1. Apa itu tulisen(aksara) Karo.
“Itu rumah Malem!” Ataupun, “Ini pensil Joni!”
Dari dua kalimat yang diapit tanda petik dua diatas, adalah merupakan kalimat pernyataan yang menunjukkan atau mengarah kepada ke-bendaan(“rumah” dan “pensil”) yang masing-masing dimiliki oleh “Malem” dan “Joni”. Maka, jika dikatakan “Ini(itu) tulisen(aksara) Karo!” tentunya juga menunjukan benda yang kepemilikan tau dimiliki oleh Karo(milik etnis Karo)!
Tulisen(aksara) Karo, adalah kumpulan tanda-tanda(karakter/simbol-simbol) utuk menyatakan sesuatu, yang pemakaiannya dimengerti dan disepakati, yakni oleh masyarakat Karo itu sendiri. Tulisen Karo merupakan milik dari masyarakat(etnis) Karo atau dengan kata lain, tulisen yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat(etnis) Karo serta tersebar luas, dipergunakan dan diajarkan(awalnya dengan bahasa pengantar, cakap Karo) di ruang lingkup Karo yang dulunya meliputi pesisir timur di Sumatera(Oostkust van Sumatera) bagian utara dan dataran tinggi Karo yang terbentang luas diatas pegunungan Bukit Barisan. Lihat tabel Tulisen Karo berikut!
2. Tonggak Awal Sejarah Karo
Masuknya pengaruh Hindu ke Karo pada awal abad I(pertama) diyakini merupakan tonggak awal berdirinya sejarah Karo(keluar dari masa pra-sejarah), dimana untuk pertama kalinya aksara Palawa(Wenggi) di perkenalkan, walau bahasa pengantarnya masih dalam bahasa Sansekerta(Agama Pemena adalah bukti pengaruh Hindu-Budha di Haru(Karo)). Hingga kemudian pada abad ke-5 diawali dengan masuknya pengaruh Budha ke nusantara termaksuk ke Karo(Haru) dan diperkenalkanlah tulisan “Nagari”, yang diyakini merupakan cikal bakal(dasar) terjadinya tulisen(aksara) Karo, Melayu Kuno, Jawa Kuno, dan lain-lain.
3. Eksistensi Tulisen(aksara) Karo serta Fungsinya dalam Masyarakat Karo
Tidak banyak literaatur-literatur kuno yang dapat mendukung kapan tulisan(aksara) Karo itu mulai eksis(dipergunakan secara luas di wilayah Karo), namun ada beberapa syair cinta, ramalan(katika), puisi, turi-turin(cerita), mangmang/tabas(mantra), kitab ketabib-pan, ratapan/rintihan(bilang-bilang), kitab mayan(beladiri), serta cerita sejarah adanya interaksi berupa surat-menyurat antara kerajaan Haru(Karo) dengan kerajaan-kerajaan lainnya, seperti: Johor, Malaka, Portugis, dan Aceh(walau tidak dijelaskan bahasa dan aksara apa yang dipergunakan) yang ditemukan.
Sekitar tahun 1872, di wilayah Dusun(Deli-Serdang) guru-guru tradisional yang mengajar membaca dan “menulis” dalam bahasa daerah masih dibayar dengan mata uang emas(draham/dirham) [...] dari hal ini dapat kita ketahui bahwasanya bahasa dan aksara Karo itu pernah dipergunakan sebagai media serta instrumen pengajaran secara umum, bahkan di Kabupaten Karo dan beberapa daerah di wilayah Deli-Serdang dan Langkat, aksara Karo masih masuk dalam pelajaran muatan lokal daerah hingga saat ini. Selain itu, menuskrip Hikayat Hamparen Perak yang diperkirakan terbit sekitar abad ke-18 yang berisikan teks 55 halaman dalam cakap(bahasa) Karo dan diyakini juga ditulis dalam aksara Karo yang sebelumnya disimpan di Instituut voor de Tropen di Amsterdam, sayang sudah hilang! Yang seharusnya dapat menjadi sebuah bukti eksistensi Karo, khususnya aksara dan bahasanya. Bukan itu saja, kita juga tahu kalau ada menuskrip lokal(Karo) asli dalam bahasa dan aksara Karo(tahunnya tidak diketahui, namun mungkin sekitar abat ke-17 – 18) yang mengisahkan perjalanan merga Sembiring Kembaren(Pustaka Kembaren) dan merga Ginting(Pustaka Ginting) yang berkat seorang penginjil asli Karo yang bertugas di Langkat, bernama: Pa Belat, yang kemudian menyerahkan transkripsinya kepada misionaris Belanda Pdt. J. H. Neumann dan tahun 1926 diterjemahkan dalam cakap Karo(aksara latin) dan bahasa Belanda, serta oleh LIPI diterjemahkan tahun 1972 dan diterbitkan oleh Brahma Putro ditahun 1981. (ctt. Kamus Karo-Belanda diketahui pertama terbit 1907 oleh Pdt. M. Joustra, dan tahun 1951 oleh Pdt. J. H. Neumann)
September 1909, sultan Deli menandatangani adat (hukum) Dusun yang diselenggarakan oleh Westenberg(kontrolir) yang atas permintaan para pemimpin di Dusun diterjemahkan dalam cakap Karo.
Tulisen(aksara) Karo dalam kehidupan sehari-hari etnis Karo selain sebagai media komunikasi(surat – menyurat), seperti pada turi-turin(sejarah/tradisi(cerita lisan)) asal usul merga Peranginangin Sinurat yang merupakan juru tulis dari Raja Urung Peranginangin Pincawan di Perbesi.( Sinurat --> Si = si(merujuk ke subjek/pelaku) dan nurat yang terdiri dari kata nu/ni = yang(subjek) dan surat= media untuk tulisan/surat. Jadi Sinurat = [orang] yang menyuratkan([orang]yang menuliskan/juru tulis)), juga dipergunakan untuk menuliskan syair cinta, puisi, cerita, lagu, ramuan obat-obatan, mangmang(doa/mantra), ilmu ketabib-pan, mayan/[n-]dikar(ilmu bela diri/silat), ilmu tenun, ragam hias, dll yang dipahat pada batang ataupun kulit kayu(biasanya terdiri dari lembaran-lembaran kayu alim(aquilaria malaccensis)) atau bambu, tulang, maupun batu seperti pada (cerita-)sejarah sub-merga Sembiring Guru Kinayan(Guru = guru, orang pandai(orang pandai; ahli ilmu ketabipan, kebatinan, agama, dll) Kinayan/Er-mayan(mayan = ilmu bela diri)) keturunan dari salah satu anak Magit[-dan] Brahmana(nenek moyang Sembiring Berahmana) yang bernama Mbulan Brahmana(cikal bakal kesain Rumah Mbulan Tanduk, Kabanjahe) yang saat melakukan perjalanan menemukan buluh kayan ersurat(bambu bertuliskan ilmu mayan/silat) kemudian menetap dan membuka kampung serta mengajar mayan(silat) sehingga kampung dan keturunannya disebut Guru Kinayan.
Selain itu aksara Karo juga dipakai sebagai media serta instrumen pengatar ilmu pengetahuan, adat istiadat, seni, surat tenah kerja(undangan), juga ragam hias pada rumah adat dan alat-alat musik tradisional, serta bahan pembelajaran(muatan lokal).
4. Beberapa Faktor Penyebab Semakin Hilangnya Tulisen Karo
Dewasa ini, penggunaan tulisen Karo sudah sangat jarang, bahkan hanya tinggal sedikit saja orang yang mengerti dan mampu mempergunakannya. Hal ini mungkin diakibatkan imbas dari modrenisasi, islamnisasi dan kristenisasi yang tak terkontrol dan terarah.
Tergesernya keberadaan agama Pemena(kepercayaan tradisional Karo), yang kalah oleh modrenisasi, islamnisasi, dan kristenisasi yang gencar dan diperparah oleh imbas situasi sosial dan politik nasional(salah satunya pemberontakan G 30 S/PKI) juga merupakan salah satu hal utama yang mengakibatkan jarangnya penggunaan atau bahkan hampir punahnya(hilang) aksara Karo. Dimana kita ketahui, bahwa literatur-literatur berupa mangmang/tabas(mantra), ilmu mayan(bela diri), dan ketabib-pan yang notabene-nya ditulis dalam aksara Karo tidak lagi dipergunakan.
Meletusnya pemberontakan September 1965 yang dimana PKI(Partai Komunis Indonesia) dituding sebagai dalangnya(yang paling bertanggung jawab), sehingga pemerintah melakukan penyisiran hingga ke daerah-daerah terpencil(juga ke wilayah-wilayah Karo) untuk membasmi PKI dan ormas-ormasnya hingga ke akar-akarnya serta penangkapan terhadap aktivis-aktivis politik, sosial, bahkan aktifis pers, seni dan budaya, membuat masyarakat tradisional khususnya penggiat seni dan budaya daerah yang kala itu masih berpegang teguh dalam kepercayaan dan adat istiadatnya tidak memiliki pilihan lain, selain meninggalkan kepercayaanya bahkan identitas aslinya, maka timbulah kelompok masyarakat sosial dengan identitas nasioal yang dimana mengasingkan diri mereka dengan identitas asalnya, akibatnya timbulah identitas yang kabur. Hal ini diperburuk lagi dengan terbitnya undang-undang subvensi(UU No. 11/PNPS/1963 Tentang pemberantasan kegiatan subvensi) dan pencabutan SIUPP berdasarkan Permenpen No. 01/1984 Tentang Surat Izin Penerbitan Pers yang mengakibatkan banyak media-media lokal yang kala itu menjamur, satu-per-satu hilang.
Memasuki orde baru(pasca G30S/PKI), identitas agama pemena dianggap suatu hal yang rendah, bahkan pemeluk kepercayaan diluar agama yang diakui negara(Hindu, Budha, Islam, dan Kristen(Katholik dan Protestan)) sering diidentikkan dengan partisipan komunis. Sehingga berangsur-angsur para pemeluknya meninggalkannya dan beralih kepada kepercayaan moderen dan bahkan mengingkari identitas aslinya.
Perubahan bahasa pengatar dari Cakap Karo ke Bahasa Indonesia baik untuk komunikasi resmi, ilmu pengetahuan, pergaulan, dan keluarga(bahasa dan aksara ibu) yang didorong oleh giatnya pemerintah dan pemimpin daerah dalam memperkenalkan identitas nasional tanpa adanya kesadaran akan pentingnya tradisi dan kebudayaan daerah sebagai suatu kekayaan nasional, membuat seakan-akan hal-hal yang berbau tradisional dan kedaerahan itu dianggap memperlambat proses integrasi dan tidak lagi dibutuhkan di masa sekarang ini.
Hilangnya tradisi-tradisi budaya akibat dari kurangnya kecintaan dan rasa menghormati(“--- Oktober 1924 “Bangsa Karo” kaya karena memiliki sebuah adat, bahasa, dan aksara. Akan tetapi “miskin dan tidak layak, karena tidak menggunakan dan menghormati ketiganya”), yang didasarkan oleh over-nasionalisme, modrenisasi, islamnisasi, dan kristenisasi yang pragmatis meredupkan semangat kedaerahan, kepercayaan, bahkan anti kedaerahan.
Terpecahnya masyarakat adat Karo(identitas Karo) menjadi beberapa kelompok wilayah adat(1. Gugung(gunung)/teruh deleng: Kuta Buluh, Tiga Nderket, dll; 2. Karo Timur: Cingkes, Gunung Meriah, Bangun Purba, dll; 3. Karo Jahe/Karo Dusun(Deli-Serdang): Lau Cih/Namo Gajah, Delitua, Sibolangit, dll; 4. Karo Langkat/Karo Binge: Nambiki, Langkat, Serbanaman Sunggal, Tanjung Manggusta, dll; 5. Singalur Lau: Tiga Binanga, Juhar, dll; 6. Karo Baluren/Pamah Sigedang(Kab. Dairi), dan 7. Urung Julu: Suka, Surbakti, Berastagi, Sepuluh Dua Kuta, dll.) ikut mendorong kaburnya identitas Karo itu sendiri, sehingga tidak sedikit masyarakat Karo itu beralih, bahkan membentuk identitasnya sendiri serta sistem dan tatanan hidup identitasnya itu(tidak lagi didasarkan pada Adat Karo Sirulo, melainkan hasrat, kebiasaa, terkaan, dan kesesuaian dengan keinginan penguasa).
Gagalnya sistem pembelajaran bahasa dan aksara daerah akibat tidak adanya keseriusan untuk benar-benar memajukannya. Hal ini merupakan representasi dari tidak adanya rasa kecintaan, menghargai, dan keterbebanan untuk melestarikannya, bahkan di Kabupaten Karo sendiri sebagai sentral kebudayaan Karo sekarang, hanya sedikit masyarakatnya yang mengerti akan tulisen Karo, hal ini diketahui karena susahnya mencari sumber belajar(orang yang mengerti) akan aksara Karo, padahal di tahun 1998 saat saya ke Suban, Jambi, banyak teman-teman se-usia saya(saat itu masih SLTP) yang berasal dari daerah Deli-Serdang(Delitua, Talapeta, Talun Kenas, dan Penen) dan Langkat(Batang Serangen dan Namo Ukur) mampu mempergunakan aksara Karo dengan baik.
Tahun 1909 dimulai pembagunan jalan raya ke dataran tinggi Karo(Medan – Kabanjahe; Kabanjahe – Sarinembah – Kuta Bangun; Kabanjahe – Seribu Dolok – Pematang Siantar) Jalur Medan – Kabanjahe dimulai dari Arnhemia(Boven Deli/Pematangsiantar Karo), Sibolangit, Bandarbaru, dan Berastagi(selesai tahun 1913). Tahun 1911 merupakan awal dibukanya lahan-lahan pertanian sayur di dataran tinggi Karo, tahun 1914 layanan bis dua kali seminggu dibuka oleh beberapa perkebun(Medan – Kabanjahe, hingga 1918 dikatakan jumlah penumpang melebihi 6.300 orang) dan dilaporkan juga produksi pertanian di antara Kabanjahe dan Berastagi mencapai 150 ton/bulan maka untuk mendukung itu, secara resmi tahun 1915 dibuka jalur bis Medan – Kabanjahe yang melayani pengangkutan setiap harinya dan setahun kemudian (1916) didirikanlan bank-bank koperasi rakyat desa(dorpbanken), sehingga ditahun itu dilaporkaan 192 ton kentang(asal Karo) dikirim ke Pinang, 1.036 ton ke Singapura, dan 131 ton ke pulau-pulau lainnya melalui Pelabuan Belawan. Juga, kesuburan tanah ditambah keindahan alam dan kesejukan iklimnya membuat orang Eropa tertarik, sehingga sejak akhir dasawarsa pertama abad ke-20, Berastagi menjadi tempat wisata dan peristerahatan.
Sekitar tahun 1918 muncul sebuah gerakan yang didorong atas ketertinggalan khususnya dibidang pendidikan “bangsa Karo” dengan bangsa-bangsa lainnya, yang juga menstimulus tumbuhnya perasaan pada penduduk asli(Karo) bahwa memiliki aksara sendiri adalah suatu tanda “bangsa” yang maju, maka di tahun 1922 atas usaha sendiri penduduk dataran tinggi Karo mendirikan sekolah dasar(volksscholen) karena sebelumnya(1917) sekolah-sekolah dibawah misi Belanda (Nederlansche Zendelinggenootschap) ditutup, selain itu atas prakarsa seorang pemimpin tradisional Karo dari Lingga, yakni sibayak Lingga, Pa Sendi yang sangat berperan dalam memajukan daerah dan rakyatnya sehingga atas prakrsanya mendorong berdiringya N. H. I. S. (Neutrale Hollandsche Islandsche School) di Kabanjahe, juga sekolah kerajinan tekstil(tenun) dan bengkel besi di Lingga, juga bank-bank koperasi rakyat desa(dorpbanken)untuk mendukung kemajuan di wilayahnya. Setahun kemudian(1923) pemerintah kolonial Belanda mendirikan H. I. S. (Hollandsche Inlandshce School).
Antara priode 1920’an – 1930’an di Karo, adat, bahasa, “aksara”, dan tradisi-tradisi daerah lainnya dianggap menjadi “kekayaan nasional”, namun sayang hal ini tidak berlangsung lama. Kemajuan ekonomi, transportasi, komunikasi, dan pendidikan di dataran tinggi Karo memicu gelombang migrasi baik dari Minang, Jawa, Aceh, Deli-Serdang, Langkat, Tapanuli, dan derah nusantara lainnya yang pada akhirnya juga memicu percepatan moderenisasi, islamnisasi, dan kristenisasi yang menguatkan ketertarikan atas identitas-identitas baru, sehingga akibat kemajuan yang membentuk gaya hidup(salah satunya perpaduan golongan aristokrat dan adat yang oleh Geertz disebut golongan priyayi) , karakter, bahkan identitas baru( Karo terlebih semua yang dikaitka dengan kebatakan oleh masyarakat Melayu(melayu = ruang lingkup yang dipengaruhi oleh budaya islam yang dianggap lebih beradap) divonis identik dengan pemakan babi, kanibalisme, manusia yang biadap(verwilderde menschen), sehigga ada rasa malu dengan identitas aslinya), maka sekali lagi tradisi-tradisi adat Karo dipandang sebagai prodak “masyarakat(kebudayaan) dari masa kegelapan”(duitsternisfe der alloudheit), begitu juga “aksara” Karo!
Untuk tulisan selanjutnya yang berkaitan dengan aksara Karo atau jika Anda berminat belajar Tulisen(aksara) Karo! Silahkan kunjungi link berikut: Tulisen (aksara) Karo (full).
Mejuah-juah!