri, bahwasannya segala upaya penyalahgunaan kekuasaan tidak saja dilakukan oleh pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah (elit lokal) yang semakin masif memperkeruh keadaan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat melalui sikap dan prilaku yang sangat melukai nurani rakyat Papua.
Realitas ini mengandung dinamika konflik yang berkepanjangan di tanah Papua. Berakar dari ketidakadilan yang bersumber dari pemerataan dan kesenjangan politik maupun pembangunan ekonomi yang tidak selaras dengan hak-hak sipil dan asasi.
Kemelut ini berangsur-angsur menjadi sebuah upaya penyekatan yang sifatnya terstruktur dan permanen. Entah itu, karena unsur kesengajaan atau hanya sebuah konsep otomatis yang dilanggengkan.
Kebijakan Otsus yang diundangkan melalui UU 02/2021, Juli 2021, menuai banyak perbedaan penting yang mendasar dibandingkan dengan UU 21/2001. Sebuah kompromi politik yang sangat penting dan mendasar yang sama sekali tidak merespon dan mengakomodir hasrat masyarakat.
Sangat disayangkan, proses pengesahannya sendiri dilakukan sangat tidak partisipatif dan aspiratif tidak melalui konsultasi berbagai stakeholders. Sepihak dan diskusi yang tidak terlalu intens di antara tim pansus dengan rakyat Papua untuk kemudian dibawa ke dalam proses legislasi DPR di Jakarta.
Proses legislasi berjalan mulus-mulus, sementara rentetan konflik yang dibendung sekian lama semakin membara. Banyaknya pertentangan dan perbedaan pendapat yang mucul akibat divergensi penyimpangan di kalangan proletar.
Gejolak ini mempertontonkan berbagai persoalan yang sarat dengan ketimpangan dan perlakuan represif terhadap rakyat sipil. Walaupun hal ini dianggap sebagai gejala sosial politik yang berpotensi menimbulkan ancaman terhadap stabilitas sosial politik dan integrasi nasional.
Namun, polemik ini tidak bisa disikapi secara tegas dan tangkas dengan mengedepankan pendekatan keamanan maupun pembangunan, selama hasratnya belum terpenuhi. Justru semakin memperuncing konflik dan mengakibatkan berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia di Bumi Cenderawasih.
Dalam penerapannya, Otsus hingga kini belum berjalan secara optimal. Berbagai kendala menghinggapi perjalanannya, distrubusi kewenangan dan aliran dana yang tidak jelas, inkonsistensi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, hingga kongkalikong dan konflik kepentingan dan kekuasaan merajalela di antara elit lokal, membuat lahirnya mosi ketidak-percayaan rakyat Papua.
Sementara itu, belum efektif dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua yang sebagian besar masih saja tetap fakir miskin dan banyak yang kelaparan, serta dana otonomi khusus seakan belum menyentuh pelosok masyarakat kecil.
Sejatinya Otsus diharapkan sebagai resolusi dan minimalisir berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di seluruh tanah Papua. Terlepas dari segala kekurangan dan kelemahannya. Sangat disayangkan, karena kekuatan hukumnya masih melemah untuk merespon konsistensi atas perlindungan dan penegakan yang tidak terlalu signifikan.
Dengan demikian, kecenderungan penerapan Otsus yang tidak merespon tuntutan masyarakat dalam tata penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan di tanah Papua dari masa sebelumnya yang belum mampu meredam gejolak dan perjalanan panjang ini direkayasa dan kian berlangsung.
Berbagai dampak dari keberlanjutan Otsus jika tidak segera dibenahi, maka dapat berimplikasi pada menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat akan kesungguhan pemerintah dalam memenuhi aspirasi rakyat.