Kebudayaan sebagai suatu fenomena yang universal telah menempati posisi yang paling sentral dalam seluruh tatanan hidup manusia di dunia. Tidak ada manusia yang hidup di luar ruang lingkup kebudayaan, sebab kebudayaanlah yang telah memberi nilai dan makna pada hidup manusia.
Keberadaan orang Meck sebagai salah satu suku yang kokoh dan berdiri di atas landasan kebudayaannya sendiri, maka penting sekali artinya bagi kita untuk memahami hakikat kebudayaannya.
Seperti halnya, setiap suku dan bangsa di dunia ini memiliki kebudayaan tersendiri, meskipun corak dan bentuknya berbeda-beda dari suku yang satu ke suku yang lain.
Namun, pada prinsipnya kebudayaan suku Meck secara nyata menampakkan kesamaan kodrat manusia dari pelbagai suku, bangsa, dan ras yang ada.
Orang bisa saja mendefinisikan manusia dengan caranya masing-masing, akan tetapi manusia sebagai makhluk budaya adalah suatu fakta historis yang tak terbantahkan oleh siapa pun juga.
Sebagai makhluk budaya manusia merupakan pencipta kebudayaan. Sebagai ciptaan manusia, kebudayaan adalah ekpresi kehidupan manusia di dunia.
Dengan demikian melalui kebudayaan inilah, orang Meck dalam segala kiprahnya telah menorehkan banyak napak tilas dalam panggung sejarah.
Imakhne yang kerap disanjung dalam pemahaman teologi kultural orang Meck, sosok ini dipercaya sebagai "Sang Khalik", "Yang Mahatinggi" atau "Bapa yang di Sorga".
Makna yang terdapat di dalam kepercayaan ini mengandung nilai spiritualitas yang merujuk pada interpretasi teologis yang menjadi panutan hakiki bagi orang Meck.
Melalui Imakhne orang Meck meyakini bahwa manusia mampu berhubungan dengan "dunia" di seberang ruang dan waktu. Bahkan manusia di bimbing naik ke "atas", ke suatu "dunia" yang penuh dengan kebahagiaan sejati.
Pembaharuan pancamuka dalam kebudayaan orang Meck merupakan pencemplungan dari Injil yang diwartakan di kawasan ini, yang juga turut membawa kesadaran baru dalam hidup beragama.
Selain itu, pembaharuan dalam sektor jasmani pun telah menciptakan juga kebutuhan-kebutuhan baru nilai rohani, yang menuntut pergeseran dan pergantian nilai-nilai tradisional, kepercayaan, maupun agama.
Berbarengan dengan itu, relasi Injil dalam kebudayaan suku Meck berhubungan sangat dialektis. Ada sebuah interaksi kreatif yang menjadi pilar utama dalam meyakini Imakhne. Oleh karena itu, kehadiran Injil dianggap sebagai akomodasi dalam suatu tatanan kebudayaan.
Imakhne menjadikan manusia bisa mengenal, melihat, merabah, dan mengimani Injil sebagai interpretasi profetis dalam kebudayaan.
Sebab tanpa Imakhne, orang Meck beranggapan bahwa manusia akan kehilangan orientasinya ke masa depan. Hal itu berarti bahwa ia gagal untuk menjadi manusia yang sempurna sesuai dengan tuntutan eksistensinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan, selain dari pada sebagai ciptaan kebudayaan.
Dengan perkataan lain, tanpa Injil tentang Imakhne yang transenden yang sudah menampakan diri-Nya melalui Isa Al-Masih akan kehilangan jati diri kemanusiaannya.
Setiap unsur, entah yang bersifat kebudayaan atau keagamaan di tantang sebagai nilai-nilai baru. Sebab itu, kehadiran Injil pun dijadikan sebagai suatu nilai baru dalam aspek kebudayaan suku Meck.
Dengan adanya nilai inilah memungkinkan manusia untuk menyesuaikan diri kepada tuntutan eksistensi masa depan dengan penuh percaya.
Jelaslah kiranya bahwa nilai rohani yang tercakup dalam kebudayaan orang Meck, tidak terluput dari kehidupan beragama.
Melalui keterbukaan terhadap dimensi Ilahi memberikan manusia peluang untuk menemukan kemungkinan yang tak terbatas dalam merealisasikan dirinya sebagai makhluk yang bermartabat luhur.
Namun, sebaliknya ketidakterbukaan terhadap dimensi ilahi ini justru membuat manusia terkurung dalam ruang lingkup dunia material, tanpa ada suatu tujuan yang jelas.
Pada dasarnya perspektif orang Meck terhadap eksistensinya bersua membuat hidup manusia itu terarah ke depan. Tidak ada orang yang mau "berjalan di tempat" saja, apalagi mundur ke masa lalu dengan kebudayaan yang lama.
Bukankah segala yang di upayakan oleh Injil saat pemberitaan adalah demi masa depan yang lebih baik dari pada masa lalu?
Orang Meck meyakini bahwa masa depan yang sesungguhnya sesuai dengan pesan yang tersirat dalam Injil itu tertentu, tidak terletak pada dunia yang ternyata tak mampu memberikan kebahagiaan sejati baginya.
Jelas bahwasannya masa depan yang paling diharapkan manusia selama hidupnya di dunia ini terletak di seberang ruang dan waktu duniawi. Ke "sana"-lah seluruh proses hidup manusia mengarah.
Interpretasi teologis dalam kebudayaan orang Meck sebagai motif utama dari tindakan kedatangan atau penggenapan tentang pewartaan "Injil" yang memanifestasikan seni kekristenan.
Sebagai makhluk yang memiliki kepercayaan terhadap suatu realitas yang lebih besar, yang melampaui taraf keberadaannya. Maka realitas inilah yang kemudian menunjukkan perwujudannya.
Meskipun kebanyakan orang Kristen dewasa ini enggan untuk bersikap negatif sepenuhnya terhadad orang-orang dari kepercayaan-kepercayaan kebudayaan lain di sekitarnya.
Nampaknya, masih banyak keraguan di dalam diri banyak orang untuk memeriksa kembali dasar dari pernyataan-pernyataan eksklusif mereka atas nama Kristus yang sudah dinyatakan dalam kebudayaan.
Karena itu, tempat Kristus di dalam kebudayaan suku Meck yang sudah dinyatakan dalam bentuk "Injil" yang telah menjadi suatu pokok penting dalam menggapai suatu teologi baru mengenai Imakhne dalam kebudayaan.
Keberadaan Injil memang sesuai dengan tuntutan kodrat agama sebagai suatu gejalah universal dan sebagai salah satu ajaran yang sudah mutlak terdapat dalam kekristenan yang di wartakan kepada orang Meck.
Sebagai ciptaan, manusia adalah makhluk tidak sempurna, atau sering di katakan, manusia adalah makhluk yang belum selesai. Ketidaksempurnaan ini harus di atasinya sendiri.
Penyempurnaan diri sebagai tugas paling esensial selama hidup di dunia. Tugas ini mungkin akan terlaksana dengan baik, apabila manusia terbuka terhadap dimensi Imakhne dan membangun suatu relasi permanen dengan Imakhne.
Karena berelasi dengan Imakhne merupakan hakikat bagi orang Meck untuk membangun relasi dengan sesama dalam suatu desain kebudayaan untuk hidup dan berperilaku.